| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Monday, March 13, 2006,9:01 PM

Freeport, Indonesia, dan Amerika Serikat

PLE Priatna

Di tengah rencana kunjungan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Condoleezza Rice ke Jakarta, 14-15 Maret 2006, suasana panas terus bergulir dari Tembagapura, Papua. PT Freeport Indonesia, sebuah perusahaan penambang emas dan tembaga di Papua, anak perusahaan Freeport McMoran-AS, menjadi berita besar.

Warga setempat marah dan memblokir lokasi penambangan. Aksi unjuk rasa masyarakat dan mahasiswa Papua di Plaza 89 Jakarta, Solo, Semarang, bahkan ke Istana menyita perhatian kita. Tidak hanya hitungan emas dan tembaga, tidak hanya kontrak karya dan keuntungan perusahaan penambang asing yang dipersoalkan, tidak hanya rasa keadilan, kerusakan lingkungan, dan pembagian hasil, tetapi lebih dari itu, menyangkut AS dan Papua.

Tak kalah seram pernyataan mantan Ketua MPR Amien Rais, Freeport dituding sebagai penjajah dengan tiga kejahatan: perpajakan, kerusakan lingkungan, dan penjarahan kekayaan alam Indonesia. Walhi menuntut agar Freeport diseret ke pengadilan sekaligus mendesak Pemerintah RI berani merevisi kontrak karya Freeport. Namun, Wakil Presiden Jusuf Kalla menegaskan, pemerintah tidak akan merevisi atau menutup perusahaan ini.

Mengendalikan sensitivitas

Freeport bukan hanya manifestasi sebuah perhitungan investasi ekonomi, tetapi juga sebuah mata rantai investasi politik dalam konteks hubungan Indonesia-AS. Freeport adalah salah satu simbol keberadaan AS di ujung timur NKRI. Dalam asumsi itu, diperlukan kepekaan bersama, kendali sensitivitas yang mampu menempatkan respons dan reaksi secara proporsional dalam nuansa dialog yang cerdas, tetapi tidak emosional.

Kita harus bisa bersikap dewasa agar perkara tidak bergulir tanpa terkendali, atau mengganggu kerja sama kedua negara. Dalam konteks konstituen domestik, kehadiran Freeport dimaknai dalam konteks rentang penafsiran kepentingan nasional berhadapan dengan kepentingan asing. Kontrak karya II (1991), misalnya, seering dipersepsikan sebagai wujud ketidakadilan yang dilakukan perusahaan asing terhadap aset nasional, dan kita menanggung kerusakan lingkungan, termasuk community development yang tidak memadai.

Data statistik, angka, dan hitungan yang ada, meski itu benar, tidak serta-merta dapat memulihkan kegundahan akibat kerusakan fisik, tanah berlubang menganga, pencemaran lingkungan, dan kemiskinan di sekeliling wilayah itu. Persepsi berikut realitas buruk di tengah komunikasi politik yang tidak ramah akhirnya tidak akan mampu mengangkat semua kemajuan yang telah dibagikan. Sensitivitas bergerak maju dan mundur searah transparansi dan keterbukaan yang diciptakan sang perusahaan, yang pada gilirannya tidak hanya mengangkat kembali nama Papua, bahkan bisa jadi menguak mosaik hubungan Indonesia-AS.

Membangun kepercayaan

Pada sisi lain, benturan ala Freeport mengindikasikan sebuah peta hubungan Indonesia-AS dalam bayangan psikologi publik dari ”negara lemah” berhadapan dengan negara adidaya. AS sebagai superpower dengan segala instrumen foreign policy itu (presidential-led foreign policy atau congressional-led foreign policy) mampu mendiktekan semua keinginan, membuat posisi tawar nasional kita terancam.

Pada gilirannya, dalam peta itu, hubungan bilateral RI-AS merupakan cermin produk kerja sama yang tidak setara dan tidak saling menguntungkan. Citra administrasi Pemerintah AS masa kini, yang begitu kental dengan kebijakan luar negeri unilateralist ”menghancurkan Irak”, mengancam Iran, atau ”“ingin menguasai Selat Malaka dengan armada lautnya”, menumbuhkan reaksi domestik yang kontraproduktif di banyak tempat.

Kecurigaan di sana-sini diiringi realitas administrasi Pemerintah AS yang terkesan ignorance untuk memulihkan public trust di Tanah Air tidak cukup hanya dibangun sesekali melalui misi diplomatik Karen Hughes, Deputi Menlu AS untuk urusan diplomasi publik, ke Indonesia beberapa waktu lalu atau rencana pembaruan deployment diplomat AS. Bahkan, di tengah rasa puasnya AS terhadap program reformasi dalam tubuh TNI dibuktikan lewat langkah pemulihan kerjasama militer, kunjungan Menlu AS ke Jakarta pun belum cukup untuk mencairkan hambatan psikologis publik di Tanah Air.

Masyarakat Indonesia sadar, inisiatif dan langkah baik administrasi Pemerintah AS untuk meningkatkan kerja sama bilateral AS-RI sering dibajak dan dimentahkan oleh segelintir anggota Kongres AS.

Bagi sebagian publik, administrasi Pemerintah AS masih dianggap memainkan agenda unilateral yang sarat perhitungan keuntungan strategiknya sendiri. Kunjungan Presiden AS George Bush ke India baru-baru ini mencerminkan keadaan itu, ketika pada saat yang sama ia tak melakukan kunjungan ke Indonesia atau negara ASEAN lainnya.

Membangun kepercayaan bersama melalui kunjungan Presiden Bush ke Indonesia, tidak hanya setingkat Menlu, tentu menjadi era baru yang dapat menghangatkan hubungan kedua negara. Jauh lebih baik daripada hanya ikut menyinggung soal Freeport dari sudut Gedung Putih, yang notabene ternyata didorong segelintir anggota Kongres, hanya untuk mencuri perhatian konstituennya.

PLE Priatna
Alumnus FISIP UI dan Monash University, Bekerja di Jakarta

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home