| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Wednesday, April 12, 2006,12:32 PM

Musuh Bersama: Ekonomi Biaya Tinggi

Sudhamek AWS

Sebulan terakhir ini kita dikejutkan maraknya demo buruh di berbagai kota. Untuk kesekian kalinya buruh dan pengusaha berbenturan (atau dibenturkan?).

Dunia sedang mengalami perubahan mendasar dan cepat. Di mana-mana orang berbicara perubahan, tetapi kita masih terjebak pandangan lama, yaitu hubungan dikotomis buruh-pengusaha. Itu adalah pandangan yang salah kaprah karena buruh dan pengusaha bukan hanya mempunyai kepentingan bersama, tetapi terikat hubungan saling menumbuhkembangkan (interdependent co-arising) berdimensi jangka panjang.

Sejatinya, hubungan jangka panjang tidak mengenal istilah win-lose (dikotomis), sebab ada kemungkinan lain, lose-lose atau win-win. Lose-lose jelas bukan pilihan tepat, dan tinggal win-win relationship. Pandangan ini meyakini, hubungan jangka panjang harus saling menumbuhkan, bukan saling mematikan. Masalahnya, bagaimana pengusaha bersama buruh menata hubungan yang saling menumbuhkan.

Kompetisi

Teori ekonomi lama memandang buruh sebagai salah satu faktor produksi. Dalam teori ini manusia dipandang sebagai obyek. Pandangan ini sudah ditinggalkan. Buruh bukan hanya obyek, tetapi salah satu subyek yang ikut berkontribusi menentukan mati-hidupnya sebuah usaha.

Oleh karena itu, buruh adalah salah satu key stakeholder. Maka, buruh tidak bisa lagi dilihat sebagai sekadar angka. Apalagi kian banyak yang menyadari, yang dibutuhkan dunia usaha saat ini bukan sekadar manual worker, tetapi knowledge worker.

Wajar jika kemudian tenaga kerja dituntut mempunyai kompetensi memadai karena mereka bertarung di arena competency market. Ini sejalan dengan pandangan, persaingan yang terjadi saat ini bukan lagi persaingan barang dan jasa, tetapi persaingan berdasar kompetensi (competency based competition).

Salah kaprah kedua dalam dunia usaha adalah pandangan, yang dibeli konsumen adalah barang dan jasa. Padahal yang dibeli adalah nilai (value), tepatnya nilai tambah (added value). Value adalah sebuah nisbah antara quality delivered to consumer dengan costs. Jadi nisbah antara total get dengan total give.

Pertanyaannya, mengapa harus added value? Bukankah semua pemain bisnis memberikan value kepada konsumennya?

Benar. Sejatinya semua pengusaha memberi value kepada konsumen. Persoalannya adalah apakah mereka mampu memberikan nilai yang lebih (cq. added value) daripada para pesaingnya. Sebab nilai tambah itulah kunci terwujudnya kesetiaan pelanggan.

Jadi, nilai tambah adalah kunci guna mewujudkan sebuah sustainable enterprise. Dan nilai tambah itu hanya bisa terus diciptakan bila orang mampu menghasilkan kreativitas dan inovasi. Sementara kreativitas dan inovasi tidak bisa diharapkan dari berbagai macam faktor produksi secanggih apa pun, kecuali dari faktor manusia. Di sinilah muncul fakta, betapa relevan dan sentral peran manusia (tenaga kerja) dalam dunia usaha.

Maka, tepat yang dikatakan Jim Collins dalam buku Good to great: start with the right who, not with the right what. Dalam dunia usaha human investment menjadi sebuah keniscayaan sehingga knowledge worker terwujud.

Ekonomi biaya tinggi

Kekeliruan lain dalam dunia usaha adalah cara pandang biaya buruh sebagai penyebab high cost. Padahal menurut hasil pemairan (survei) Forum Ekonomi Dunia (2005) biaya buruh hanya 9-12 persen dari harga pokok produksi. Sedangkan komponen bahan bakar 30-50 persen, listrik 30-50 persen, dan biaya lain-lain, seperti pungutan liar dan pungutan di daerah, 19-24 persen. Jadi biaya buruh bukan komponen terbesar. Di sisi lain, peran buruh amat sentral sebagaimana peran key stakeholders lainnya.

Bahwa labor cost harus terkendali adalah logis karena biaya harus dikelola. Tetapi, pengendalian itu bukan berarti dengan cara menekan upah buruh. Masih banyak yang bisa dikerjakan pengusaha untuk pengendalian labor cost, antara lain dengan inovasi (di produk, proses, maupun prosedur), operational excellence sehingga menghasilkan kemangkusan (efficiency), dan peningkatan produktivitas (melalui perbaikan sistem, pengadaan sarana kerja yang memadai, maupun peningkatan keterampilan tenaga kerja itu sendiri).

Untuk itu secara internal perlu ada pembagian tugas di antara pengusaha dan buruh. Buruh harus meningkatkan kompetensinya, pengusaha memfasilitasi upaya peningkatan kompetensi itu, termasuk memerhatikan kesejahteraan buruhnya, baik kesejahteraan ekonomi (sesuai kompetensi) maupun kesejahteraan spiritual, sosial, dan kesejahteraan non-finansial lainnya.

Dalam konteks ini, pemerintah berkesempatan memberikan kontribusi bukan hanya sebagai regulator, tetapi sebagai fasilitator. Pemerintah perlu benar-benar fokus pada pengadaan dan penciptaan infrastruktur memadai, pembenahan sistem perpajakan, dan perizinan yang kondusif, birokrasi yang business friendly, serta penghapusan korupsi dan pungutan liar yang dilakukan birokrat maupun preman. Semua itu adalah faktor eksternal yang menjadi penyebab ketidakmangkusan (cq. high cost economy).

Di era globalisasi, selain inovasi yang ditekankan itu, cost leadership adalah kunci kemenangan dalam pasar yang kian kompetitif. Karena itu inefisiensi harus dilihat sebagai musuh bersama (common enemy) yang harus diperangi dunia usaha (pengusaha dan tenaga kerja) dan Pemerintah secara bahu-membahu. Bukan malah saling ribut gara-gara salah mengenali musuh utama.

Inilah spirit yang harus disepakati sebelum duduk lagi dalam Lembaga Tripartit yang akan segera reinkarnasi.

Sudhamek AWS Pemerhati Bisnis, Tinggal di Jakarta

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home