| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Monday, April 17, 2006,10:17 PM

Nasionalisme Ekonomi Versus Globalisasi

Imam Cahyono

Investor first, people second! Bagi rezim neoliberal, globalisasi adalah bagaimana menjunjung tinggi kedaulatan pasar bebas atau free market.

Cengkeraman neoliberalisme terpancar pada gencarnya privatisasi dan liberalisasi ekonomi. Mantra neoliberal menempatkan investasi dan investor di atas segalanya. Setiap kebijakan ekonomi harus tunduk pada sistem, mekanisme, dan hukum pasar. Tanpa mengikuti dogma itu, kemakmuran mustahil didapat.

Globalisasi diyakini sebagai era kematian negara-bangsa (the end of the nation-state). Di bidang ekonomi, peran negara dilucuti, sebatas penjaga. Neoliberalisme menyebarkan gagasan bahwa hanya ekonomi yang dikelola perusahaan supranasional (anti state) yang bakal membawa kesejahteraan. Kasus PT Freeport di Papua dan ExxonMobil di blok Cepu menegaskan dahsyatnya mantra privatisasi dan liberalisasi ekonomi. Negara bak macan ompong atas intervensi asing.

Proteksi negara

Sejenak menengok bumi lain. Beberapa negara di Eropa—dikenal sebagai pendukung pasar bebas—belakangan marak dengan aksi anti-perusahaan asing (anti takeover movements, The Economist, 4/3/2006). Eropa yang sedang gencar melakukan gelombang merger lintas negara terbesar, sejak ledakan dotcom tahun 2000, dikagetkan aksi anti- kepemilikan perusahaan asing (anti foreign takeovers).

Uni Eropa (UE) mengkritik kebijakan Perancis yang menyetujui merger dua perusahaan besar Perancis, Suez dan Gaz de France, sehingga pupuslah peluang kemenangan tender perusahaan raksasa Italia, Enel Group. Merger itu dinilai sebagai blokade atas investor-investor asing dan dianggap mendistorsi ekonomi pasar. Merger antara perusahaan nasional dibolehkan, tetapi tidak dengan perusahaan milik asing.

Jerman menuduh langkah Perancis bertentangan dengan legislasi UE, kontradiktif dengan European single market. UE menegaskan, negara-negara akan lebih baik saat mereka berbagi kedaulatan, terutama dalam monopoli pasar, tidak dalam nasionalisme. Kebijakan Perancis dituduh bukan untuk mempertahankan kepentingan nasional, tetapi mempertahankan kepentingan elite dan kroni.

Perancis menolak anggapan merger akan meliberalisasi pembagian kepemilikan dan menciptakan perusahaan terbesar di dunia. Ia justru mengontrol (state control) perusahaan nasional dengan membentengi diri dari dominasi kepemilikan perusahaan asing (foreign ownership). Ini menunjukkan nasionalisme dan kepemilikan terhadap aset negara.

Upaya proteksi negara terhadap kepemilikan perusahaan nasional dari pihak asing tidak hanya terjadi di Perancis. Pemerintah Spanyol mempertahankan perusahaan miliknya, Endesa, dari Jerman yang akan membelinya. Pemerintah Polandia membendung merger bank yang akan dilakukan modal asing. Gubernur bank Italia mencegah pihak asing membeli bank milik nasional. Politisi Korea Selatan berang atas langkah Amerika Serikat membeli KT&G, perusahaan monopoli tembakau dan ginseng.

Di Rusia, sejak lama terjadi pergulatan antara proteksionisme dan nasionalisme ekonomi di satu sisi dengan restrukturisasi bisnis dan globalisasi di sisi lain.

Sikap negara-negara yang antikepemilikan asing itu merefleksikan apa yang dikemukakan Karl Marx, "Ownership, and hence the power to exploit, was all, hence socialist governments fateful desire to nationalize the ’commanding heights’ of their economies."

Nasionalisme (ekonomi) kita

Ribut-ribut soal nasionalisme ekonomi, Indonesia tak mau ketinggalan, tetapi dengan konteks berbeda. Celakanya, nasionalisme yang diributkan di Indonesia tidak jelas maksudnya.

Politisi mengecam investasi ExxonMobil 2,5 miliar dollar AS di ladang minyak blok Cepu. Mereka juga mengecam penambangan PT Freeport di Papua dan meminta perusahaan itu menghentikan kegiatannya.

Pada saat sama, para politisi memuji keberhasilan pemerintah menjual saham obligasi negara dua miliar dollar AS. Padahal, obligasi itu dijual kepada investor asing. Maklum, pemerintah yang market friendly sedang berupaya menarik investor asing dengan segala cara.

Lebih ironis lagi, banyak investor dalam negeri pindah ke mancanegara dengan alasan keamanan dan prospek. Tengok Putera Sampoerna yang berencana menginvestasikan uang 170 juta dollar AS di London Casino. Group Sinar Mas memilih berinvestasi empat miliar dollar AS di China. Group Salim menginvestasikan 1,2 miliar dollar AS di negara tirai bambu.

Alhasil, kebijakan dan peran Pemerintah Indonesia di era globalisasi serba tidak jelas juntrungannya. Mau menerapkan proteksi dan menggalakkan nasionalisme, tetapi setengah hati.

Barangkali, Indonesia ingin memperjuangkan nasionalisme ekonomi gado-gado, setengah asin, separo asem, dan sisanya hambar. Tak karuan!

Imam Cahyono Koordinator Riset Al Maun Institute, Jakarta

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home