| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Monday, March 13, 2006,8:57 PM

RUU Antipornografi Direvisi

Pasal Mengenai Sanksi Pidana Dihapus


Jakarta, Kompas - Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi akhirnya merevisi sejumlah pasal yang selama ini menimbulkan perdebatan di masyarakat. Draf RUU yang baru tidak lagi mengatur, antara lain, soal sanksi pidana dan pembentukan badan antipornografi dan pornoaksi nasional.

”Kami sepakat soal sanksi pidana dalam kasus pornografi dan pornoaksi disisipkan dalam revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Nantinya, polisi, jaksa, dan hakim yang akan melakukan penegakan hukum antipornografi dan pornoaksi sehingga tidak dibutuhkan lembaga baru untuk menjalankannya,” kata Balkan Kaplale, Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi (Pansus RUU APP), kepada wartawan di Jakarta, Minggu (12/3).

Berbicara di sela-sela diskusi publik mengenai RUU APP di Pusat Dakwah Muhammadiyah, Balkan mengungkapkan, Pansus telah memangkas draf lama dari 11 bab menjadi delapan bab. Jumlah pasal pun dikurangi dari 93 pasal menjadi tinggal 82 pasal.

Selain penghapusan pasal yang mengatur soal sanksi pidana, Pansus juga sepakat merevisi definisi pornografi dan pornoaksi. Dalam draf lama disebutkan, ”pornografi adalah substansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika”. Adapun ”pornoaksi adalah perbuatan mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika di muka umum”.

Dalam draf terbaru, lanjut Balkan, Pansus sepakat memakai pengertian yang dipopulerkan Yunani, yaitu porne (pelacur) dan graphos (gambar atau tulisan). Adapun pornoaksi adalah upaya mengambil keuntungan, baik dengan memperdagangkan atau mempertontonkan pornografi.

Jika RUU APP disahkan menjadi UU pada Juni nanti, pemerintah harus menyiapkan 12 peraturan pemerintah (PP) untuk pelaksanaannya. ”Selanjutnya polisi, jaksa, dan hakim yang akan melaksanakan fungsi penegakan hukumnya berdasarkan PP dan KUHP. Jadi, tidak akan ada badan antipornografi dan pornoaksi nasional,” kata Balkan terkait dengan pembahasan draf RUU APP dalam rapat tertutup selama tiga hari di kawasan Puncak, Jawa Barat, pekan lalu.

Secara terpisah, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin meminta DPR tetap terbuka mengakomodasi aspirasi masyarakat. Selanjutnya, DPR dan seluruh elemen masyarakat bersama-sama membahas substansi yang sebaiknya ada dalam draf RUU.

Hal senada diungkapkan Ny Sal Tobing dari Masyarakat Lintas Agama dan Paulus Januar dari Solidaritas Demokrasi Katolik Indonesia. Mereka meminta DPR membuka kembali pintu pembahasan definisi pornografi dan pornoaksi secara jelas, lengkap dengan rambu-rambunya.

Sal mengatakan, tanpa rambu yang jelas, takkan ada orang yang bisa memahami makna RUU APP. Jadi, katanya, definisi pornografi dan pornoaksi yang jelas sangat dibutuhkan. (HAM)

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home