| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Tuesday, April 25, 2006,10:34 PM

Indonesia: "Welfare State" yang Belum Sejahtera

Siswono Yudo Husodo

Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir, bersama tokoh-tokoh lain yang sejak belia berjuang di masa penjajahan untuk mewujudkan Indonesia yang merdeka, tergerak oleh kondisi bangsanya yang dililit kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan yang sangat menyentuh perasaan. Penjajah hanya memberi sedikit perhatian pada kesengsaraan yang mengakibatkan jutaan orang mati karena kelaparan, kurang gizi, malaria, disentri, kolera, didera bencana banjir, kekeringan, gunung meletus, dan sebagainya.

Bung Karno menyebutnya "een natie van koelis en een koeli van naties", bangsa yang terdiri atas kuli dan menjadi kuli di antara bangsa-bangsa.

Seorang pegawai Belanda, Asisten Residen di Lebak-Banten, Douwes Dekker (dengan nama samaran Multatuli, bahasa Latin yang berarti "saya yang telah banyak menderita"), pada tahun 1856 menulis penderitaan mendalam rakyat Indonesia dalam bukunya Max Havelaar. Tidak banyak generasi sekarang yang menyadari penderitaan warga kita di saat itu.

Sebagai reaksi atas kondisi tersebut, para pendiri negara bangsa kita dalam merumuskan cita-cita bernegara melalui UUD 1945 bertujuan membentuk negara kesejahteraan, welfare state. Pembukaan UUD: .... "Pemerintah melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa" adalah wujud dari niat membentuk negara kesejahteraan itu. Juga tercermin dalam Pasal 27, di mana setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan serta Pasal 31, 33, dan 34 di mana kekayaan alam kita harus dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat serta fakir miskin dan anak telantar dipelihara oleh negara.

Gagasan lama

Welfare state adalah gagasan yang telah lama lahir, dirintis oleh Prusia di bawah Otto Von Bismarck sejak tahun 1850-an. Dalam Encyclopedia Americana disebutkan bahwa welfare state adalah "a form of government in which the state assumes responsibility for minimum standards of living for every person" (bentuk pemerintahan di mana negara dianggap bertanggung jawab untuk menjamin standar hidup minimum bagi setiap warga negaranya).

Gagasan negara kesejahteraan itu di Eropa dan Amerika di masa lampau berbenturan dengan konsepsi negara liberal kapitalistik.

Tetapi, sejarah mencatat bahwa benturan dua gagasan besar itu telah menghasilkan negara-negara yang makmur dengan rakyat yang hidup sejahtera di Amerika Utara dan Eropa Barat. Rakyat di negara-negara tersebut menikmati pelayanan dari negara di bidang kesehatan dengan program asuransi kesehatan, sekolah gratis, sampai sekolah lanjutan atas bahkan di Jerman sampai universitas, penghidupan yang layak dari sisi pendapatan dan standar hidup, sistem transportasi yang murah dan efisien, dan orang menganggur menjadi tanggungan negara.

Semua layanan negara tersebut sebenarnya dibiayai sendiri oleh masyarakatnya yang telah menjadi semakin makmur, melalui sistem asuransi dan perpajakan, dengan orientasi utamanya mendukung human investment.

Kesejahteraan adalah buah dari sistem ekonominya yang mandiri, produktif, dan efisien dengan pendapatan individu yang memungkinkan saving.

Sudah lebih dari 60 tahun sejak Republik Indonesia diproklamasikan sebagai negara kebangsaan dan negara kesejahteraan, namun wujud negara kesejahteraan itu belum tampak. Bahkan, kita menyaksikan dengan prihatin proses komersialisasi yang meluas dengan cepat di bidang pendidikan dan kesehatan, seiring dengan semakin terbatasnya APBN. Di tengah keterbatasan pemerintah menciptakan lapangan kerja dan menaikkan daya beli rakyat, kondisi itu amat menyakitkan kelompok rakyat yang tidak berpunya.

Kemampuan keuangan negara yang lemah menyebabkan berbagai fenomena yang hanya layak terjadi di era kolonial, seperti orang mati kelaparan dan merebaknya penyakit karena kemiskinan maupun sulitnya mengakses pendidikan, terulang lagi.

Penyelenggara negara kesulitan melaksanakan jiwa, semangat, dan ketentuan yang tertulis dalam UUD 1945 karena berbagai keterbatasan, utamanya sumber pendanaan. Jujur perlu kita akui bahwa sebagai negara bangsa kita tertinggal, baik dalam aspek pembangunan fisik maupun nonfisik dari banyak negara lain.

Gali lubang lebih dalam

Diperlukan reorientasi kebijakan pengelolaan negara demi kesejahteraan rakyat. Selama puluhan tahun, sebagian kebutuhan pembiayaan pembangunan negara kita dibiayai dari utang luar negeri (LN). Sejak awal berdirinya negara kita sampai dengan tahun 2002, cicilan pokok dan bunga utang LN Pemerintah RI yang telah kita bayar berjumlah 127 miliar dollar AS. Dan, sampai Desember 2005, negara kita masih mempunyai utang ke luar negeri sebesar 61,04 miliar dollar AS (Rp 540.000.000.000.000).

