| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Tuesday, March 14, 2006,10:44 AM

Premanisme DPR

Syamsuddin Haris

Ketika busung lapar dan polio yang dialami rakyat kecil belum sepenuhnya ditangani, diam-diam para wakil rakyat justru merencanakan kenaikan tunjangan pada 2006 ini. Pemerintah mengakui ada usulan kenaikan tunjangan, tetapi masih ”rencana”. Sampai kapan kita harus mengurut dada?

Ironisnya, penggunaan hak interpelasi DPR dalam kasus busung lapar ditanggapi setengah hati oleh pemerintah. Melalui Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie, pemerintah menjelaskan program dan langkah-langkah kebijakan yang diambil. Namun, seperti biasa, penjelasan-penjelasan pemerintah amat normatif dan jauh dari kesan serius.

Juga sebagaimana lazimnya, rapat paripurna DPR diakhiri dengan seperti dilansir media cetak dan elektronik ”acara” ketawa bersama antara wakil pemerintah dan pimpinan DPR. Seolah dengan keterangan yang diberikan pemerintah itu persoalan busung lapar telah selesai.

Kita kian prihatin karena sidang paripurna DPR yang mengagendakan keterangan pemerintah tentang penanganan busung lapar diwarnai ”vandalisme” ala DPR. Menurut beberapa anggota Dewan dan pekerja pers, sidang itu bukan hanya menjadi keterangan sepihak pemerintah karena hampir tidak ada dialog tetapi juga diwarnai cara-cara premanisme politik. Betapa tidak, para pengusul hak interpelasi tidak bisa berbicara karena mikrofon dimatikan atau tiba-tiba mati, atau karena pimpinan sidang yang notabene pimpinan DPR tidak memberi kesempatan berbicara.

Premanisme

Pembungkaman perbedaan pendapat melalui cara-cara premanisme yang mengarah kepada ”vandalisme” ini patut disesalkan karena rakyat berharap, pemerintah dan DPR dapat berdialog secara terbuka, transparan, dan bertanggung jawab. DPR mestinya tidak dipaksakan sekadar menjadi tukang stempel kebijakan pemerintah seperti disinyalir Amien Rais. Dewan terhormat ini justru diciptakan sebagai tempat pertukaran pikiran mengenai nasib rakyat dan masa depan bangsa, bukan ”komedi omong” ala Volksraad era kolonial Belanda.

Seperti dibayangkan HOS Tjokroaminoto saat menolak Volksraad, DPR di era demokrasi saat ini mestinya benar-benar menjadi ”parlemen sejati”. Atau sebagaimana diimpikan proklamator Bung Karno, yakni sebuah parlemen di mana dialog dan pertukaran pikiran di dalamnya ”mendidih” bagai kawah candradimuka. Entah apa yang dikhawatirkan sebagian anggota dan pimpinan DPR jika dialog dan perdebatan terbuka dibiarkan berlangsung. Juga, entah apa yang ditakutkan Ketua DPR Agung Laksono sehingga merasa perlu menyurati Presiden Yudhoyono agar mewakilkan saja penyampaian keterangan pemerintah di DPR.

Jika perbedaan pendapat di DPR diharamkan, untuk apa lembaga terhormat ini dihasilkan melalui pemilihan umum yang berbiaya ekonomi, sosial, dan politik begitu besar. DPR seperti inikah yang harus terus dinaikkan gaji dan tunjangan penghasilannya?

Di sisi lain, pemerintahan Presiden Yudhoyono terlampau sibuk menjaga citra publik sehingga aneka persoalan mikro-riil ekonomi diabaikan. Yang hampir selalu menjadi ukuran keberhasilan adalah pencapaian yang bersifat makro-ekonomi seperti tingkat pertumbuhan, inflasi, dan stabilitas kurs rupiah terhadap dollar Amerika. Padahal seperti disinyalir sebagian ahli ekonomi kualitas hidup rakyat tidak lebih baik, tingkat pengangguran terbuka terus meningkat, dan kemiskinan absolut belum berkurang secara signifikan.

Kompensasi agar membeo

Yang dikhawatirkan adalah jika skenario kenaikan tunjangan penghasilan para anggota DPR itu justru diberikan sebagai ”kompensasi” sikap membeo DPR seperti dipaksakan pimpinan Dewan dalam sidang paripurna interpelasi busung lapar pekan lalu. Jika kekhawatiran ini mendekati benar, sebenarnya belum ada yang berubah dalam relasi antara rakyat-pemerintah- DPR pasca-Orde Baru. Seperti berlangsung selama tiga dekade era Soeharto, posisi rakyat masih sebagai ”obyek” dari proyek demokratisasi yang hanya dinikmati segelintir elite yang memperoleh mandat melalui pemilihan umum.

Di tengah penderitaan rakyat yang tak kunjung berkurang, pemerintah pilihan rakyat mestinya lebih cerdas dalam menentukan pilihan kebijakan. Orientasi pencapaian keberhasilan makro-ekonomi sudah saatnya diimbangi keseriusan penanganan persoalan riil ekonomi seperti busung lapar, gizi buruk, dan pengangguran.

Secara retorik, pemerintah sering mengemukakan komitmen untuk mengurangi penderitaan rakyat. Namun, dalam realitasnya, pilihan kebijakan hampir selalu ”tulalit”, dalam arti tidak ”nyambung” dengan kebutuhan rakyat. Kebijakan kenaikan harga BBM dan tarif dasar listrik, misalnya, bisa jadi malah memperbesar angka kemiskinan ketimbang sebaliknya.

Karena itu, demonstrasi dan unjuk rasa berbagai elemen masyarakat mulai dari buruh, petani, guru, bahkan kepala desa akhir-akhir ini bukan hanya akibat reformasi yang ”kebablasan”. Semua fenomena itu justru lebih disebabkan kecenderungan elite politik yang ”kebablasan” karena tidak lagi memiliki kepekaan sosial, tanggung jawab, dan nurani.

Rencana diam-diam kenaikan tunjangan anggota DPR hanya contoh kecil dari tak adanya kepedulian dan nurani elite kita. Masih banyak contoh yang tidak terungkap dan belum tercium pers. Begitu pula premanisme politik ala DPR, hanya contoh kecil dari lautan premanisme politik dan kesewenang-wenangan kekuasaan yang berpotensi meluluhlantakkan bangunan negeri kita.

Semoga saja Tuhan memaafkan para elite politik yang mau kembali ke jalan yang lurus.

Syamsuddin Haris
Ahli Peneliti Utama Bidang Politik LIPI

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home