| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Wednesday, April 12, 2006,12:34 PM

Partai Lokal dan "Pemilu Daerah"

Syamsuddin Haris

Wacana tentang partai lokal muncul kembali saat mantan Presiden BJ Habibie menanggapi RUU Pemerintahan Aceh yang sedang dibahas Pansus DPR. Kata Habibie, partai lokal bisa diakui secara nasional, tetapi hanya boleh mengikuti pemilihan umum lokal. Pemilu lokal?

Dalam seminar yang diselenggarakan Partai Golkar tiga pekan lalu, saya mengusulkan penyederhanaan penyelenggaraan pemilu di mana hanya ada dua momentum pemilu, "pemilu nasional" dan "pemilu daerah" atau pemilu lokal.

Usulan ini relatif lebih baik ketimbang pemisahan pemilu legislatif dan eksekutif (termasuk pemilihan kepala daerah/pilkada), seperti diwacanakan Wapres Jusuf Kalla beberapa waktu lalu. Sebelumnya, wacana serupa pernah dilontarkan aktivis LSM, seperti lembaga Cetro (Centre for Electoral Reform).

Bukan dikotomi

Pemilu nasional untuk memilih presiden/wapres, anggota DPR, dan anggota DPD diselenggarakan secara nasional pada saat bersamaan. Pemilu presiden/wapres diikuti pasangan calon perseorangan yang diusulkan partai nasional; pemilu DPR diikuti partai nasional. Partai lokal tak bisa ikut pemilu nasional. Jika dukungan partai lokal menyebar nasional, ia bisa naik "status" menjadi partai nasional.

Pemilu daerah untuk memilih anggota DPRD (provinsi, kabupaten, kota) dan pilkada yang diselenggarakan bersamaan. Pemilu daerah bisa diikuti partai nasional dan partai lokal, sesuai cakupan pengaruh partai bersangkutan. Partai-partai nasional yang tidak memenuhi syarat UU untuk mengikuti pemilu nasional otomatis menjadi partai yang bersifat lokal.

Dengan demikian, partai nasional dan partai lokal bukan suatu dikotomi. Ketika partai nasional gagal mendapat dukungan dalam pemilu nasional, otomatis statusnya berubah menjadi partai lokal yang hanya berhak ikut pemilu daerah. Sebaliknya, partai lokal yang pengaruhnya meluas ke daerah—sehingga memenuhi persyaratan sebagai partai nasional—dapat menjadi kontestan pemilu nasional.

Beberapa keuntungan

Pemikiran awal ini memiliki beberapa keuntungan. Pertama, dari segi kepartaian, pemisahan pemilu nasional dan daerah dapat mengurangi jumlah partai yang bertarung di tingkat nasional karena partai-partai dengan pengaruh terbatas tidak perlu buang energi ikut pemilu nasional.

Kedua, partai-partai kecil nasional yang gagal menempatkan kandidatnya akan memfokuskan diri merebut pengaruh dalam pemilu daerah. Ini positif karena memaksa politisi berjuang dari bawah dalam merebut dukungan konstituen dan menuntut mereka lebih bertanggung jawab di daerah pemilihannya.

Ketiga, perdebatan status pilkada—masuk pemilu atau pemerintahan daerah—tidak perlu karena pemilu daerah diselenggarakan dalam rangka pembentukan pemerintahan daerah. Keempat, karena pemilu daerah dilakukan terpisah dari pemilu nasional, isu pembangunan daerah berpeluang tampil secara publik tanpa harus tenggelam oleh isu politik nasional.

Kekhawatiran munculnya banyak partai lokal tidak beralasan karena politisi yang gagal di tingkat nasional akan pulang kandang memperkuat basis partai kecil nasional yang realitasnya partai lokal. Kekhawatiran partai lokal membuka peluang separatisme tidak perlu ada jika sejak awal disepakati, tekanan pengertian "lokalitas" lebih pada wilayah terbatas dan mencakup satu atau beberapa provinsi saja.

Maka, perbedaan antara partai nasional dan partai lokal terletak pada dua hal. Pertama, hak ikut pemilu, di mana partai nasional bisa mengikuti dua momentum pemilu (nasional dan daerah). Partai lokal hanya mengikuti pemilu daerah.

Kedua, kepengurusan partai nasional bisa mencakup wilayah nasional, sementara partai lokal hanya memiliki kepengurusan tingkat daerah. Ketentuan lain yang terkait asas, tujuan, hak, kewajiban, dan larangan partai, harus berlaku sama, bagi partai nasional maupun partai lokal.

Revisi menyeluruh

Partai lokal umumnya hanya dikenal di negara dengan sistem federal. Bangsa kita pernah memiliki partai lokal pada Pemilu 1955. Pada pemilu pertama setelah merdeka, ada belasan partai lokal meski sebagian besar gagal merebut kursi DPR. Dalam konteks RUU Pemerintahan Aceh, kehadiran partai lokal tidak menjadi masalah sepanjang pengaruhnya terbatas dan dalam rangka pemilu daerah di Aceh.

Meski demikian, pengaturan partai lokal seharusnya tidak dalam konteks RUU Pemerintahan Aceh. Bagaimana pun tetap diperlukan payung hukum bersifat nasional yang menempatkan partai lokal sebagai aset keutuhan nasional. Mungkin di sinilah urgensi pemerintah dan DPR merevisi undang-undang bidang politik yang berlaku kini. Revisi menyeluruh tak hanya untuk menghindari tambal sulam, tetapi juga menghadapi Pemilu 2009.

Jika wacana pemisahan pemilu nasional dan daerah menghasilkan demokrasi yang lebih produktif, pemerintah dan partai-partai di DPR mengambil inisiatif untuk mendiskusikannya secara publik, termasuk mengagendakan revisi UU bidang politik dalam program legislasi nasional 2006. Nasib RUU Penyelenggara Pemilu yang tak menentu (Kompas, 27/1/2006) antara lain disebabkan tiadanya politik perundang-undangan yang jelas dari DPR dan pemerintah. RUU Penyelenggara Pemilu diibaratkan ranting dari "dahan" UU Pemilu serta "pohon" UU bidang Politik.

Persoalan krusial jika pemilu nasional dan pemilu daerah dipisah adalah penyeragaman jadwal pilkada. Ada peluang penolakan dan resistensi elite politik daerah. Karena itu, diperlukan periode "transisi" di mana sejumlah daerah menunda pilkada agar waktu penyelenggaraannya bisa bersamaan dengan daerah lain. Apakah ini realistik?

Diharapkan, pemerintah dan DPR merancang arah demokrasi secara benar, konsisten, dan bertanggung jawab.

Syamsuddin Haris Ahli Peneliti Utama Ilmu Politik LIPI

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home