Kita tentu bisa memahami bila semua pemimpin politik ingin dirinya populer. Dan, salah satu faktor untuk menunjang performa pemerintahannya adalah melaksanakan sebanyak mungkin pembangunan. Cara yang mudah adalah dengan berutang ke luar negeri agar tersedia dana yang cukup guna meningkatkan pembangunan.

Akumulasi utang, yang dulu dibuat pemerintah kita, sekarang telah menjadikan angsuran pokok dan bunga sebesar Rp 180 triliun per tahun—yang amat sangat membebani pemerintahan sekarang dan yang akan datang—telah sangat menurunkan kemampuan negara untuk memberikan layanan dasar bagi rakyat, utamanya di bidang pendidikan dan kesehatan. Dengan kondisi beban utang seperti sekarang, amat sulit bagi Indonesia untuk mengupayakan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Untuk menjaga aktivitas pembangunan negara, pemerintah lalu membuat utang baru yang lebih besar daripada angsuran utang lamanya. Kita telah menggali lubang dan menutup lubang dengan lubang yang semakin dalam.

Negara kesejahteraan tidak akan tercapai jika kita tidak mengambil langkah baru dalam masalah utang luar negeri kita yang sudah demikian menumpuk. Dengan mengakui manfaat utang luar negeri yang kita rasakan bersama, sejujurnya saya menganggap Indonesia telah masuk dalam the debt trap (perangkap utang untuk membuat kita tergantung dan didikte oleh pemberi utang).

Menjadi sejahtera adalah hak kita sebagai bangsa dan kita dapat mengupayakan semua langkah yang bermartabat untuk itu.

Bertekad berhenti berutang, melunasi seluruh utang, dan mengupayakan negosiasi ulang atas utang LN kita bukanlah hal yang merendahkan martabat kita sebagai bangsa. Melunasi utang kita adalah masalah mau atau tidak mau, berani atau tidak berani, bukan masalah bisa atau tidak bisa karena kita mampu melunasi semua utang LN kita dalam jangka waktu 25-35 tahun.

Dengan upaya yang cerdik, kita dapat optimistis bahwa masyarakat internasional akan memberikan prevelese pada utang luar negeri RI. Kecerdikan yang telah membuat Pakistan di bawah PM Musharaf memperoleh hair cut utang luar negerinya hampir 20 persen dan Nigeria memperoleh hair cut 18 miliar dollar AS.

Dalam waktu dekat ini yang dapat kita lakukan adalah membuat cicilan utang lama lebih besar dari utang baru sehingga outstanding utang menjadi semakin berkurang. Kita berhak untuk menentukan sendiri jalan yang ingin kita tempuh untuk membangun negara kesejahteraan. Untuk itu, diperlukan orientasi baru di bidang ekonomi.

Semangat kemandirian

Menekankan pembangunan ekonomi dengan semangat kemandirian dan memanfaatkan pasar dalam negeri kita yang amat besar bagi penguatan potensi ekonomi bangsa sendiri serta memanfaatkan comparative advantage yang kita miliki di bidang pertambangan, pariwisata, pertanian, perikanan, perkebunan secara industrial dan modern serta berorientasi ekspor adalah bagian amat penting yang harus kita lakukan.

Itulah cara untuk meningkatkan kapasitas ekonomi nasional yang lazim dilakukan bangsa-bangsa lain. Aneka proses ekonomi yang terjadi, baik yang berupa pengolahan kekayaan alam maupun pasar amat besar yang kita miliki, sebanyak mungkin harus dapat dinikmati oleh pengusaha-pengusaha bangsa kita sendiri.

Jangan menyandarkan diri kepada pihak asing/luar negeri/impor untuk mengatasi kesulitan yang kita hadapi. Kita perlu membangun kemandirian sebagai cara membangun kesejahteraan rakyat. Kekurangan produk pangan, solusinya jangan impor. Untuk banyak kebutuhan kita yang terus meningkat itu, dengan biaya yang lebih rendah, serta menghemat devisa, dan lebih membanggakan, kita bisa membuat solusi dengan meningkatkan produksi.

Sewaktu ditemukan deposit batu bara, minyak, tembaga, dan emas di berbagai penjuru Tanah Air, kita tergesa-gesa menyerahkannya kepada asing. Padahal, dengan dukungan tenaga ahli dan permodalan yang tersedia didunia ini, kita juga mampu mengerjakannya sendiri.

Sungguh diperlukan reorientasi dalam membangun negara kita agar cita-cita membangun negara kesejahteraan dapat tercapai. Semoga.

Siswono Yudo Husodo Ketua Yayasan Pendidikan Universitas Pancasila

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home