| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Monday, March 13, 2006,8:58 PM

Indonesia Tengah Menuju ke Spiral Maut?

Sigit Pramono

Bangsa Indonesia mengalami krisis multidimensi yang dipicu oleh krisis ekonomi dan keuangan sejak tahun 1997.

Pelajaran dari Krisis Organisasi. Krisis bisa menimpa siapa saja. Manusia, lembaga bisnis atau perusahaan, lembaga sosial masyarakat, lembaga pemerintah atau bahkan suatu bangsa bisa terkena krisis.

Seorang ahli manajemen Amerika bernama Rosabeth Moss Kanter pernah menulis dalam artikel berjudul Leadership and The Psychology of Turnarounds (Harvard Business Review, June 2003). Dalam tulisan tersebut digambarkan adanya suasana kejiwaan (psikologis) dalam suatu perusahaan atau organisasi yang mengalami krisis dan bagaimana melakukan transformasi agar bangkit dari krisis.

Fenomena yang umum terjadi dalam suatu organisasi yang mengalami krisis adalah timbulnya sikap saling tertutup, saling menolak, saling menyalahkan, saling menghujat, menghindar dari tanggung jawab, acuh tak acuh dan perasaan tidak berdaya. Dalam organisasi yang sedang krisis, suasana psikologis seperti ini cenderung semakin parah. Dan, bila situasi seperti ini yang terjadi, maka organisasi, institusi, atau perusahaan tersebut akan masuk ke tahapan krisis yang semakin dalam. Fenomena ini oleh Rosabeth Moss Kanter disebut sebagai fenomena meluncur menuju ”spiral maut” (death spiral).

Film ”Indonesia Bangkit”

Saya bukan ahli psikologi masyarakat atau psikologi sosial. Saya mencoba menganalogikan Republik Indonesia sebagai suatu organisasi. Kita bisa menggunakan fenomena psikologi yang terjadi di suatu organisasi, kemudian ditarik suatu analogi ke dalam fenomena psikologi yang terjadi dalam suatu masyarakat, negara atau bangsa.

Gejala-gejala apa yang tampak berkembang di dalam masyarakat kita yang sedang mengalami krisis ini? Untuk mengetahui itu, kita tidak perlu terlalu jauh menengok ke belakang. Kita lihat saja cerita dan berita yang beredar di masyarakat dan media dalam dua tahun terakhir. Kita berandai andai sedang menonton sebuah film yang berjudul ”Indonesia Bangkit”, terdiri atas beberapa episode. Mari kita putar film kita.

Syahdan pada suatu hari, ketika para wakil rakyat mengundang Jaksa Agung, terbetiklah cerita bahwa wakil rakyat kita ternyata tidak percaya kepada aparat hukum. Ini tercermin dalam suatu rapat silang pendapat antara DPR dan Jaksa Agung beserta aparatnya (episode ”Ustadz di Kampung Maling).

Dalam cerita lain, ketika sekelompok anggota DPR melakukan kunjungan kerja ke Mesir, masyarakat heboh dan menyalahkan para anggota DPR karena dianggap tidak peka terhadap keadaan bangsanya, tidak ada sense of crisis kata mereka (episode ”Berziarah ke Makam Fir’aun”).

Cerita berikutnya ketika suatu lembaga tinggi negara memeriksa lembaga negara yang lain dan kemudian mengumumkan hasilnya melalui media massa, maka dua pejabat tinggi negara saling tuduh, saling menyindir, saling berbantah (episode ”Hikayat Tukang Tilep dan Tukang Ojek”).

Di dalam cerita lain, ketika pemerintah menggencarkan upaya pemberantasan KKN, aparat penegak hukum, polisi, jaksa, mengejar para pelaku. Banyak eksekutif BUMN menjadi sasaran, ditahan dan menjadi tersangka. Tanpa daya. Tanpa pelindung. Dan, BUMN semakin terpuruk. Terjadi saling tuding, saling menyalahkan, saling membela diri (episode ”Kejarlah Daku Kau Kutangkap”).

Dalam cerita lainnya lagi, BPK melakukan pemeriksaan terhadap BUMN dan lembaga-lembaga pemerintah lainnya dan kemudian mengumumkannya kepada masyarakat, terjadi kehebohan. Nasabah resah. Banyak yang dirugikan. BPK disalahkan karena dianggap tidak bertindak hati-hati dan arif. BPK bertahan bahwa menurut undang-undang ia berhak. Saling menyalahkan. Debat uang negara dan uang privat memanas (episode ”Robohnya BUMN Kami”).

Ketika pemerintah mengumumkan akan mengimpor beras, beranglah anggota DPR. Mereka menyalahkan pemerintah. Mengajukan mosi tidak percaya. DPR memeriksa pemerintah, polisi memeriksa (anggota) DPR. Saling tidak percaya terjadi. Persis seperti karikatur Kompas beberapa minggu lalu (episode ”Beras sama dijinjing, ringan sama diimpor”).

Episode yang lain muncul ketika terbit berita tiga orang pengutang BLBI pergi ke Istana Negara. Masyarakat terenyak. Pemerintah disalahkan. Para menteri menyatakan tidak tahu-menahu. Polisi menyatakan menjadi kewajibannya mengantar pengutang yang berniat baik menyelesaikan utangnya. Polisi tetap dikecam (episode ”Utang Harta Dibawa ke Istana, Utang BLBI Dibawa Mati”).

Episode terakhir adalah mengenai tuduhan dari tokoh reformasi Amin Rais bahwa parlemen sekarang cenderung menjadi tukang stempel. Pihak DPR tentu membantah (episode ”Ada Apa dengan stempel?”).

Menuju spiral maut

Ciri-ciri situasi krisis yang semakin memburuk seperti kajian Rosabeth Kanter di atas sangat tampak pada bangsa kita dewasa ini. Bangsa kita sekarang ini mempunyai kebisaan dan kebiasaan saling menyalahkan, saling menghujat, tidak menghormati satu sama lain, dan tidak bisa bekerja sama. Rakyat tidak percaya kepada wakilnya. DPR menyalahkan pemerintah. Polisi tidak percaya kepada DPR. DPR tidak percaya kepada jaksa. Begitu seterusnya saling menyalahkan dan saling tidak percaya berputar-putar diantara komponen bangsa. Kita sedang menuju spiral maut. Krisis akan semakin dalam jika tidak dicegah.

Melihat episode-episode dalam ”film” berjudul ”Indonesia Bangkit” di atas, tampaknya akhir cerita mengarah ke bukan suatu happy ending. Namun, kita masih punya harapan dan kesempatan untuk mengubahnya agar Indonesia tidak menuju ke spiral maut, menuju krisis yang semakin dalam.

Bagaimana caranya?

Kita harus ganti sikap kita dari menutup diri dengan membuka dialog. Sikap saling menyalahkan dan menghujat diganti dengan saling menghormati, mau bekerja sama. Sebagai pemimpin bangsa ditingkat dan bidang mana pun, kita harus punya kearifan dan sikap kenegarawanan. Sebagai rakyat kita wajib menghormati pemimpin. Upaya pemberantasan korupsi harus terus kita dukung. Namun, tidak dengan cara menengok terus ke masa lalu. Kritik membangun harus terus kita hidupkan karena ini bagian dari kehidupan demokrasi, namun dengan cara yang santun dan berbudaya, tidak dengan saling menghujat.

Sigit Pramono
Bankir; Pemerhati Masalah Kemasyarakatan

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home