| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Saturday, March 25, 2006,10:44 AM

Amarah

Jakob Sumardjo

Udara Indonesia dipenuhi kemarahan. Amarah dimulai dengan pembedaan. Pembedaan diartikan sebagai lawan saingan. Alamat lawan memancing kecurigaan, ketersinggungan, kecongkakan, dan amarah. Amarah membangkitkan kebencian dan perusakan yang akan berakhir dengan kehancuran.

Gejala-gejala amarah memenuhi media. Tiap hari ada demonstrasi penolakan dengan simbol-simbol pembakaran. Penggusuran dengan pembuldoseran. Mogok makan. Tawuran. Kebenaran dicapai dengan kekerasan. Ketersinggungan dibawa ke pengadilan agar cepat diketahui siapa yang kalah dan siapa yang menang. Ketidaksukaan perbedaan dituangkan dalam undang-undang dan peraturan. Perbedaan dibesar-besarkan lewat kasak-kusuk fitnah, gosip, dan selebaran gelap.

Kebebasan

Semua ini menggejala sejak reformasi. Kebebasan melahirkan kekacauan. Kebebasan diartikan sebagai bebas dari yang beda, yang lain, daripada kebebasan untuk menghargai dan menghormati yang beda, yang lain. Yang beda dan yang lain adalah ancaman karena ketidakmampuan menghargai dan menghormati keberadaan yang lain. Dunia ini harus menjadi tunggal dalam tata nilai dan tata kebenaran. Perbedaan itu cacat, salah, bukan kodrati, karena itu harus diseragamkan.

Praktik kebebasan selalu gagal dijalankan di Indonesia. Setelah merdeka, kita menganut demokrasi liberal. Kabinet parlementer menggantikan kabinet presidensiil. Hasilnya, parlemen dan kabinet bertikai. Usia pemerintahan tak lebih dari 2,5 tahun. Pemerintahan silih berganti karena perbedaan lebih ditonjolkan dan kekuasaan diperebutkan. Di luar parlemen, berkembang berbagai pemberontakan pemisahan atau antipemusatan.

Menyadari kekeliruan demokrasi ini, ditempuh demokrasi alternatif, demokrasi terpimpin, kebebasan yang terpimpin, sebuah paradoks yang sulit dicari tandingannya. Pemimpin Besar Revolusi memegang tongkat komando menyelesaikan revolusi Indonesia yang belum selesai. Ini berarti, segalanya benar atas nama revolusi. Bandul jam zaman dibalik. Jika sebelumnya membuka lebar-lebar semua yang Eropa-Amerika, kini menutup rapat-rapat Eropa-Amerika dan diam-diam memasukkan Timur untuk memperkuat ”kepribadian Indonesia”.

Demokrasi terpimpin tidak cocok juga. Jika dulu terlalu ke kanan, kini terlalu ke kiri. Menyadari kekeliruan ini, kita berbalik kembali, banting setir ke kanan. Orde Baru membuka kembali akses Eropa-Amerika. Di sini terjadi paradoks besar, yang bernama demokrasi Pancasila. Kebebasan dan demokrasi hanya indah dalam kata-kata dan slogan, realitasnya sama sekali tidak ada kebebasan. Wujudnya bebas, substansinya kebenaran tunggal.

Sejarah amarah berulang tahun 1998. Kita tidak mau hidup dalam kebenaran tunggal. Kita ingin hidup dalam kebebasan. Dan arus reformasi masih memberi udara kebebasan itu, tetapi tetap dalam situasi amarah. Kita amarah dengan gerak menuju kebenaran tunggal kembali.

Sungguh sulit memahami bangsa Indonesia. Jika diberi kebebasan, mereka menginginkan terwujudnya kebenaran tunggal berupa perebutan kekuasaan antargolongan. Sebaliknya, jika kebenaran tunggal memegang kekuasaan terpusat, mereka berteriak meminta kebebasan. Kini, setelah kebebasan diberikan, kembali berulang cerita lama, kebenaran tunggal yang ingin diwujudkan.

Kebebasan sepenuhnya diberikan oleh demokrasi liberal tahun 1950-an. Kenyataannya, banyak partai berebut untuk menduduki kekuasaan tunggal di Indonesia. Kebebasan dijadikan dalih untuk menciptakan kekuasaan tunggal. Sebaliknya, ketika demokrasi terpimpin dijalankan dan Orde Baru dibangun—keduanya menganut kekuasaan tunggal—rakyat berteriak minta kembali kebebasannya. Kini kebebasan telah diberikan. Tidak heran jika tiap hari muncul gerakan yang substansinya kebenaran tunggal.

