| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Wednesday, March 15, 2006,9:45 AM

Tak Kunjung Mimpi Pancasila

M ALFAN ALFIAN M

Tulisan Sulastomo, ”Masih Relevankah Pancasila?” (Kompas, 4/3/2006), mempertegas keluhan berbagai kalangan akan kesan terpinggirnya Pancasila sebagai wacana politik. Namun, ia menyajikan suatu refleksi menarik, mengingat pendekatan yang ditawarkan Pancasila yang sarat dengan kebersamaan/kegotongroyongan cenderung mendekati prinsip-prinsip yang dirumuskan sebagai The European Dream.

Merujuk pada Jeremy Rifkin, kalau The American Dream lebih menekankan individu (individualisme), The European Dream lebih menekankan perlunya hubungan antarmanusia (community relationship), kebersamaan (atau gotong royong). Hanya saja, menurut Sulastomo, ”kekeliruan” kita selama ini, kita belum mampu mengimplementasikan kaidah-kaidah kebersamaan, khususnya dalam bidang kesejahteraan dan perekonomian, sebagaimana termaktub dalam Pasal 33 dan 34 UUD 1945. Bahkan, yang tampak adalah kaidah-kaidah individualisme.

Perdebatan tentang mana yang sesuai dengan bangsa Indonesia, apakah individualisme ataukah kolektivisme, sesungguhnya telah menjadi klasik. Pancasila cenderung meletakkan jawaban kolektivisme lebih baik. Penjelasannya, sayangnya, cenderung normatif, dan sayangnya pula kita kekurangan contoh yang meyakinkan bahwa kolektivisme itu lebih baik. Kritik ”pertama kali” akan hal ini dilakukan antara lain oleh Sutan Takdir Alisjahbana, yang menegaskan perlunya diakomodasi prinsip-prinsip individualisme Barat.

Pancasila tidak salah

Pancasila tentu tidak salah dalam hal ini. Tetapi, para pemraktiknya yang tidak konsisten. Selama ini kolektivisme ternyata tidak dibarengi dengan prinsip- prinsip egalitarianisme sehingga yang menguat justru feodalisme. Kolektivisme pada masa lalu diarahkan secara politik untuk mendukung pragmatisme stabilitas politik.

Kolektivisme menjadi kontradiktif dalam kenyataannya. Dalam kondisi seperti itu individualisme tidak dapat dicegah. Kolektivisme kehilangan teladan. Inilah yang menyebabkan generasi muda cenderung menganggap tema-tema kegotongroyongan/kebersamaan sebagai tema-tema yang mengawang- awang.

Apabila dirasakan dan diamati, pada saat ini, Pancasila telah gagal diletakkan sebagai basis utama mimpi besar manusia Indonesia secara kolektif. Rakyat kebanyakan masih merasakan trauma ketika mendengar Pancasila, justru karena di masa lalu Pancasila dikhotbahkan, diindoktrinasikan, disakralkan, ditafsirtunggalkan, dijadikan political hammer, dan ironisnya lagi tingkah laku para pejabat yang ke mana-mana menyuarakan Pancasila tidak memberikan teladan yang selaras dengan Pancasila.

Merajalelanya korupsi, misalnya, jelas merugikan Pancasila. Citra Pancasila jadi jeblok karenanya. Padahal, Pancasila tidak salah. Ajarannya bagus dan mendasar. Selama kontradiksi-kontradiksi antara ajaran (Pancasila) dan perbuatan manusianya belum banyak berkurang, kelihatannya susah untuk memandang positif peran Pancasila sebagai suatu azimat bangsa.

Tidak sebatas moral

Mimpi Pancasila kerap dianggap terlalu abstrak bagi masyarakat pluralis seperti Indonesia ini—walaupun Pancasila itu sendiri diramu dari realitas pluralisme bangsa. Cukupkah Pancasila diletakkan di wilayah filosofis/normatif, tanpa detail-detail operasionalisasinya? Cukupkah manusia Pancasila itu adalah manusia yang baik budi pekertinya saja? Tidak. Mimpi besar Indonesia yang diinspirasikan oleh Pancasila harus realistis dan operasional.

Orang baik dan bermoral saja tidak cukup. Sosiolog Ignas Kleden bahkan berpendapat, tidak ada kaitannya antara kebaikan moralitas dan pertumbuhan ekonomi. Orang bermoral yang miskin siasat untuk mencapai pertumbuhan ekonomi, dari sudut pandang pragmatisme tidak ada artinya.

Pancasila menginginkan suatu sistem ekonomi yang bermoral, maka seyogianya siasat ekonominya harus punya legitimasi moralitas yang jelas.

Banyak hal yang perlu diperdebatkan kembali dalam konteks kepancasilaan kita. Kalau Pancasila mau direjuvenasi, sebaiknya semua pihak duduk kembali, sama-sama mendaftar permasalahan-permasalahan kebangsaan kita secara obyektif. Harus ada desain ulang penerjemahan Pancasila dan lingkup implementasinya.

Kalau Pancasila disebut sebagai ideologi terbuka, semua spektrum masyarakat memiliki kesempatan dan proporsi yang sama dalam menyumbangkan ide-idenya. Merumuskan mimpi Pancasila perlu diupayakan secara kolektif, tetapi tanpa mengabaikan realitas pluralisme.

Kini, tidak bisa lagi seperti dulu, Pancasila tidak lagi mudah dipolitisasi.

M ALFAN ALFIAN M
Dosen FISIP Universitas Nasional, Jakarta

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home