| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Wednesday, April 12, 2006,12:33 PM

Janji Presiden, Buruh, dan Investasi

Dita Indah Sari

Setelah memicu gelombang protes, draf revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan versi pemerintah dibatalkan.

Pascapertemuan tripartit 7 April 2005 di istana, Presiden menyatakan Undang-Undang Ketenagakerjaan (UUK) Nomor 13 Tahun 2003 akan diperbaiki melalui mekanisme tripartit nasional. Forum diharapkan dapat menghasilkan output yang melegakan buruh, pengusaha, dan pemerintah.

Ada hal penting yang patut dicatat. Draf revisi yang batal itu sebenarnya bisa dipandang sebagai posisi sejati pemerintah dalam memandang masalah perburuhan. Keputusan Presiden untuk membatalkan draf revisi merupakan kompromi akibat tekanan pekerja melalui demo beberapa saat lalu, bukan karena pertimbangan lain.

Mekanisme yang demokratis

Pembahasan UUK dalam mekanisme tripartit adalah langkah yang sesuai dengan prosedur penyelesaian persoalan ketenagakerjaan. Namun, mengingat UUK dan revisinya (jika dilakukan) akan membawa perubahan besar bagi pekerja, sebaiknya memberi peluang serikat-serikat yang tidak terlibat forum tripartit untuk mengajukan usulan.

Situasi ekonomi yang kian sulit di masa datang akan menempatkan buruh pada posisi tawar yang kian rendah. UUK dan revisinya akan jadi aturan normatif yang mengikat buruh bertahun-tahun ke depan. Karena itu, kalangan serikat pekerja secara kolektif perlu menyetujui batas minimum kompromi yang dapat ditoleransi, terutama hal prinsip semacam sistem kontrak, outsourcing, upah, dan besarnya pesangon.

Tanggung jawab pemerintah

China dan Vietnam juga dipandang Presiden sebagai contoh yang patut dirujuk dalam mengatasi masalah perburuhan. China dan Vietnam dipandang mampu menimbulkan minat besar para investor untuk masuk karena memiliki policy ketenagakerjaan yang lebih fleksibel.

Namun, ada hal penting yang tidak dinyatakan. Meski nilai upah di China tidak terlalu tinggi, keterlibatan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan sosial rakyatnya amat besar. Majalah Newsweek (Desember 2005) menjelaskan, Pemerintah China baru-baru ini meningkatkan anggaran pendidikan tingi hingga tujuh kali lipat, sementara Pemerintah Indonesia justru mencabut dana operasional perguruan tinggi. Kini, 55 persen warga China usia mahasiswa telah mendapatkan setidaknya satu macam pendidikan tinggi. Demikian juga bantuan pemerintah untuk sektor kesehatan. Dengan demikian, meskipun upah pekerja tidak terlalu tinggi, daya beli dan kesejahteraannya tidak terpuruk seperti di Indonesia.

Sebaliknya, di Indonesia, dana pendidikan dan kesehatan setiap tahun harus mengalah pada keharusan membayar utang Tidak heran jika pekerja mati-matian mempertahankan nilai pesangon yang besar karena tidak mungkin berharap pada pemerintah untuk bisa membiayai pendidikan bagi keluarganya setelah kehilangan pekerjaan. Kenaikan upah pun terus dituntut karena daya beli yang ada kini tak mampu memenuhi kebutuhan untuk hidup layak. Jika faktor-faktor ini dianggap tidak produktif bagi investasi, bukan buruh yang selayaknya digugat, tetapi pemerintah. Gugatan dari dunia usaha kepada buruh soal produktivitas selama ini jelas salah alamat.

Rujukan Presiden terhadap model labour flexibility China dan Vietnam hendaknya tidak digembar-gemborkan guna pembenaran bagi pemerintah untuk memangkas sejumlah hak pekerja yang masih tersisa. Keterpurukan industri dan sumber daya manusia selama ini bukan karena kita tidak mengadopsi pendekatan ketenagakerjaan China dan Vietnam, namun akibat policy neoliberal pemerintah yang menaikkan berbagai harga barang dan jasa sosial hingga tak terjangkau buruh, dunia usaha, dan mayoritas rakyat. Mengatasi problem deindustrialisasi dengan memfleksibelkan perlindungan terhadap pekerja sama artinya dengan menempatkan mereka sebagai korban sekaligus terdakwa.

Maka, pembicaraan soal UUK perlu disertai referensi yang sehat dan jujur tentang situasi ekonomi makro, baik nasional maupun internasional. Kalangan akademisi dan universitas yang diminta memberi input dalam hal ini perlu membuang jauh-jauh paradigma atau cara berpikir yang menempatkan perlindungan buruh sebagai penyebab tidak terciptanya lapangan kerja.

Selain membicarakan masalah UUK, ada agenda mendesak dari pekerja dan dunia usaha, yaitu menagih janji-janji pemerintah dalam melindungi industri dalam negeri. Suku bunga yang tinggi, rendahnya daya beli, segala bentuk pungli, biaya birokrasi, ketergantungan pada bahan baku impor, hancurnya pasar dalam negeri, rendahnya produktivitas dan teknologi, tanggung jawab siapa? Mengapa buruh harus menanggung beban krisis? Mengapa Presiden lupa akan janjinya?

Dita Indah Sari Ketua Umum PRD (Partai Rakyat Demokratik)

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home