| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Friday, April 28, 2006,9:44 PM

Menata Kembali Pulau Jawa

Marison Guciano

Kamis (20/4) dini hari lalu, untuk pertama kali dalam puluhan tahun, banjir bandang dan tanah longsor menenggelamkan Trenggalek, Jawa Timur, mengakibatkan ratusan hektar sawah dan 900 rumah terendam serta 16 orang meninggal dunia (Kompas, 21/4).

Di Pulau Jawa, sejak tahun 2006, bencana seperti banjir bandang di Kabupaten Trenggalek bukan yang pertama kali. Sudah puluhan bencana serupa menerjang sebagian besar daerah di pulau terpadat di Indonesia ini. Diawali di Jember dan Banjarnegara, banjir bandang sepertinya menjadi bencana yang tidak mungkin berkesudahan.

Kerusakan hutan

Hampir setiap terjadinya bencana banjir bandang pasti terkait dengan kerusakan hutan. Begitu pun atas musibah yang terjadi di Trenggalek. Ditengarai ada kerusakan hutan di sekitar lereng pegunungan yang memagari Kabupaten Trenggalek, yaitu Gunung Wilis, Gunung Limas, Gunung Liman, Pegunungan Kendeng Selatan, Pegunungan Watu Tawon, dan Pegunungan Rajek Wesi. Lahan kritis sejak 1999 hingga 2004 di Trenggalek terus meningkat. Jika akhir tahun 1990-an luasan lahan kritis mencapai sekitar 1.677 hektar (ha), maka pada akhir 2004 tercatat 2.383 ha. Dalam jangka waktu sekitar lima tahun, penambahan luasan lahan kritis mencapai sekitar 700 ha atau rata-rata 140 ha per tahun.

Luasan lahan kritis tersebut adalah penyebab tidak mampunya hutan di sekitar lereng pegunungan yang memagari Trenggalek untuk menyerap derasnya hujan yang turun membawa debris (tanah yang terbentuk dari timbunan) sehingga menyebabkan banjir bandang. Bencana diperparah ketika Sungai Bagong dan Sungai Ngasinan ternyata tak kuasa menampung hujan yang turun. Jadilah kabupaten termiskin di Jatim ini lautan lumpur.

Secara keseluruhan, kondisi hutan Jawa seluas 3 juta hektar sungguh memprihatinkan. Berdasarkan penafsiran citra satelit tahun 2000, terindikasi 1,714 juta hektar lahan hutan Jawa perlu direhabilitasi, atau 56,7 persen dari luas seluruh hutan terdiri dari hutan lindung dan konservasi yang rusak 567.315 hektar dan hutan produksi tak berpohonan 1.147.116 hektar.

Dari gambaran kondisi hutan Jawa tersebut, sangat wajar kemudian ada pihak yang mempertanyakan bagaimana pengelolaan hutan Jawa selama ini. Begitu pula mengkaji kembali keberadaan Perhutani—yang mengelola lebih dari 90 persen hutan negara di Jawa—sebagaimana yang sering disuarakan beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) belakangan ini. Luasnya hutan gundul dan lahan kritis di Jawa dinilai sebagai bentuk pengelolaan hutan yang sembrono dari Perhutani.

Kompleksitas masalah

Sebagai otoritas pengelola hutan Jawa, Perhutani memang harus bertanggung jawab atas pengelolaan hutan yang dinilai sembrono. Namun, tidaklah arif jika segala permasalahan hutan Jawa ditumpahkan kepada Perhutani. Bagaimanapun, selain permasalahan internal, Perhutani juga menghadapi tekanan-tekanan eksternal yang sangat hebat dalam mengelola hutan Jawa, ledakan penduduk salah satunya.

Dengan luas daratan kurang lebih 13 juta hektar, jumlah penduduk di Jawa-Madura mencapai lebih dari 130 juta jiwa. Akibat tekanan penduduk ini, lahan hutan di Jawa terus berkurang dengan beralih fungsi menjadi permukiman, industri, lahan pertanian dan perkebunan.

Belum lagi soal lemahnya penegakan hukum kasus penebangan liar. Kewenangan Perhutani yang tidak mampu menjangkau ranah hukum dimanfaatkan betul oleh orang-orang di luar Perhutani untuk "menyelamatkan" para pencuri kayu yang telah tertangkap, baik dalam proses kepolisian maupun pengadilan.

Di tengah tekanan eksternal, Perhutani terus bergelut dengan persoalan internal. Kultur perusahan peninggalan kolonial Belanda ini dinilai buruk.

Kita tentu tidak ingin mengulangi kegagalan Vereniging Oost Indische Compagnie (VOC) dalam mengelola hutan Jawa 400 tahun lalu, yang mengakibatkan hutan Jawa rusak berat. Permasalahan yang dihadapi Perhutani saat ini dirasa lebih berat daripada yang dihadapi VOC pada masa lalu.

Barometer Indonesia

Luasnya hutan gundul dan lahan kritis yang ada di Jawa saat ini merupakan masalah bersama. Di pulau inilah urat nadi ekonomi dan pemerintahan Indonesia berada sehingga Jawa menjadi barometer Indonesia di mata dunia. Buruknya Jawa sebegitu buruklah Indonesia.

Banjir bandang yang sering melanda Pulau Jawa bukan hanya menunjukkan pengelolaan hutan yang buruk oleh Perhutani, tetapi juga karut-marutnya road map pembangunan Pulau Jawa.

Marison Guciano Alumnus Universitas Bengkulu; Saat Ini Bekerja sebagai Konsultan Ahli Perum Perhutani dan Liaison Officer Orangutan Republik Education Initiative (OUREI)

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home