Sejarah marah

Sejarah bangsa ini adalah sejarah amarah. Jika tidak dipimpin oleh kebenaran tunggal si pemimpin—kebebasan liberal—rakyat berlomba mewujudkan pemimpin tunggal. Namun, jika pemimpin tunggal telah terbentuk, rakyat berteriak menginginkan kebebasannya kembali. Dan kini kita sedang mengulangi sejarah, yakni bersaing keras mewujudkan kembali kebenaran tunggal, justru di tengah ”demokrasi liberal” yang dipilih tahun 1998.

Katanya sejarah adalah guru kehidupan. Kita tidak pernah belajar dari sejarah. Kita mengulang sejarah. Hanya mereka yang bodoh mengulang masuk lubang yang sama. Bangsa ini belum bebas dari kebodohan. Jika gerakan kebenaran tunggal yang memimpin bangsa ini terwujud, bukankah akan sama nasibnya dengan demokrasi terpimpin dan Orde Baru? Ketunggalan, keterpusatan, keseragaman, dan ketiadaan kebebasan akan selalu melahirkan oposisi, yakni amarah minta kebebasan.

Logo bangsa ini adalah Bhinneka Tunggal Ika, dan kita tak pernah merefleksi pilihan bapak-bapak pendiri bangsa. Apa arti sebenarnya? Itu hanya semboyan, tak ada artinya. Kita berjalan seperti apa adanya. Jadi, tak perlu semboyan? Semboyan itu kan simbol. Simbol bangsa diperlukan karena itu adalah etika bangsa, pemersatu pikiran kolektif. Jika logo itu tak berarti, lebih baik tak usah membentuk bangsa.

Sejarah amarah bangsa terjadi karena selalu memisahkan bhinneka dan ika, plural dan tunggal. Bandul bangsa bergerak antara plural atau tunggal. Anehnya, jika plural diberikan, kebebasan diberikan, mereka menggunakan kesempatan membangun yang tunggal, ika. Namun, jika yang tunggal, ika, terwujud, bangsa ini marah, ingin kembali ke plural. Dengan demikian keduanya harus diberikan, tunggal sekaligus plural, ika sekaligus bhinneka. Dan itu telah diwasiatkan para pendiri bangsa. Mereka telah melihat sebelum menjadi kenyataan, weruh sakdurunge winarah. Sejarah amarah seperti kita alami telah diramalkan bapak-bapak bangsa, jika kita tidak mewujudkan Bhinneka Tunggal Ika.

Bangsa paradoks

Harus diakui, bangsa Indonesia adalah bangsa paradoks, dan telah ditunjukkan sejarah nenek moyang, bagaimana mereka sukses mengelola paradoks. Salah menangani manajemen paradoks akan berakhir dengan konflik amarah, saling membenci, dan kehancuran. Tanda-tanda zaman edan seperti itu telah muncul. Zaman edan adalah zaman kemarahan, zaman yang mementingkan kebenaran masing- masing, zaman penuh pertikaian, zaman yang lupa tidak eling dan waspada. Meski banyak pemimpin pandai dan berpikiran jernih, jumlah mereka kalah dengan yang berpemikiran edan itu.

Manajemen paradoks adalah menimbang keselarasan yang berubah-ubah, kondisi kreatif tinggi, selalu eling dan waspada. Tiap persoalan membutuhkan manajemen paradoks sendiri. Namun substansinya sama, Bhinneka Tunggal Ika, plural namun tunggal, bebas namun terikat kepentingan bersama, memusat dan memisah. Lawan adalah kawan, kawan sebagai lawan. Masalahnya, kemampuan memahami, mengenal, mengakui, menghargai yang berbeda. Tiap subyek harus mampu menghayati obyek. Jika kemampuan saling memahami dan menghayati tidak ada, jangan harap muncul Bhinneka Tunggal Ika.

Bangsa Indonesia tidak lazim berpikir hitam-putih. Tiap pilihan hitam atau putih dilaksanakan, hasilnya adalah amarah, seperti disaksikan dalam sejarah modern kita. Bagaimana mengelola keseimbangan, tak ada rumusnya. Tiap persoalan membutuhkan kreativitas pemecahan sendiri.

Cara berpikir hitam-putih hanya dapat dijalankan dengan kekerasan. Dan cara kekerasan, seperti dianut kaum perenial, akan mendatangkan kekerasan kembali, dan akhirnya kehancuran.

Jakob Sumardjo Esais

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home