| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Friday, April 21, 2006,12:52 PM

Emansipasi Ganda ala Kartini

Rieke Diah Pitaloka

"Sudah beberapa kali kami mendengar tentang pejuang wanita India yang berani itu. Saya masih sekolah tatkala saya untuk pertama kali mendengar tentang dia. O, saya masih ingat benar; waktu itu saya masih sangat muda, baru 10 atau 11 tahun, hati saya menyala-nyala tatkala membaca tentang dia di surat kabar. Saya jadi menggigil karena emosi: jadi tidak hanya wanita kulit putih yang dapat mencapai kehidupan bebas! Wanita berkulit sawo matang juga dapat membebaskan diri dan hidup berdiri sendiriā€¦."

Itulah cuplikan surat kepada Ny van Kol tertanggal 21 Juli 1902. Surat itu ditulis seorang perempuan Jawa yang hanya mengenyam pendidikan sampai bangku sekolah dasar. Saudara laki-lakinya setelah selesai sekolah dasar (ELS) dapat melanjutkan ke HBS, bahkan melanjutkan pendidikan di Belanda. Sementara ia dan saudara-saudara perempuannya dipaksa adat hidup dalam pingitan.

Namun, kenyataan itu tak memadamkan semangatnya untuk membuktikan, sama seperti laki-laki, perempuan punya hak mewujudkan cita-cita. Pemikiran-pemikiran yang dituangkan melalui surat-surat yang disampaikan kepada para sahabatnya membuat ia diakui sebagai pelopor emansipasi dan pejuang pendidikan bagi perempuan di Indonesia. Itulah RA Kartini.

Kartini hidup pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Saat itu perlakuan diskriminatif harus diterima semua golongan pribumi. Namun, bagi perempuan, diskriminasi juga terjadi akibat adat yang amat feodal. Bukan hanya karena dipingit sehingga terisolasi dari dunia luar, seorang perempuan juga harus mau dinikahkan dengan lelaki bukan pilihannya.

Sudah berubah?

Setelah 102 tahun Kartini wafat, sudah berubahkah nasib perempuan Indonesia? Memang, belum semua perempuan berkesempatan memperoleh pendidikan. Tetapi, harus diakui, kini tak sedikit perempuan dapat menikmati pendidikan hingga jenjang pendidikan tinggi. Sebagian perempuan juga menempati jabatan-jabatan penting. Tidak hanya itu, sejumlah profesi yang pada era Kartini hanya menjadi milik kaum lelaki kini sudah digeluti kaum perempuan.

Pertanyaannya, apakah dengan fenomena itu berarti kesetaraan jender telah tercipta? Apakah dengan keterlibatan perempuan di ruang publik berarti juga mandiri di wilayah domestik?

Beberapa waktu lalu, saya didatangi seorang perempuan. Usianya 27 tahun, berpendidikan, dan memiliki karier yang bagus. Secara ekonomi, perempuan ini tidak tergantung kepada suaminya yang juga berpendidikan. Kesan tangguh terlihat di wajahnya. Andai ia tidak menuturkan pengalaman pahitnya, saya tidak akan menduga bahwa ia adalah korban kekerasan dalam rumah tangga.

"Saya pernah aktif di sebuah universitas ternama, juga pernah bekerja di sebuah LSM yang memberi advokasi kepada perempuan korban kekerasan. Namun, ketika saya dalam posisi korban, ternyata saya tak mampu berbuat banyak," tuturnya. "Saya tak berani melaporkan suami kepada pihak berwajib karena saya tidak mau merusak kariernya. Saya juga tidak mau keluarga jadi malu, apalagi mertua saya seorang tokoh agama."

Ruang publik dan privat

Apakah yang dialami perempuan itu merupakan bentuk emansipasi yang diperjuangkan Kartini? Tentu tidak. Jika dilihat kembali cuplikan surat Kartini di awal, jelas emansipasi yang dimaksud harus merupakan perwujudan "kebebasan diri" dan "kemampuan berdiri sendiri". Kedua kondisi itu harus dimiliki perempuan tidak hanya ketika ada di ruang publik, tetapi juga saat berada di wilayah domestik.

Ruang privat adalah tempat bagi individu untuk bersembunyi, mencari kenyamanan selepas berkarya dan bertindak. Wilayah domestik ada pada ruang ini, tak terkecuali bagi perempuan. Jadi, sudah seharusnya perempuan mendapat kenyamanan ketika ia kembali pada ruang privat.

Namun, karena sifatnya yang tertutup dari pandangan "orang luar", yang terjadi justru sebaliknya. Ruang privat menjadi tempat yang nyaman bagi pelaku kekerasan domestik. Ketiadaan transparansi tindakan di ruang ini membuat pelaku kekerasan terlindung dari sanksi sosial dan sanksi hukum.

Jika di ruang privat manusia dapat menutupi tindakannya dari pandangan orang lain, tidak demikian jika manusia ada di ruang publik. Ruang publik adalah tempat identitas manusia diungkap dan perbuatan diingat. Ruang publik menuntut kejujuran. Idealnya, ketika perempuan ada di ruang publik, ia dapat terhindar dari kekerasan domestik. Hal itu dapat terwujud jika ruang privat dipahami sebagai satu kesatuan dengan ruang publik.

Namun, dalam budaya patriarki terjadi pembedaan antara kedua ruang itu. Artinya, terjadi pemisahan antara individu dan komunitas, pemisahan antara urusan rumah tangga dan urusan publik, sehingga terjadi pemisahan antara moralitas dan hukum.

Budaya patriarki

Dalam budaya patriarki, otoritas tertinggi ada pada suami, kepala rumah tangga, yang berhak menentukan aturan apa pun menyangkut orang-orang dalam rumah tangga, termasuk memberi "pelajaran" kepada istri.

Dengan cara pandang seperti itu, pelaku kekerasan tak akan merasa bersalah karena yang menjadi korban adalah istri yang ada dalam lingkup privatnya. Namun, sering kali pelaku tak sungkan melakukan tindak kekerasan di depan umum karena anggapan "urusan rumah tangga adalah urusan masing-masing".

Memperingati kelahiran Kartini adalah membuka ruang dialog dengan gagasan-gagasannya. Emansipasi perempuan yang dimaksud Kartini tidak sekadar terbukanya pintu dunia pendidikan bagi perempuan.

Emansipasi mensyaratkan enyahnya cara pandang patriarki dari ruang privat sekaligus publik. Artinya, perjuangan kesetaraan jender tak hanya membutuhkan kerja akademis, tetapi juga politis. Selamat Hari Kartini.

Rieke Diah Pitaloka Lulusan S2 Filsafat Politik Universitas Indonesia

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home