| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Wednesday, April 12, 2006,12:29 PM

Deppen Baru, Malu-malu tapi Mau!

Agus Sudibyo

Mengapa kita selalu terlambat mengantisipasi bencana demi bencana yang terjadi di negeri ini? Busung lapar, gizi buruk, flu burung, bencana banjir dan tanah longsor terjadi berulang-ulang.

Banyak jawaban bisa diajukan. Namun, ada satu aspek penyebab buruknya dampak berbagai peristiwa itu dan hampir selalu dilupakan: kelangkaan informasi.

Masyarakat tidak mendapat informasi memadai guna memprediksi dan mengantisipasi bencana. Masyarakat tidak cukup mendapat penerangan bagaimana menghindari krisis, bagaimana menghadapi bencana, dan kepada siapa meminta bantuan. Lembaga-lembaga pemberi bantuan tidak cukup mendapat informasi untuk menentukan bantuan paling mendesak dan prioritas tindakan saat dalam kondisi darurat. Gambaran paling ekstrem adalah saat bangsa ini menangani tsunami Desember 2004.

Siapa yang bertanggung jawab atas "kelangkaan informasi" itu? Pemerintah! Pemerintah bertanggung jawab atas penyebaran informasi yang dibutuhkan masyarakat guna mengantisipasi bencana, wabah penyakit, dan aneka masalah sosial lain. Namun, di sini pula letak kelemahan pemerintah yang lalai terhadap fungsi "diseminasi informasi". Bahkan, pemerintah bersikap reaktif saat fungsi itu dijalankan dengan baik oleh pers, seperti saat media berhasil mengungkap puluhan warga mati kelaparan di Papua beberapa bulan lalu.

Regulator media

Pengabaian fungsi diseminasi informasi juga terlihat dari pelembagaan Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo). Melihat fakta-fakta itu, pemerintah seharusnya merumuskan aneka kompetensi Depkominfo sebagai information apparatus. Membangun kapasitas sosialisasi kebijakan dan diseminasi informasi sehingga kita bisa berharap pemerintah tidak terlambat dalam mengantisipasi masalah sosial yang terjadi. Fungsi diseminasi informasi ini pula yang dijanjikan pemerintah saat menaikkan status Kementerian Kominfo menjadi Depkominfo.

Namun, fakta berbicara lain. Depkominfo belum berfungsi sebagai juru penerang. Kelangkaan informasi terus terjadi. Masyarakat tergantung informasi media untuk mengetahui seluk-beluk flu burung, gizi buruk, kelangkaan pekerjaan, pengangguran, kenaikan harga, dan seterusnya.

Keberadaan Depkominfo belum mengubah fakta pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono berjalan tanpa strategi komunikasi politik yang solid. Hampir tiap kebijakan atau rencana kebijakan menuai kontroversi: RUU Anti-Pornografi dan Pornoaksi, PP Penyiaran dan penentuan tarif daftar listrik dan seterusnya. Pemerintah merasa legitimate dengan aneka keputusannya, sementara publik merasa dicederai kepentingan dan rasa keadilannya. Kita menghadapi saluran komunikasi yang macet. Di luar media massa, tak ada ruang untuk bernegosiasi dan berdialog secara demokratis dan egaliter. Belum ada lembaga yang efektif menjadi public relation pemerintah dan menjalankan peran mediasi.

Apa kegiatan Depkominfo? Melalui paket PP Penyiaran, Depkominfo melembagakan fungsi baru: lembaga regulator media penyiaran. Pekerjaan ini bukan hanya tidak mendesak, namun juga kontraproduktif dalam konteks demokratisasi. Tidak ada negara demokrasi yang memberi otoritas kepada pemerintah untuk mengurusi media penyiaran, yang notabene merupakan urusan publik. Indonesia juga mempunyai sejarah panjang betapa buruk kebijakan semacam itu bagi ranah kebebasan berekspresi.

Ego sektoral

Semula, berlebihan mencurigai Depkominfo sebagai Departemen Penerangan (Deppen) baru. Namun, melihat kerasnya ikhtiar politik Depkominfo menjadi regulator penyiaran, meski DPR dan masyarakat menentang, kecurigaan itu menjadi beralasan. Apalagi jika menyimak proyeksi Depkominfo membuat standar perilaku media, mengoordinasi lembaga media watch, serta merevisi UU Pers dengan penekanan pada pengaturan tentang moralitas dan profesionalitas media.

Terakhir muncul kabar, Depkominfo meminta seluruh penerbitan pers mendaftarkan diri. Depkominfo menegasikan kedudukan Komisi Penyiaran Indonesia, Dewan Pers, SPS, dan asosiasi media. Benarkah?

Langkah Depkominfo menyiratkan upaya sistematis untuk mengembalikan otoritas pemerintah dalam mengontrol media dan penyiaran. Depkominfo kelihatan canggung dalam memosisikan diri layaknya Deppen di masa lalu. Mungkin karena mempertimbangkan reaksi keras rakyat sipil. Namun, perilaku politik yang diperlihatkan sebenarnya sebangun dengan perilaku Deppen di masa lalu: menempatkan pemerintah sebagai pembina dan pengontrol media.

Pertanyaannya, sejauh itukah agenda Yudhoyono? Dalam sejarahnya, Yudhoyono sebenarnya berutang popularitas kepada media. Kemenangannya merebut kursi presiden di satu sisi adalah cermin kemenangan media dalam melahirkan tokoh alternatif.

Fakta ini tidak otomatis membuat seseorang jadi lebih empati terhadap masa depan demokratisasi media. Namun, bisa jadi langkah zig-zag Depkominfo dalam mengendalikan media dan penyiaran lebih mencerminkan improvasi dan ego sektoral lembaga atau pejabat publik, tanpa merujuk garis-politik Presiden Yudhoyono sebagai seorang demokrat.

Agus Sudibyo Deputi Direktur Yayasan SET, Koordinator Loby Koalisi untuk Kebebasan Informasi

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home