| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Tuesday, April 25, 2006,10:29 PM

Presiden Akui Ada Kesenjangan Harapan dengan Kenyataan

Jakarta, Kompas - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengakui, dalam memenuhi prinsip negara hukum, jaminan hak asasi manusia, dan hak warga negara sebagaimana diatur dalam UUD 1945, ada kesenjangan antara apa yang diharapkan dan kenyataannya. Meskipun sejak dulu bangsa Indonesia telah berjuang dan berusaha mengatasi kesenjangan yang terjadi, tetapi hasilnya dirasakan belum memuaskan semua pihak.

Demikian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam sambutannya ketika membuka acara Pertemuan Puncak Peranan Bantuan Hukum dalam Memajukan Akses Keadilan Masyarakat Marjinal dalam Konteks HAM, Senin (24/4) di Jakarta. Acara dihadiri Ketua Dewan Pembina Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Adnan Buyung Nasution dan sejumlah menteri.

Presiden Yudhoyono adalah presiden pertama yang hadir dalam acara LBH sepanjang sejarah LBH. Hal itu juga diakui Ketua Dewan Pengurus YLBHI Munarman. "Wapres Adam Malik juga pernah hadir dalam acara peresmian Gedung YLBHI pada tahun 1980-an," ucapnya.

Dalam lanjutan sambutannya, Presiden mengatakan, "Saya berharap kenyataan ini tidak membuat kita kehilangan energi, semangat, menyerah, dan berputus asa. Perjuangan mewujudkan sesuatu yang ideal kadang memang memerlukan waktu panjang. Simaklah pengalaman negara maju. Eropa, Amerika Serikat, Jepang dan lainnya, betapa panjang sebuah tatanan dan sistem nilai diwujudkan."

Pemerintah, ujar Presiden, sejak awal telah menegaskan sikap memberikan perhatian lebih besar bagi penegakan hukum dan perlindungan HAM. "Selain MPR merampungkan tugas menyelesaikan amandemen UUD 1945, saya mewarisi berbagai peraturan perundangan-undangan yang dapat dijadikan landasan penegakan hukum dan perlindungan HAM yang lebih baik," kata Presiden seraya menambahkan pemerintah telah meratifikasi berbagai instrumen hukum internasional, seperti Kovenan Hak Sipil dan Politik, Kovenan Sosial dan Ekonomi, beserta protokolnya.

Menurut Munarman, kehadiran Presiden setidaknya harus dapat memenuhi dua hal yang menjadi keinginan YLBHI, yaitu harus segera membentuk RUU Bantuan Hukum dan mengalokasikan kembali dana bantuan hukum dari APBN 2007. "Terakhir tahun 1997, LBH pernah mendapat dana bantuan hukum yang nilainya per perkara Rp 25.000. Namun, bantuan itu terhenti. Kami meminta pemerintah mengalokasikan kembali pada APBN 2007," katanya. Menurut Munarman, jika dulu dana bantuan itu diberikan Orde Baru untuk mengontrol LBH, sekarang merupakan pemenuhan hak warga negara. Ketua Komisi III DPR Trimedya Panjaitan (Fraksi PDI-P, Sumatera Utara II) menilai langkah LBH kali ini bisa dibaca sebagai kegenitan politik yang bisa mendegradasi LBH. Soal dana bantuan hukum, Trimedya mengingatkan politik dana bisa dipakai pemerintah mengontrol LBH.

Secara terpisah, Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan menyerukan agar pembuat anggaran bersedia menyisihkan anggaran bagi pos bantuan hukum. Itu perlu dilakukan mengingat kesejahteraan, keadilan, dan kemakmuran rakyat merupakan tanggung jawab negara. (ana/har/bdm)

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home