| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Monday, April 17, 2006,10:07 PM

Menghimpun Energi Penggerak Pertumbuhan

Faisal Basri

Pertumbuhan ekonomi tampaknya masih terus melemah. Jika perkiraan Bank Indonesia bahwa pertumbuhan ekonomi pada triwulan I 2006 hanya sebesar 4,6 persen menjadi kenyataan, itu berarti lima triwulan berturut-turut pertumbuhan ekonomi mengalami perlambatan, dengan catatan selama dua triwulan terakhir lebih rendah dari 5 persen. Seandainya kecenderungan ini terus berlangsung, momentum pertumbuhan bisa kembali pudar dan target pertumbuhan ekonomi 6,6 persen rata-rata setahun selama 2005-2009 akan kian menjadi angan-angan.

Penyebab utama dari melemahnya pertumbuhan ekonomi ialah investasi. Setelah mencapai peningkatan yang lumayan tinggi tahun 2004, yaitu 15,7 persen, pertumbuhan pembentukan modal tetap melorot menjadi hanya 9,9 persen pada tahun 2005, bahkan pada triwulan terakhir cuma tumbuh 1,8 persen.

Untuk memacu pertumbuhan ekonomi sesuai sasaran Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) sebesar 6,6 persen, investasi harus tumbuh paling tidak sekitar 20 persen. Bagaimana kita membiayai kebutuhan investasi yang besar ini? Suntikan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tampaknya tak bisa diandalkan mengingat sebagian besar pengeluaran sudah habis untuk belanja rutin, seperti belanja pegawai dan belanja barang, pembayaran bunga pinjaman dalam dan luar negeri, dan subsidi. Ketiga jenis pengeluaran rutin ini saja sudah mencapai separuh dari total pengeluaran. Sepertiga lainnya dialokasikan sebagai belanja daerah. Adapun yang tersisa untuk belanja modal hanya mencapai 8 persen.

Sumber dana dalam negeri lainnya yang sepatutnya bisa diandalkan ialah kredit perbankan. Namun, belakangan ini pertumbuhan kredit perbankan pun relatif melambat sebagaimana terlihat dari rasio kredit terhadap dana pihak ketiga (loan-to-deposit ratio/LDR). Pada tahun 2004 LDR meningkat tajam menjadi 50 persen dari 43 persen pada tahun 2003. Namun, pada tahun 2005 hanya naik menjadi 53 persen. Selain itu, peningkatan paling pesat adalah untuk kredit konsumsi (36,7 persen), menyusul kemudian kredit modal kerja (22,8 persen), sedangkan untuk kredit investasi peningkatannya justru paling rendah, hanya 13,4 persen. Pola pertumbuhan kredit tahun 2005 ini sudah berlangsung lebih dari lima tahun.

Jika peranan APBN dan perbankan tak mengalami peningkatan berarti, serta sumber dana alternatif di dalam negeri tak berkembang, pilihannya tinggal mengandalkan aliran dana masuk dari luar negeri dalam bentuk pinjaman luar negeri maupun penanaman modal asing langsung. Untuk pinjaman luar negeri, kita sudah bertekad menguranginya secara bertahap. Itu tecermin dari pembayaran pokok pinjaman yang jauh lebih besar daripada pencairan utang baru, yang pada RAPBN 2006 masing-masing sebesar Rp 60,4 triliun dan Rp 29,9 triliun.

Walau sudah menjadi komitmen politik yang telah diputuskan bersama pemerintah dan DPR, masih saja para politisi di DPR, termasuk pimpinannya, tetap mempertanyakan persoalan kebijakan utang luar negeri ini. Yang lebih parah lagi, mereka mengajukan argumen berdasarkan data yang tidak akurat. Mereka juga meminta agar utang dari Bank Dunia dihentikan, tetapi lagi-lagi atas dasar data yang tidak akurat. Lalu mau pinjam dari mana lagi? Utang bilateral? Jika mau berutang secara bilateral, negara-negara donor boleh jadi mengajukan lebih banyak syarat, dan tak jarang lebih membelenggu kita. Jadi apa sebenarnya yang dimaui oleh sementara kalangan politisi itu?

Bagaimana penanaman modal asing langsung? Tampaknya sumber dana inilah yang paling diandalkan pemerintah untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Karena itu pula agaknya yang menjadi salah satu pertimbangan utama mengapa pemerintah mengeluarkan Inpres Nomor 3 Tahun 2006.

