| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Friday, March 24, 2006,12:48 PM

Krisis Infrastruktur

Heru Dewanto

Hampir seminggu penuh Kompas (2-6/2/2006) memuat headline dan berita tentang ketidakmampuan infrastruktur jalan nasional untuk mengimbangi perkembangan industri.

Biaya distribusi seluruh Jawa naik akibat kerusakan jaringan jalan. Kondisi jalan Tanjung Priok-kawasan industri Cikarang dan Cibitung—asal seperenam ekspor nonmigas nasional— mengakibatkan opportunity lost angkutan peti kemas tidak kurang dari Rp 1 miliar per hari.

Jalintim Lampung-Banda Aceh rusak parah. Kerusakan jalintim Lampung diperkirakan 30 persen. Data tahun 2000 menyebutkan, 49 persen dari 291.569 kilometer jalan nasional dalam kondisi rusak. Kerugian sosial dan ekonomi yang harus ditanggung pengguna jalan mencapai Rp 200 triliun setiap tahun.

Kerusakan dan ketiadaan stok infrastruktur telah menghambat pergerakan ekonomi. Perlambatan ekonomi tidak melulu disebabkan menggilanya harga minyak dunia, tingginya suku bunga, instabilitas politik, maupun ketidakkompakan pengusaha dan pemerintah. Infrastruktur jelas menjadi kendala pemulihan dan pertumbuhan ekonomi. Dan Indonesia menjelang krisis infrastruktur. Bagaimana bisa terjadi?

Pada sisi lain, total utang luar negeri Indonesia mencapai 234,362 miliar dollar AS, di mana 70 miliar dollar AS adalah utang luar negeri Pemerintah RI. Kewajiban membayar utang pokok dan bunga tahun 2006 menghabiskan 26,5 persen anggaran. Utang luar negeri bersih yang jatuh tempo tahun ini mencapai Rp 30,5 triliun, pasti memberatkan neraca pembayaran.

Bagaimana Indonesia bisa punya dana untuk membangun infrastruktur?

Dalam kondisi seperti itu, anggaran pembangunan APBN terus turun selama 10 tahun terakhir dan rasionya terhadap GDP lebih rendah dari anggaran rutin. Rasio investasi pemerintah pusat di sektor transportasi terhadap GDP, misalnya, terus turun dari 5,34 persen tahun 1993/1994 ke 0,5 persen di tahun 2004.

Dilema besar

Indonesia menghadapi dilema besar: di satu sisi kita membutuhkan dana pembangunan infrastruktur, di sisi lain surplus digunakan untuk membayar utang. Pertanyaannya, dari mana dana pembangunan infrastruktur tanpa menambah utang bahkan menguranginya?

Basis terobosan ini adalah konsensus Indonesia dan sejumlah negara kreditor dalam Paris Club I, II, dan III untuk merangsang investasi tanpa menambah utang. Inilah ide dasar debt swap dan debt conversion. Secara sederhana debt swap berarti menghapus utang luar negeri dan pemerintah menggantinya dengan proyek di dalam negeri yang disetujui kreditor senilai 50 persen dari total utang yang dihapuskan.

Pada debt conversion atau konversi utang, pemerintah perlu investor swasta untuk membeli utang luar negeri RI dari negara kreditor dengan diskon tertentu (market discount). Investor lalu menebus utang luar negeri RI ke Pemerintah RI dan menerima penggantian berupa aset domestik senilai yang disepakati bersama (redemption rate). Selisih antara redemption rate dan market discount merupakan investment premium yang diberikan pemerintah kepada investor.

Aset domestik yang disediakan pemerintah bisa berupa mata uang rupiah, saham pada BUMN, obligasi pemerintah, hak konsesi, tanah, atau komoditas lain. Namun, yang ingin diusulkan penulis adalah dengan aset apa pun yang dipilih pemerintah, investment premium yang diperoleh investor agar diperlakukan sebagai dana pendamping (subsidi) untuk proyek infrastruktur.

Karena itu, skema konversi utang sebaiknya hanya ditawarkan kepada investor infrastruktur. Itu agar premium yang didapat tak hanya berupa keuntungan transaksi finansial yang dinikmati investor, tetapi juga harus dimanfaatkan guna menyubsidi proyek infrastruktur sekaligus menarik investasi infrastruktur swasta lebih besar.

Konversi utang bukan patgulipat karena ada puluhan negara debitor di Amerika Latin, Afrika, dan Asia melakukannya. Konversi utang yang dilakukan negara- negara pengutang dengan 13 kreditor Paris Club hingga 2004 mencapai 6,3 miliar dollar AS. Sepanjang 1985-1990, Cile sukses melakukan konversi utang hingga mampu mengurangi utang luar negeri sampai 50 persen. Maroko mengonversi 900 juta dollar AS utangnya dengan Perancis dan berhasil menarik investasi swasta (langsung dan tidak langsung) senilai 2,6 miliar dollar AS. Sebanyak 30 transaksi terjadi di sektor pariwisata, instalasi air bersih, pembangkit listrik, dan industri kimia yang menciptakan 4.000 lapangan kerja.

Selain dapat mengurangi utang luar negeri, skema konversi utang juga menghasilkan dana untuk pembangunan infrastruktur dan bisa menarik investasi. Lapangan kerja baru dalam skala besar bisa tercipta dan perekonomian terstimulasi. Peluang emas ini lama mondar-mandir di depan hidung, tetapi kita pura-pura tidak menciumnya.

Heru Dewanto Peserta Program Doktor Bidang Pembiayaan Infrastruktur pada Royal Institute of Technology (KTH), Stockholm

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home