| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Sunday, March 12, 2006,5:21 PM

Bung Karno sebagai (Nara) Sumber Pelajaran Sejarah

Budiawan

Diktum klasik bahwa memahami masa lalu bukan demi masa lalu itu sendiri, tetapi untuk masa kini dan masa depan hampir selalu menjadi alasan pembenar mengapa orang perlu menulis sejarah. Oleh karena itu, sejarah sebagai narasi masa lalu boleh dan bisa bergeser atau bahkan berubah sama sekali. Sebab, bagaimana orang memahami masa lalu tidak lepas dari bagaimana orang memahami masa kini dan membayangkan masa depan.

Oleh karena pemahaman tentang masa kini dan imajinasi mengenai masa depan bisa sangat beragam dan bahkan bisa saling bertabrakan, maka keragaman dan sekaligus persaingan pemahaman tentang masa lalu bukanlah sesuatu yang mengherankan.

Dalam konteks ini, upaya ”pelurusan sejarah” dalam arti membayangkan hanya akan ada sebuah kebenaran sejarah, bukan hanya bisa berbahaya bagi kehidupan demokrasi, tetapi juga ilusi. Sebab, setiap klaim kebenaran niscaya akan berhadapan dengan klaim-klaim kebenaran yang lain. Yang bisa dan perlu dikerjakan adalah menawarkan suatu pemahaman tentang masa lalu, dan menyerahkannya kepada khalayak untuk menimbangnya.

Buku ini ditulis dengan semangat akademis semacam itu. Dengan menempatkan Bung Karno sebagai figur sentral dalam seluruh pembicaraan tentang masa lalu Indonesia, buku ini mencoba menawarkan suatu pemahaman tentang Bung Karno, sekaligus menjadikan Bung Karno sebagai sumber pelajaran sejarah. Tetapi, karena Bung Karno juga dihadirkan sebagai pihak yang berbicara, buku ini juga hendak menempatkan Bung Karno sebagai narasumber sejarah.

Dengan kata lain, melalui buku ini kita tidak hanya diajak membicarakan Bung Karno, tetapi juga diundang melihat dan mendengarkan bagaimana Bung Karno berbicara (dan bertindak). Karena pembicaraan dan tindakan Bung Karno di sini adalah gugatan-gugatannya terhadap sejumlah hal, maka cukup beralasan bagi penulis (dan/atau penerbit?) buku ini untuk memberi judul ”Bung Karno Menggugat!”. Tetapi keliru bila beranggapan bahwa seluruh buku ini berisi gugatan-gugatan Bung Karno.

Kalau Daftar Isi dipandang sebagai rincian judul buku, memang kita seperti diajak mendengarkan bagaimana Bung Karno (I) ”Menggugat Kolonialisme”, (II) ”Menggugat Keterlibatan Amerika”, (III) ”Menggugat Tragedi 1965”, dan (IV) ”Menggugat Kepemimpinan Bangsa”.

Akan tetapi, kalau kita baca bab demi bab dalam masing-masing bagian, yang agak sesuai dengan judul buku ini hanyalah Bagian I. Selebihnya adalah gugatan-gugatan Baskara T Wardaya terhadap keterlibatan Amerika, Tragedi 1965, dan kepemimpinan bangsa, yang dalam masing-masing bagian memang banyak menyinggung peran Bung Karno dalam sejarah politik Indonesia pascadekolonisasi.

Soekarno muda

Meskipun merupakan kumpulan esai, di buku ini terbangun suatu argumentasi yang relatif koheren. Mirip sebuah biografi politik, buku ini mampu menghadirkan sosok Bung Karno secara utuh, dalam arti mencakup (hampir) seluruh perjalanan hidup politiknya. Hampir-hampir tidak ada episode politik penting yang tidak disinggung.

Dari sinilah muncul gambaran dinamis tentang perjalanan hidup politik Bung Karno. Sosok Bung Karno dihadirkan bukan dengan sebuah karakter yang sama dari awal hingga akhir, tetapi dengan segala dinamikanya, seiring dengan dinamika politik sejarah Indonesia abad XX.

