| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Wednesday, April 19, 2006,1:15 AM

Aliansi Antarperadaban sebagai Wacana

Iyan Nurmansyah

Sepuluh tahun lalu, Samuel Huntington menerbitkan buku The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order. Dalam buku itu Huntington memaparkan argumennya mengenai tatanan politik dunia setelah berakhirnya era perang dingin.

Huntington tidak sependapat dengan analis seperti Francis Fukuyama, yang berkeyakinan setelah berakhirnya perang dingin, berakhir pula "perang" ideologi.

Fukuyama dalam The End of History and the Last Man berpendapat bahwa runtuhnya tembok Berlin tahun 1989 adalah simbol yang menunjukkan demokrasi liberal ala Barat secara natural akan menjadi pilihan bangsa-bangsa di dunia.

Menurut Huntington, berakhirnya perang dingin tidak berati konflik global akan berakhir. Jauh sebelum "war on terror" Huntington meramalkan konflik global akan terjadi antarperadaban besar di dunia (the clash of civilizations). Secara spesifik, Huntington meramalkan konflik antara: peradaban Barat dan peradaban Islam.

Banyak pihak meyakini ramalan Huntington, terutama setelah Al Qaeda (termasuk kelompok-kelompok yang dituduh terkait Al Qaeda) melakukan serangkaian serangan bom terhadap sejumlah kepentingan Barat di segala penjuru dunia. Ditambah lagi dengan berbagai peristiwa yang dianggap sebagai contoh dari konflik antarperadaban.

Tidak sedikit pihak yang mengkritik argumen Huntington. Beberapa analis menilai argumen Huntington cenderung membesar-besarkan perbedaan budaya. Edward Said mengatakan Huntington telah secara serius mengabaikan nilai-nilai humanitas, bahkan cenderung mengagungkan kelompok/peradaban tertentu (rasis). Menurut Said, Huntington mengabaikan kemungkinan kerja sama antarperadaban di dunia.

Posisi Indonesia

Kunjungan Rice dan Blair beberapa waktu lalu memperlihatkan pentingnya posisi Indonesia dalam upaya menjajaki terciptanya the accord of civilizations (harmoni antarperadaban). Tidak dapat dimungkiri, Indonesia masih menghadapi krisis, namun Indonesia memiliki peran yang dianggap penting. Indonesia sebagai negara demokrasi baru, yang masih berjuang untuk menyelaraskan nilai-nilai modernitas, demokrasi, dan agama. Perdana Menteri Blair mengatakan, Indonesia adalah contoh paling tepat untuk menjembatani pemahaman antara Islam dan Barat.

Banyak pihak meragukan kemampuan Indonesia tampil kembali di pentas politik internasional. Alasannya, Indonesia masih lemah. Yang perlu diingat adalah "lemah" akibat berkuasanya rezim otoritarian, tidak sama dengan "lemah" setelah meruntuhkan rezim otoritarian, berusaha bangkit dari puing-puing kehancuran dan bersusah payah membangun demokrasi.

Pertanyaannya kini, langkah apa yang seharusnya ditindaklanjuti Pemerintah Indonesia dan negara-negara Barat dalam menciptakan pemahaman antarperadaban Barat dan peradaban Islam (aliansi antarperadaban).

Tindak lanjut

Filsuf Jerman, Juergen Habermas, menilai negara-negara Barat memiliki "pekerjaan rumah" dalam mencari solusi untuk mengatasi kemiskinan dan kesenjangan sosial global.

Masalah-masalah tersebut dinilai turut berperan dalam meningkatnya ancaman terorisme global. Itu sebabnya Pemerintah Amerika Serikat dan Inggris harus ikut berperan dalam upaya memperbaiki perekonomian Indonesia.

Pemerintah Indonesia pun harus bisa menjadi contoh bagi negara-negara Islam yang belum dianggap berhasil dalam demokratisasi. Minimal, Pemerintah Indonesia harus bisa melindungi hak-hak warganya tanpa membedakan suku, agama, maupun ras. Kaum minoritas harus mendapat perlindungan dari pemerintah.

Ini penting guna dapat membuktikan kepada dunia internasional bahwa di negara dengan mayoritas penduduk Islam, keselarasan antarumat beragama dapat diwujudkan. Ini adalah "pekerjaan rumah" Pemerintah Indonesia. Aliansi antarperadaban hanya bisa diwujudkan jika kedua pihak secara serius mengerjakan "pekerjaan rumah" masing-masing.

Iyan Nurmansyah University of Sussex, England

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home