| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Monday, April 17, 2006,10:15 PM

Kesadaran Geografi Kita

Sri-Edi Swasono

Di tengah menekuni buku Resource Wars (MT Klare, 2002), juga memaknai gemuruhnya Perhimpunan Nasionalis Indonesia (PNI-nya Kwik Kian Gie dan kawan-kawan), serta menyimak pemberitaan Kompas (26/3) tentang pidato pengukuhan guru besar mengenai integrasi nasional Indonesia, tentu terasa mengejutkan melihat kenyataan ini.

Kuliah subtopik "interdependensi ekonomi" di kelas semester ke-8 pada sebuah universitas terkemuka di Jakarta tidak dapat saya lanjutkan. Bagaimana mungkin para mahasiswa tidak mengenal Laut Sawu, Teluk Tomini, Morotai, Sorong, Timika, dan lokasi geografi strategis lain guna membangun pola-pola interdependensi ekonomi yang akan dibahas di kelas.

Semula saya tidak yakin para mahasiswa semester ke-8 ini benar-benar "buta" ilmu bumi Indonesia. Ketika dengan jengkel saya tawarkan siapa yang tahu di mana Laut Sawu, Bima, Waingapu, Maumere, Ende, Larantuka, dan Rote akan saya luluskan tanpa saya periksa ujiannya, benar-benar malapetaka terbukti, tidak seorang pun mengacungkan tangan.

Mereka memang tidak mengenal Tanah Airnya. Di kelas ini, ada yang mengaku berasal dari Jawa Barat (lahir Betawi) pun tidak tahu di mana Pameungpeuk. Ada yang menyatakan Jambi di sebelah timur Palembang. Ada yang menggambar letak Minahasa di antara Makasar dan Parepare. Demikian pula Boyolali (asal orangtuanya) dikatakan di selatan Solo, dan mengatakan Cepu di Jawa Timur. Mereka meletakkan Pontianak di antara Ketapang dan Pangkalan Bun, padahal jelas Tugu Khatulistiwa di Pontianak. Mereka tidak lancar menyebut 10 nama kota besar di Jawa, sempat berhenti pada deretan kota ke-8, dan seterusnya.

Kesimpulan saya, mereka tidak merasa sempit atau sesak napas hidup di Indonesia hanya berwawasan cekak Jabotabek, tanpa tahu the land beyond, ibarat miopi dan berkacamata sempit cukuplah hidup ini. Ibaratnya, tidak perlu mengenal Nusantara berikut isi dan penghuninya yang terbentang dari Sabang sampai Merauke dan dari Miangas sampai Rote. Seolah mereka tidak merasa risi tanpa tahu zero point keberadaan mereka.

Hegemoni akademis

Bagi saya, apabila bangsa kita seperti yang ada di kelas itu, ini merupakan sesuatu pelumpuhan sempurna (a complete disempowerment) atas suatu bangsa.

Sudah sejak beberapa waktu saya mengamati terjadinya hegemoni akademis di kampus-kampus kita. Ada kecenderungan laten sejak lama kurikulum telah membentuk manusia-manusia elite yang ambivalen, menjadikan mereka "orang Barat di Timur" atau "orang Timur yang ke-Barat-Barat-an", yang lengah akan ideologi dan kesadaran nasionalnya.

Bagi Indonesia yang berideologi Pancasila, yang multikulturalistik dan bermanifesto Bhineka Tunggal Ika, hegemoni akademis yang mengubur cita-cita (visi dan misi kemerdekaan) adalah upaya merongrong perjalanan sejarah bangsa.

Suatu nationhood yang dalam dimensi utuhnya mengemban doktrin self-determination, sovereignty, dan territorial integrity tidak dikenal para mahasiswa kelas saya ini. Mereka adalah warga negara Indonesia tanpa kesadaran geografi, tak mengenal prinsip ksatria sedumuk bathuk senyari bumi. Mereka dilumpuhkan oleh semacam "kurikulum modern" yang mendikte agar sejarah dan ilmu bumi Indonesia tak perlu benar-benar diajarkan.

Teritori tidak utuh

Pada kuliah pekan berikutnya, mereka tetap saja tidak tahu di mana Miangas dan Rote. Bahkan, ada yang mengatakan Andalusia di Swiss dan Maroko di Filipina, mereka tidak mengenal Federico Garcia Lorca (dari Andalusia), Friedrich von Schiller, Sir Rabindranath Tagore, dan lainnya, adalah bagian dari telah terjadinya pelumpuhan akademis itu. Suatu perlucutan dari konteks dan tekstur mondial paling sederhana.

Terpaksa saya membeli delapan peta (atlas). Ada yang berjudul Atlas Lengkap (untuk sekolah dasar); Atlas Dunia (untuk SD, SLTP dan SMU); Atlas Indonesia dan Dunia; Atlas Indonesia dan Dunia (untuk IPS); dan seterusnya. Dari peta sebanyak itu hanya satu yang memuat Pulau Miangas (126,8BT/5,35LU), itu pun salah tulis, Pulau Miangsa. Tujuh peta lain hanya memuat sampai ke Kepulauan Sangihe (125,5BT/3,5LU) dan Kepulauan Talaud (126,8BT/4,5LU). Atlas kita tidak tuntas, teritori Indonesia tidak diutuhkan. Pada umumnya hanya di peta lama (terbitan 1994 ke bawah), di peta-peta dinding lama Pulau Miangas masih tertera.

Tentu memalukan, Pulau Miangas justru tertera jelas di peta dinding yang terpancang di ruang kerja Duta Besar Amerika Serikat di Jakarta. Untunglah inflight-magazine Garuda Indonesia memuat Pulau Miangas (atas saran saya). Kita tinggal menunggu apakah nasib Pulau Miangas akan sama dengan Pulau Sipadan dan Ligitan. Mindset mereka tidak mencakup utuh Tanah Air sebagai milik dan bagian kehidupan bernegara.

Bagaimana bangsa kita lengah dan mudah dilumpuhkan melalui skenario akademik macam ini? Ataukah ini sekadar absurditas atau ketumpulan budaya? Bagaimana nasionalisme bisa direvitalisasi tanpa ada kesadaran teritorial? Bagaimana nasionalisme bisa berkembang bila para pemimpin menjuali kedaulatan negara (Indosat dan lainnya)?

"Resources wars"

Perang kekayaan alam (resource wars) yang gamblang digambarkan Klare cukup mengerikan. A Lowrie (2002) menambahkan, doktrin resource scarcity sedang bergeser menjadi doktrin "negara bandit" (rogue state doctrine). Kita dirampok para Herrenvölker, bangsa adidaya ekonomi, yang menggandeng pasar bebas, yang dengan mudah menjarah kekayaan alam kita. Pasar bebas yang diwakili para global financial tycoons tanpa kedok lagi berunjuk gigi sebagai super-imperialis (M Hudson, 2003). Saking lemahnya kesadaran geografi dan sovereignty atas teritori, 6.000 (dari sekitar 18.000) pulau yang disatukan lautan luas, setelah 60 tahun merdeka, ada yang belum diberi nama. Nama-nama indah nelayan setempat sepatutnya diadopsi sebagai nama pulau.

Peta-peta Indonesia tak utuh yang beredar hendaknya ditarik kembali. Para penyusun tidak boleh mengkhianati dan menjerumuskan anak-anak dengan memperdagangkan atlas macam itu. Wisata Nusantara antarpulau bagi bapak/ibu guru dan murid perlu dipromosikan dengan dana masyarakat dan APBN.

Sri-Edi Swasono Pj Ketua Umum Dekopin; Ketua Dewan Pakar PKP-Indonesia

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home