Dinamika karakter yang dimaksud adalah perubahan dari sosok demokratis dan revolusioner di masa muda menjadi sosok otoriter di masa tua. Tetapi, alih-alih mencari penjelasan dinamika karakter itu pada psyche Bung Karno, buku ini mencoba menjelaskannya dengan memeriksa konteks sosial-politik sejarah Indonesia dan dunia sezaman. Asumsi dasarnya adalah bahwa karakter terbentuk (dan bisa berubah) bukan di dalam ruang sosial yang steril.

Dari sini pembacaan terhadap biografi seorang tokoh tidak akan bermuara pada pemujaan atau hujatan, tetapi pemahaman kritis, yang darinya akan muncul pelajaran-pelajaran penting untuk kehidupan publik di masa kini dan masa depan. Menulis sejarah dengan demikian (masih) relevan untuk kehidupan publik.

Tentang sosok Soekarno muda yang demokratis dan revolusioner, barangkali diketahui umum. Tetapi, sejak kapan dan bagaimana bibit-bibit revolusioner itu muncul pada diri Soekarno muda, boleh jadi tak banyak yang tahu.

Dalam Bagian I, Baskara mengajak kita untuk melihat bagaimana dalam usia yang relatif belia, Bung Karno sudah mulai menunjukkan (apa yang oleh penulis buku ini dipandang sebagai) sikap memberontak terhadap tata pergaulan yang berlaku di sekitarnya. Misalnya, dalam usianya yang baru empat belas tahun, Soekarno muda ”sudah berani berpacaran dengan Rika Meelhuysen, teman sekolahnya yang berdarah Belanda”.

Baskara menafsirkannya sebagai pemberontakan karena ”bagi kebanyakan masyarakat waktu itu, berpacaran dengan warga penjajah merupakan sesuatu yang terlarang, karena hal itu dipandang sebagai sebentuk ’pengkhianatan’ terhadap masyarakat terjajah” (hal 28). Tafsir semacam ini berangkat dari asumsi bahwa sikap kaum terjajah terhadap penjajah hanya satu, yakni membenci.

Tetapi, kalau kita menengok cara tafsir poskolonial, kaum terjajah bukan hanya membenci, tetapi sekaligus juga mengagumi penjajah. Dalam mengagumi tersimpan sikap rendah diri sehingga keberanian seorang Soekarno muda untuk berpacaran dengan seorang gadis kulit putih bisa (juga) dibaca sebagai upaya mengatasi rasa rendah diri. Dengan demikian, keberanian itu tidak harus dibaca sebagai ”pemberontakan” terhadap tata pergaulan masyarakat kolonial, melainkan manifestasi dari keinginan untuk dianggap setara dengan penjajah.

Hasrat untuk setara sebagai manusia itulah kiranya yang mendorong Soekarno muda (dan para perintis gerakan kebangsaan pada umumnya) terus-menerus memperjuangkan ide-ide pembebasan bagi masyarakat jajahan. Kunci pembebasan itu diyakini akan diperoleh bila kolonialisme dan imperialisme dienyahkan. Itulah sebabnya berbagai gagasan dan semboyan antikolonialisme dan anti-imperialisme menjadi bahasa aktivisme politik Soekarno muda.

Otoriterisme Soekarno

Dengan jalan yang rumit dan berliku serta sarat kekerasan, proses dekolonisasi akhirnya terjadi. Tetapi, apa yang kemudian terjadi setelah dekolonisasi tak lebih dari pergantian warna kulit rezim yang berkuasa.

Struktur masyarakat jajahan yang memarjinalkan rakyat kebanyakan tetap tidak berubah. Ini karena apa yang terjadi hanyalah ”revolusi nasional”, ”bukan revolusi sosial (hal 61). Kemudian belum sempat tata sosial dan politik yang demokratis dan berkeadilan itu? sebagaimana dicita-citakan dulu—diperjuangkan secara optimal, Indonesia pascadekolonisasi sudah harus terseret ke dalam pusaran Perang Dingin. Negara-negara adidaya, entah langsung atau tak langsung, saling berebut menanamkan pengaruh terhadap Indonesia.

