| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Wednesday, April 12, 2006,12:24 PM

Pembiayaan Infrastruktur

Indonesia Kurang Serius Menangkap Peluang

Jakarta, Kompas - Indonesia terkesan kurang serius dalam menangkap peluang pembiayaan investasi melalui kerja sama regional. Sudut pandang dan kepentingan Indonesia dalam penyusunan skema kerja sama pembiayaan infrastruktur di tingkat regional juga belum jelas.

Hal itu terlihat pada pertemuan tingkat menteri tentang peningkatan kerja sama regional untuk pembangunan infrastruktur, termasuk kaitannya dengan manajemen bencana, yang diselenggarakan dalam rangkaian Sidang Komisi Ekonomi dan Sosial PBB untuk Asia Pasifik (UNESCAP), Selasa (11/4) di Jakarta.

Menteri Pekerjaan Umum (PU) Djoko Kirmanto yang diagendakan hadir dalam pertemuan tersebut mewakilkan kepada Sekretaris Jenderal Departemen PU Roestam Syarief. Sementara delegasi negara-negara Asia Pasifik yang mengikuti pertemuan itu masing-masing dipimpin pejabat setingkat menteri, bahkan perdana menteri (PM), misalnya PM Tuvalu Matie Toafa.

Seusai Roestam mempresentasikan pencapaian dan target pengembangan infrastruktur di Indonesia, Sekretaris Eksekutif UNESCAP Kim Hak-su mengingatkan para delegasi untuk lebih memfokuskan penyampaian gagasan mereka pada kerangka kerja sama regional dalam pembiayaan infrastruktur.

Pada kesempatan terpisah, staf ahli Menteri Koordinator Bidang Perekonomian yang membidangi infrastruktur, Bambang Susantono, mengatakan, sidang UNESCAP yang mengangkat infrastruktur sebagai salah satu tema utama sebenarnya merupakan peluang penting bagi Indonesia.

Menurut Bambang, dengan berperan aktif dalam penggagasan skema kerja sama pembiayaan regional, Indonesia bisa memasukkan terminologi yang memperluas kesempatan dalam merebut pendanaan infrastruktur.

"Pada perhelatan seperti itu berlaku konsep kerja sama sekaligus juga kompetisi," kata Bambang.

Surplus simpanan

Berdasarkan studi Bank Pembangunan Asia (ADB), Bank Dunia, dan Japan Bank for International Cooperation, selisih antara kebutuhan dan ketersediaan dana untuk pembangunan infrastruktur di Asia Pasifik diperkirakan sebesar 180 miliar dollar AS hingga 220 miliar dollar AS per tahun.

Namun, surplus simpanan dana di kawasan Asia Pasifik juga berkisar 200 miliar dollar AS per tahun. "Surplus simpanan ini lebih banyak ditempatkan atau diinvestasikan di luar kawasan Asia Pasifik. Melalui intermediasi finansial yang tepat, surplus dana ini dapat dimanfaatkan untuk membiayai pembangunan infrastruktur," kata Kim Hak-su.

Kerja sama regional dibutuhkan untuk menjalankan pola intermediasi finansial tersebut.

Dalam pertemuan ini, UNESCAP mengemukakan empat opsi kerja sama regional untuk pembiayaan infrastruktur, yakni memperluas mandat dan peranan ADB, memperkuat pasar obligasi Asia (Asian bond fund), memperkokoh bank sub-regional, atau membangun institusi baru, yakni Bank Investasi Asia.

Konsep Bank Investasi Asia dirancang mengikuti jejak kesuksesan European Investment Bank dalam pembiayaan infrastruktur negara-negara Uni Eropa.

Menanggapi gagasan ini, delegasi Jepang, Amerika Serikat, dan Inggris mengungkapkan kekhawatiran mereka akan terjadinya duplikasi peran bank investasi yang berfokus pada pembiayaan infrastruktur dengan ADB.

"Masalahnya, jika tidak dibentuk institusi baru, bisakah mandat ADB diubah menjadi lebih terfokus pada pembiayaan infrastruktur? Apakah ADB juga dapat menjalankan intermediasi untuk memobilisasi surplus simpanan yang ditaruh di luar kawasan Asia Pasifik?" kata Kim Hak-su setengah bertanya.

Ditentukan fokusnya

Di tempat terpisah, pertemuan antara pemerintah (Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara) dan empat bank pemerintah, yaitu Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Tabungan Negara (BTN), serta pihak-pihak yang akan diberikan kredit infrastruktur, Selasa di Jakarta, menyepakati bahwa Bank Mandiri akan menjadi koordinator (lead) dalam pemberian kredit infrastruktur berupa jalan tol.

Selain itu, BNI menjadi koordinator pemberian kredit infrastruktur energi berupa pembangkit listrik; BRI koordinator kredit untuk perkebunan, terutama kelapa sawit; dan BTN untuk kredit perumahan.

Koordinator berperan untuk menentukan proyek-proyek mana yang layak dibiayai dan berapa besarnya. Setiap proyek akan dibiayai bersama oleh konsorsium BNI, Bank Mandiri, dan BRI.

Direktur Utama Bank Mandiri Agus Martowardojo mengatakan, total komitmen Bank Mandiri, BNI, dan BRI dalam pembiayaan infrastruktur tersebut adalah Rp 7 triliun. "Dari total itu, komitmen Bank Mandiri sangat besar asalkan lokasi proyek layak, investor atau yang mengerjakan proyek punya reputasi baik, tidak ada risiko proyek akan terhenti karena persoalan sengketa tanah atau isu-isu lain," kata Agus.

Dia menambahkan, peranan perbankan ke depan dalam pembiayaan proyek-proyek infrastruktur masih akan dominan karena total aset perbankan sudah mencapai Rp 1.300 triliun, sementara pasar modal hanya Rp 60 triliun.

"Sumber-sumber pembiayaan lain juga tidak sebesar perbankan, jadi harapan terhadap perbankan memang masih besar. Ini bisa saja asalkan pemerintah mau memberikan jaminan dan kemudahan bagi perbankan dalam penyaluran kredit," katanya.

Direktur Utama BNI Sigit Pramono mengatakan, BNI siap mengalokasikan dana Rp 4,2 triliun atau sekitar 30 persen dari rencana ekspansi kredit BNI tahun 2006 yang mencapai sekitar Rp 14 triliun. Sementara Direktur Utama BRI Sofyan Basir mengatakan, BRI akan mengalokasikan dana sebesar Rp 1 triliun-Rp 2 triliun untuk setiap proyek yang akan dibiayai. Menurut Sofyan, BRI masih memiliki ruang pemberian kredit hingga Rp 8 triliun untuk tahun ini karena rasio pinjaman terhadap simpanan masih sebesar 77 persen. (day/TAV)

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home