| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Monday, April 24, 2006,11:47 AM

ANALISIS EKONOMI

Faisal Basri

Rubrik Analisis Ekonomi minggu lalu mengutarakan bahwa pada tahun 2005 terjadi perlambatan dalam pengucuran kredit oleh perbankan. Pertumbuhan yang paling lambat dialami oleh kredit investasi. Ternyata perlambatan itu terus berlangsung hingga Februari tahun ini. Bahkan, selama Januari-Februari 2006, penyaluran kredit untuk investasi mengalami pertumbuhan negatif. Akibatnya, posisi kredit investasi mengalami kemerosotan, dari Rp 134,4 triliun pada bulan Desember 2005 menjadi Rp 132,4 triliun pada bulan Januari 2006 dan Rp 131,3 triliun pada bulan berikutnya (Kompas, 18 April 2006, halaman 19).

Kecenderungan demikian sesuai dengan perkiraan akhir tahun lalu. Pemerintah pun sudah menyadarinya sehingga berupaya mengompensasikannya dengan menggenjot pengeluaran yang pembiayaannya berasal dari dana bergulir yang belum direalisasikan pada tahun anggaran lalu, ataupun dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun berjalan.

Sayangnya, realisasi itu tersendat sehingga hampir bisa dipastikan perlambatan laju pertumbuhan ekonomi yang telah berlangsung selama empat triwulan berturut-turut sepanjang tahun 2005 akan berlanjut pada triwulan pertama tahun ini.

Seluruh kredit menurun

Sebenarnya, jika kita bandingkan dengan posisi akhir tahun 2005, tak hanya kredit investasi saja yang mengalami penurunan, melainkan juga kredit secara keseluruhan. Untuk kredit modal kerja terjadi penurunan dari Rp 354,6 triliun pada Desember 2005 jadi Rp 344,0 triliun pada Februari 2006. Pada periode yang sama, kredit konsumsi turun dari Rp 206,7 triliun menjadi Rp 204,6 triliun.

Penyaluran kredit yang tertatih-tatih dan keadaan sektor riil pada umumnya yang masih lesu sangat kontras dengan perkembangan di pasar modal dan pasar uang. Indeks harga saham gabungan (IHSG) menembus rekor baru, yakni minggu mencapai 1.464, jika dibandingkan dengan posisi akhir tahun 2005 sebesar 1.163. Berarti dalam tempo kurang dari empat bulan, IHSG telah melonjak 26 persen. Selama kurun waktu yang sama, nilai tukar rupiah menguat 10 persen lebih.

Harapan kita bersama ialah bagaimana mentransformasikan secepat mungkin penguatan indikator-indikator keuangan jangka pendek menjadi kekuatan riil untuk meningkatkan penyaluran kredit ke sektor-sektor produktif. Dengan demikian, kegiatan usaha semakin bergairah dan tumbuh dengan sehat. Pengalaman di masa lalu dan juga di berbagai negara memang menunjukkan bahwa arus dana yang masuk ke sektor riil hampir selalu didahului oleh masuknya dana-dana jangka pendek (hot money).

Akan tetapi, perkembangan terakhir harus lebih kita waspadai karena lingkungan makroekonomi yang kini kita hadapi sudah banyak berubah. Hal itu berkaitan dengan semakin tingginya mobilitas modal internasional dengan coraknya yang telah berubah pula. Sangat besar kemungkinan bahwa derasnya aliran masuk modal jangka pendek akan cepat berbalik keluar jika terjadi sedikit saja guncangan di dalam negeri, ataupun negara-negara lain menawarkan imbalan yang lebih baik. Selain itu, bukankah investor jangka pendek mau masuk ke Indonesia karena insentif instan yang kita berikan dalam bentuk suku bunga yang relatif tinggi, yang notabene merupakan bentuk subsidi kepada pemodal pasif pemburu riba.

Kestabilan makroekonomi jangka pendek memang merupakan prasyarat bagi pertumbuhan yang berkelanjutan. Akan tetapi, biaya yang kita keluarkan haruslah bisa ditekan. Dalam kaitan inilah kita patut menyayangkan Bank Indonesia (BI) yang belum kunjung menurunkan BI rate. Sudah lima bulan BI rate di angka 12,75 persen. BI harus ikut meyakinkan pasar dengan menurunkan BI rate walau sekadar 10 basis poin.

Sebab, dengan tidak menurunkan BI rate, secara implisit BI tidak yakin bahwa perbaikan selama empat bulan terakhir memiliki landasan yang cukup kokoh. Perkembangan nilai rupiah yang terus menguat cepat dan IHSG yang naik pesat, serta penurunan laju inflasi yang cukup lumayan, sebetulnya menciptakan ruang gerak yang lebih lebar bagi BI untuk menurunkan suku bunga

Respons BI yang teramat berhati-hati membuat momentum penurunan suku bunga tertunda. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) merespons sikap BI ini dengan tak lagi menurunkan suku bunga penjaminan untuk periode 15 April-14 Mei 2006, sebagaimana yang telah dilakukan pada dua periode sebelumnya. Bertolak dari kenyataan ini, perkembangan kredit yang telah melambat selama Januari-Februari 2006 tampaknya akan berlanjut setidaknya hingga April.

Dialog intensif

Oleh sebab itu, BI dan pemerintah harus melakukan dialog intensif untuk menyelesaikan sejumlah masalah struktural yang membuat masih lemahnya fungsi intermediasi perbankan. BI harus meninjau ulang Arsitektur Perbankan Indonesia (API) dan beberapa peraturan lainnya yang ditengarai berdampak pada kondisi perbankan dewasa ini. API membuat perbankan terlalu memfokuskan diri pada penguatan modal sehingga cenderung "abai" memperkuat fungsi intermediasi.

Sejumlah pemilik bank sudah barang tentu mulai menghitung kemampuannya untuk memenuhi jumlah modal yang dipersyaratkan oleh API. Jika mereka tak melihat celah untuk memenuhi persyaratan modal, maka dengan terpaksa mereka melego banknya. Hampir bisa dipastikan bahwa kepemilikan bank akan beralih ke pihak asing atau segelintir pengusaha nasional setingkat konglomerat.

Sejauh ini kepemilikan asing mayoritas pada bank-bank nasional sudah lebih dari 50 persen. Boleh jadi, peningkatan kredit yang seret, khususnya untuk kredit investasi, ada kaitannya dengan perubahan struktur kepemilikan ini. Jika tak ada perubahan kebijakan dan pembatasan kepemilikan asing, dalam waktu tak terlalu lama dominasi asing pada industri perbankan semakin mencengkeram.

Mereka akan lebih peduli meraup laba semaksimal mungkin tanpa peduli meningkatkan fungsi intermediasinya. Dana yang mereka himpun dari dalam negeri bisa jadi diputarkan untuk kegiatan-kegiatan di luar negeri ataupun transaksi-transaksi keuangan jangka pendek. Jangan-jangan karena "ulah" mereka pula yang menyebabkan maraknya transaksi di pasar uang dan pasar modal. Kita butuh perbaikan mendasar, bukan yang semu.

Bukan maksud kita untuk memusuhi asing. Perekonomian Indonesia tak bisa mundur dari keterbukaan. Tetapi kita harus punya fondasi yang kuat untuk menjadi bangsa yang berdaulat di negeri sendiri. Tanpa pembenahan sektor riil yang bertumpu pada kekuatan sendiri, pilihan kita memang semakin terbatas....

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home