Tetapi, upaya yang sangat mencolok untuk menyeret Indonesia ke dalam wilayah pengaruh datang dari Amerika Serikat. Bagian II buku ini secara rinci dan meyakinkan memaparkan keterlibatan dinas intelijen AS, yakni CIA, dalam pemberontakan-pemberontakan militer daerah, seperti PRRI dan Permesta.

Kedua pemberontakan itu akhirnya bisa dipadamkan oleh militer yang loyal kepada (atau bagian dari) pemerintah pusat. Tetapi, itu tidak berarti upaya AS untuk menanamkan pengaruhnya di Indonesia berhenti. Sasaran AS untuk dijadikan mitra politis dan ideologis kini justru beralih kepada perwira-perwira militer yang (kelihatan) loyal kepada Bung Karno.

Hal ini sebagai bagian dari strategi untuk mengimbangi kekuatan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang semakin berkembang pesat, yang juga sama-sama loyal kepada Bung Karno. Dalam situasi inilah muncul apa yang disebut segi tiga kekuatan politik nasional, yakni PKI, Angkatan Darat (beserta partai-partai politik yang berlawanan dengan PKI), dan Bung Karno sebagai pihak yang senantiasa mencoba menjaga keseimbangan dua kekuatan politik besar itu.

Hingga Peristiwa 30 September 1965 meletus, Bung Karno masih mampu menjadi penyeimbang dua kekuatan politik itu. Dalam posisinya sebagai penyeimbang itulah, alih-alih melakukan pembangunan institusi, Bung Karno melakukan akumulasi kekuasaan dengan banyak melanggar prinsip-prinsip demokrasi. Pembubaran Konstituante dan pembentukan Demokrasi Terpimpin, yang notabene didukung, jika bukan diusulkan, oleh Angkatan Darat adalah momen krusial yang mengantarkan Bung Karno sebagai seorang pemimpin otoriter.

Analisis semacam itu barangkali sudah sering kita dengar dari para sarjana asing maupun Indonesia sendiri yang meminati sejarah politik Indonesia peralihan 1950-an ke 1960-an. Namun, yang menarik dari buku ini justru pada bagian IV, yang mencoba membandingkan antara latar belakang otoriterisme Soekarno dan penggantinya, yakni Soeharto. Jika Soekarno menjadi otoriter lebih karena dorongan dari berbagai kekuatan politik yang mengelilinginya, sebaliknya Soeharto menjadi otoriter lebih karena hasrat untuk memanfaatkan peluang-peluang yang ada di depannya.

Dengan kata lain, Soekarno menjadi otoriter lebih karena hasil dari pengondisian politik nasional yang tak lepas dari situasi politik Perang Dingin. Sebaliknya, Soeharto menjadi otoriter lebih karena ambisi-ambisi pribadinya ditunjang dengan peluang-peluang yang ada di depannya. Tetapi, saya yakin, pembandingan ini tidak dimaksudkan untuk mengatakan bahwa otoriterisme Soekarno ”bisa dimaklumi”, sedangkan Soeharto ”tidak bisa dimaklumi”.

Bagaimanapun, apa pun latar belakangnya, otoriterisme tetap membunuh atau melemahkan daya-daya kreativitas dan ekspresi masyarakat sebagai warga negara. Selain itu, otoriterisme juga melumpuhkan institusi-institusi publik yang berperan penting sebagai pengelola setiap potensi konflik. Dalam negara-bangsa yang sangat pluralis seperti Indonesia, lemahnya institusi-institusi publik hanya akan membuat setiap potensi konflik rentan untuk meledak dan mengalami eskalasi, tanpa ada atau nyaris tak ada institusi publik yang mampu menanganinya dengan segera.

Secara keseluruhan, buku ini menawarkan sebuah pemahaman tentang masa lalu sebagai upaya untuk membenahi masa kini dan membayangkan masa depan sebagai dunia kehidupan yang berkeadaban publik. Dengan kata lain, buku ini ditulis dengan niat baik sebagaimana dijanjikan dalam Kata Pengantar, tetapi tidak sebagaimana ditulis dalam judul besar yang dicetak tebal.

Budiawan Mengajar di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home