Di sisi lain, sentimen antiasing kian merebak. Dominasi asing di beberapa industri sudah terjadi, terutama di industri perbankan, industri semen, dan industri telekomunikasi. Asing pun sudah merasuk ke sektor ritel modern, bahkan hingga ke pompa bensin. Sebelumnya di sektor migas dan pertambangan mereka telah lebih dulu menancapkan kakinya.

Sebelum membuka lebih jauh lagi, ada baiknya kita merenungkan keberadaan dan manfaat dari kiprah mereka dengan segala konsekuensinya. Kita harus memiliki seperangkat regulasi yang menjamin agar keberadaan mereka betul-betul mampu mendayagunakan segala sumber daya yang kita miliki secara optimal bagi sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat banyak dan sekaligus memacu daya saing perekonomian.

Belakangan ini ada satu fenomena menarik yang patut memperoleh perhatian. Di tengah pemerintah secara all out mengundang modal asing, beberapa pengusaha nasional sudah dan sedang dalam proses melepaskan kepemilikan atau menjual perusahaan ataupun konsesi yang dimilikinya. Kita tak tahu betul motif apa yang melandasi transaksi yang mencapai triliunan rupiah ini. Ke mana uang hasil transaksi dilabuhkan? Sudahkah transaksi-transaksi tersebut memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku?

Adakah kelemahan-kelemahan dalam regulasi pemerintah sehingga para pengusaha nasional lebih gandrung melakukan transaksi bisnis dalam bentuk jual-beli perusahaan ketimbang melakukan ekspansi kapasitas ataupun merambah ke bisnis-bisnis baru? Mungkinkah kecenderungan ini diiringi praktik rekayasa keuangan untuk menghindar dari kewajiban perpajakan? Adakah potensi kerugian negara di balik pengambilalihan ataupun penggabungan perusahaan yang melibatkan usaha-usaha yang berbasis konsesi negara? Apakah patut windfall profit dari penjualan konsesi negara sepenuhnya dinikmati pemegang konsesi?

Sungguh banyak pertanyaan yang membutuhkan penjelasan lebih lanjut dalam kerangka penegakan Undang-Undang Dasar 1945 secara konsekuen bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bukan kemakmuran orang seorang.

Kita harus memiliki keyakinan yang kuat bahwa sumber-sumber domestik yang kita miliki cukup memadai untuk menggerakkan pertumbuhan dan sekaligus menyerap tenaga kerja sebanyak-banyaknya. Peran pemerintah bisa sedikit meningkat seandainya sumber-sumber penerimaan negara lebih dipacu. Betapa ironisnya penerimaan negara dari bea masuk hanya sepertiga dari potensi aktualnya. Penerimaan pajak juga masih bisa ditingkatkan dengan tidak menunda-nunda pembenahan total atas sistem maupun pucuk pimpinannya.

Peran perbankan masih bisa dioptimalkan asalkan penguatan struktur perbankan tidak bias pada penguatan modal semata seperti diamanatkan oleh konsep Arsitektur Perbankan Indonesia (API). Tingginya tingkat kecukupan modal terbukti di banyak negara tak menjamin perbankan yang semakin sehat dan melaksanakan peran maksimalnya dalam menjalankan fungsi hakikinya sebagai intermediasi.

Satu lagi tantangan jangka pendek dan menengah ialah bagaimana mengembangkan kegiatan produktif yang tidak memboroskan dana tetapi bisa tetap menuai hasil optimal. Untuk itu kebijakan pemerintah sangat membantu, bukan sebaliknya.

Salah satu contoh kecil dari kebijakan pemerintah yang berpotensi mengganggu ialah diperluasnya larangan impor untuk alat-alat berat bekas. Bukankah dengan alat-alat berat bekas ini proyek-proyek di daerah akan lebih bergairah di tengah ketatnya ketersediaan dana? Bukankah proyek infrastruktur dan pembukaan lahan perkebunan itu nyata-nyata menyerap tenaga kerja cukup banyak? Sedikit keleluasaan dalam penggunaan alat berat bekas, kita sekaligus menekan kebutuhan dana untuk mencapai hasil yang sama.

Jika mau berpikir lebih keras dan jernih, rasanya tak berlebihan kalau kita bisa menggerakkan segala potensi yang kita miliki tanpa harus menimbulkan pilihan-pilihan yang sulit atau trade off, misalnya antara modal dalam negeri versus modal asing, dana APBN versus utang luar negeri, serta peran BUMN versus swasta nasional. Semua punya tempat dengan mengacu pada nilai-nilai kepatutan.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home