| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Saturday, March 25, 2006,10:45 AM

Upaya Menghapus Diskriminasi

Benny D Setianto

Pansus penyusunan RUU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis atau RUU PDR DPR belakangan sibuk ke kota-kota tertentu, mencari masukan tentang RUU itu.

Berbagai seminar dan diskusi digelar di berbagai tempat. Namun, ada hal-hal mendasar belum ditindaklanjuti, bahkan sepertinya dibiarkan, oleh pansus.

Indonesia telah meratifikasi Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination) melalui Undang-Undang (UU) Nomor 29 Tahun 1999 yang mewajibkan peserta konvensi melarang segala bentuk diskriminasi rasial, meninjau semua UU yang tak sesuai konvensi, lalu secara periodik melaporkan kemajuan dan kelemahan yang telah dicapai kepada Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial.

Membuat UU sendiri tentang penghapusan diskriminasi ras merupakan pengulangan dari apa yang sudah diatur konvensi. Lebih baik difokuskan kepada mekanisme nasional untuk menghapuskan diskriminasi ras.

Persoalan kian rumit saat RUU PDR mendefinisikan ras dan etnis, sesuatu yang sengaja dihindari konvensi karena kesadaran bahwa ras dan etnis lebih merujuk kepentingan politik daripada kondisi fisik. Beberapa konflik yang terjadi di berbagai belahan dunia menjelaskan hal ini.

Konflik politik Rwanda 1994 tentang pembantaian suku Tutsi oleh suku Hutu kental nuansa politik pascakolonial. Semula etnis Tutsi adalah etnis Hutu yang memiliki sosial ekonomi lebih baik, lalu lebih kooperatif terhadap negara penjajahnya. Ketika merdeka, etnis Tutsi berpeluang lebih besar untuk memimpin Rwanda. Maka, saat muncul gerakan kaum proletar Hutu, kaum Tutsi menjadi sasaran pembantaian. Padahal, jika dirunut ke belakang, antara Hutu dan Tutsi bukan dua kelompok etnis berbeda. Konflik di Yugoslavia menyiratkan hal yang sama. Sayang RUU PDR terjebak untuk menuliskan hal itu dan menjadi salah satu perdebatan panjang.

Jangan-jangan perbedaan perlakuan terhadap etnis Tionghoa adalah warisan kolonial Belanda yang takut melihat kemungkinan bersatunya ”bumiputra” dengan kekuatan ekonomis ”timur asing” sehingga mengalahkan dominasi Belanda? Jika ya, ternyata perlakuan kita mendiskriminasikan mereka lebih sarat kepentingan politik daripada karena mereka ”berbeda” dari penduduk Indonesia lainnya.

Tindakan afirmasi

Konvensi menegaskan beberapa pengecualian terhadap tindakan diskriminatif yang perlu dilakukan mengingat kondisi riil justru membutuhkan hal itu agar tercipta kesetaraan. Perlakuan khusus ini sering disebut diskriminasi positif atau tindak afirmasi (affirmative action). Batasan terhadap tindakan itu perlu jelas dirumuskan dan disosialisasikan. Misalnya, tindakan istimewa bagi kulit hitam di AS untuk bisa masuk perguruan tinggi ternama atau kemudahan mendapat bantuan ekonomi dari pemerintah bagi bumiputra di Malaysia. Itu semua dianggap tindakan afirmasi yang boleh dilakukan untuk jangka waktu sementara, tujuannya jelas dan dengan indikator yang dapat dipahami.

RUU PDR belum memberi kemungkinan ini. Padahal, kondisi itu amat diperlukan mengingat kedudukan sosial, politik, dan ekonomi masyarakat Indonesia yang majemuk belum setara.

Kewajiban negara

Dalam ketentuan pidana dan kemungkinan mengajukan gugatan, RUU PDR mengasumsikan, tindakan diskriminatif hanya bisa dilakukan oleh orang atau badan hukum. Tidak ada mekanisme yang diatur jika ternyata negara yang menjadi penyebab tindak diskriminasi rasial. Dari banyak contoh kejadian, justru tindakan dan kebijakan negara yang besar-besaran melakukan tindakan diskriminasi rasial.

Mengingat kondisi-kondisi itu, maka yang kini lebih diperlukan guna menghapus diskriminasi rasial di Indonesia bukan membuat UU baru sebagaimana telah dilakukan, tetapi pertama, meninjau kembali, mencabut, dan mengganti semua peraturan dan kebijakan di tingkat nasional maupun daerah yang menyebabkan terjadinya diskriminasi rasial.

Kedua, membuat RUU Mekanisme Penghapusan Diskriminasi Rasial sebagaimana dimandatkan UU No 29 Tahun 1999. Dengan mengasumsikan bahwa tindakan diskriminatif bisa dilakukan oleh individu, badan hukum, dan pemerintah, maka dengan jalur-jalur terpisah dan jelas, korban perlu diberi kepastian nyata ke mana mereka harus melapor, menggugat, dan atau menuntut.

Benny D Setianto Pengajar Fakultas Hukum dan Program Magister Lingkungan dan Perkotaan Unika Soegijapranata, Semarang; Sedang Studi S-3 di Nijmegen Belanda

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home