| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Tuesday, April 11, 2006,4:07 PM

Logika Gotong Royong

Al Andang L Binawan

Pekan lalu ada dua berita kecil yang menarik perhatian. Pertama, berita "Gotong Royong, Prasyarat Masyarakat Madani" (Kompas, 29/3/2006), menuliskan pendapat BJ Habibie dalam diskusi publik. Kedua, berita "Sengketa Sosial Terpicu oleh Ke-kami-an" (Kompas, 1/4/2006) dalam peluncuran buku Kita and Kami: The Basic Modes of Togetherness karya Prof Dr Fuad Hassan.

Kedua berita itu menarik karena akhir-akhir ini makin banyak orang prihatin dengan situasi kebersamaan kita. Dengan kata lain, banyak orang mengharapkan suasana kebersamaan yang lebih baik.

Gotong royong yang sehat

Gotong royong adalah wujud kebersamaan suatu masyarakat. Sedangkan kebersamaan adalah salah satu hakikat kemanusiaan. Pandangan Aristoteles, yang sering diacu, manusia adalah zoon politicon atau makhluk sosial, tidak bisa dipungkiri. Banyak filsuf modern memberi afirmasi.

Landasan ontologisnya jelas, manusia pada dasarnya mempunyai kesamaan. Tanpa kesamaan, manusia tidak bisa hidup bersama, tak bisa berkomunikasi. Tidak bisa kawin-mengawini. Kesamaan ini esensial, bukan sekadar kesamaan tempat tinggal.

Benar, manusia juga mempunyai ketidaksamaan. Tiap manusia itu unik. Pandangan ini mendasari pandangan liberal tentang manusia yang otonom, bebas, dan rasional. Benar, manusia punya nilai pada dirinya. Hanya, penekanan berlebihan bisa memakan korban, khususnya mereka yang lemah, baik fisik, psikis, maupun finansial.

Oleh karena itu, keseimbangan antarkeduanya sungguh diperlukan. Gotong royong yang "sehat" bisa menjadi wujudnya. Gotong royong yang sehat didasari semangat solidaritas, saling percaya dan menghargai. Masing-masing menyadari otonomi dan harga- diri. Di lain pihak dia menghargai otonomi dan harga diri orang lain secara aktif, tidak sekadar pasif. Dengan kesalingan, kebersamaan tidak ditinggalkan.

Gotong royong berdasarkan premis solidaritas dan saling percaya ini akan menjadi sehat jika ditempatkan dalam kerangka keadaban publik yang lebih luas. Keadaban publik ini terjadi jika ada keseimbangan relasi antarketiga "poros" sosial: badan publik (negara), badan bisnis ("pasar"), dan masyarakat warga. Premis gotong royong perlu dipertimbangkan sebagai unsur keadaban publik, tetapi tidak boleh dipaksakan begitu saja. Dengan demikian, ada keterhubungan sekaligus ada pembedaan.

Musuh gotong royong

Logika gotong royong yang ber-premis mayor solidaritas dan saling-percaya, dalam perkembangan zaman, bukan tanpa ancaman. Kemerosotan yang terjadi menunjukkan adanya serangan "musuh" itu. Musuh logika gotong royong ini datang dari luar dan dari dalam.

Musuh dari luar yang paling nyata datang dari pasar, dengan premis mayor transaksionalnya. Premis berdasarkan pertimbangan untung-rugi sebenarnya sah- sah saja, asal ditempatkan dalam "dunianya". Hal itu akan menjadi perkara bila dimasukkan dalam ranah masyarakat warga. Kerekatan sosial dan rasa saling-percaya akan rusak karenanya.

Negara pun bisa menjadi musuh gotong royong saat terjebak institusionalisasi dan birokrasi yang kaku sehingga memenjarakan prinsip subsidiaritas. Masyarakat tidak lagi dipercaya. Semua perkara digantungkan pada hukum yang beku. Manusia dihargai dalam konteks fungsi. Spontanitas antarwarga terpasung di dalamnya.

Namun, ada juga musuh dari dalam. Hal itu bisa terjadi ketika tiap pribadi mementingkan diri sendiri. Hanya saja, yang sebenarnya terjadi adalah penekanan pada perbedaan seperti telah disebut. Penekanan perbedaan mendorong pencarian identitas kelompok. Ke-kami-an, bukan ke-kita-an yang muncul. Fundamentalisme adalah salah satu kenampakannya. Pada gilirannya, terjadi penguatan sekat-sekat sosial yang menghalangi solidaritas dan menghambat tumbuhnya rasa saling percaya.

Rekayasa bersama

Memang, memulihkan kebersamaan dan gotong royong seperti pada masa silam adalah utopia. Hanya, karena nilai kebersamaan itu akan tetap hakiki, sementara gerak zaman tampak makin menjauhinya, dibutuhkan rekayasa bersama untuk mempertahankannya.

Menggantungkan perkara ini pada inisiatif pribadi tidak akan banyak berarti. Rekayasa ini bisa berarti menemukan cara-cara nyata dan berdaya-guna. Menghidupkan lagi kerja bakti dan kenduri bersama adalah salah satu misal. Keduanya memberi kesempatan warga saling mengenal secara pribadi, sebagai sesama manusia, bukan sekadar anggota partai tertentu dan/atau umat agama tertentu. Selain itu, cara baru tentu perlu dicari.

Selain sarana, juga dibutuhkan "bahasa" bersama sebagai kerangka komunikasi. Tanpa ada nilai yang sama, komunikasi tak akan terjadi. Dalam hal ini Pancasila dan UUD 1945 perlu ditatap kembali secara lebih serius. Di satu sisi, keduanya menjadi bahasa bersama. Di sisi lain, keduanya memuat nilai solidaritas dan saling percaya dalam konteks Indonesia. Perkaranya, tak ada yang memulai (lagi) secara tegas. Aparat negara pun gagap. Karena itu, mungkin para pemimpin masyarakat perlu lebih serius memikirkan lalu memulainya!

Al Andang L Binawan
Pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home