| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Wednesday, March 15, 2006,9:47 AM

Strategi AS Mengepung China

I Basis Susilo

Ketika menyambut rencana kunjungan Menteri Luar Negeri AS Condoleezza Rice ke Indonesia awal Januari lalu, Menlu Hassan Wirajuda (6/1/2006) menyatakan, kunjungan itu menunjukkan pentingnya hubungan Indonesia dan AS dan tumbuhnya apresiasi Indonesia oleh AS. Hassan menambahkan bahwa tampaknya sedang menguat pandangan di AS tentang Indonesia dalam konteks yang jauh lebih luas daripada sekadar kejadian-kejadian menarik opini publik, seperti pelanggaran HAM dan reformasi militer.

Kunjungan itu ditunda karena Rice tidak mau meninggalkan Washington hari-hari itu untuk memonitor perkembangan tokoh Israel, Ariel Sharon, yang terbaring koma. Kini, dua bulan kemudian, kunjungan Rice ke Australia dan Indonesia itu dilakukan. Seperti pejabat teras AS lainnya, Rice melontarkan pernyataan berkaitan dengan kunjungannya, yaitu peringatan bahwa China bisa menjadi ”kekuatan negatif” di kawasan Asia Pasifik. Karena itu, AS mengajak Jepang dan Australia serta sekutu-sekutunya mengawasi pembangunan kekuatan militer China (Kompas, 12/3/2006).

Pernyataan dua menteri luar negeri (menlu) itu mengisyaratkan bahwa kunjungan Rice ke Indonesia bukan sekadar membahas kerja sama memerangi terorisme internasional, dan hubungan bilateral, tetapi juga dalam membahas soal-soal strategis. Bagi AS, kunjungan ini tampaknya akan dipakai untuk melayani strateginya dalam menekan China.

Kepentingan strategis

Strategi menekan China dengan pengepungan tampak dari tindakan-tindakan para pejabat teras AS sejak awal 2005. Dengan Jepang, Februari lalu, AS sudah menjalin kerja sama tentang kepentingan strategis bersama untuk membela Taiwan bila diserang China. Dengan Uni Eropa, pada Juni 2005 AS menentang dan berhasil menggagalkan upaya Uni Eropa mencabut embargo persenjataannya atas China.

Dengan India, bulan Juli lalu AS menyepakati kerja sama militer selama 10 tahun, dengan harapan menjadikan India kekuatan global untuk mengimbangi kekuatan China. Bulan Juli itu juga Departemen Pertahanan AS menerbitkan laporan bahwa pembangunan militer China telah menimbulkan ancaman bagi Taiwan, India, dan Jepang, serta bagi militer AS di Pasifik. Laporan itu menyebutkan, anggaran militer China mencapai 90 miliar dollar AS pada 2005 atau tiga kali lipat dari angka resmi. RRC adalah ancaman serius bagi AS.

Strategi pengepungan itu juga tampak dari rencana para pejabat militer AS menjalin kerja sama militer AS-Vietnam. Selain itu, sudah ada pangkalan-pangkalan militer Amerika baru di barat China, yaitu di Afganistan, Kirgistan, dan Tajikistan.

Strategi menghadapi China ini sudah lama ada. Sejak awal 1950-an, AS menggelar Kebijakan Pembendungan (Containment Po- licy). Menlu Dean Acheson merumuskan konsep perimeter pertahanan, suatu lingkaran pertahanan yang membentang dari Kepulauan Aleutian ke Jepang lewat Pulai Okinawa dan Filipina, dan perang Korea menyebabkan Acheson menambah garis perimeternya dengan memasukkan Korea Selatan dan Taiwan. Dibandingkan dengan Kebijakan Pembendungan, karena cakupannya lebih luas dan melibatkan lebih banyak negara, maka yang dilakukan sekarang bisa disebut Kebijakan Pengepungan (Encirclement Policy) atau Kebijakan Menghadapi Bersama (Congagement Policy).

Melihat strategi AS itu, kunjungan Rice ke Australia dan Indonesia tentu juga dalam rangka menggalang negara-negara untuk secara strategis menghadapi China. Tidak jelas apakah memang kekuatan militer China telah meningkat drastis tiga kali lipat seperti yang selalu diungkapkan AS. China diwaspadai dan dikepung karena China diprediksi menjadi superpower yang menyaingi AS.

Geliat dan gelagat berupa tampilan-tampilan keberhasilan di pelbagai bidang telah meyakinkan dunia akan masa depan China. Apalagi para pemimpin China pun telah mempunyai road map untuk mengalahkan Jepang pada pertengahan abad ini, dan menyamai serta meninggalkan AS pada tahun 2080.

Bermain nuansa

Meminjam analisis Samuel Huntington tentang benturan peradaban, maka bagi AS peradaban China akan lebih sulit dihadapi daripada peradaban Islam. Timur Tengah demonstratif secara fisik maupun retorik menentang dominasi dan arogansi AS, termasuk timbulnya gejala terorisme di dalamnya. Sementara RRC secara sabar, tekun, hati-hati, sungguh-sungguh, dan bermain nuansa terus-menerus meningkatkan sumber daya untuk menuju superpower baru.

Bagi AS, menghadapi reaksi konfrontatif dari Timur Tengah lebih mudah dan mengasyikkan daripada menghadapi aksi-aksi diam, terarah, dan penuh nuansa dari China. Bahkan, dengan ASEAN, China adalah negara pertama di luar ASEAN yang menandatangani Bali Concord.

Ke Indonesia, kunjungan Rice tentunya juga akan membahas soal-soal strategis dari kepentingan AS itu. Untuk itu, AS telah memberi beberapa insentif kepada Indonesia supaya mau menjadi mitra dalam strateginya. AS telah menghidupkan lagi Latihan dan Pendidikan Militer Internasional dengan Indonesia (Februari 2005). AS juga mengakhiri larangan penjualan alat dan suku cadang militer melalui jalur Pemerintah AS (Mei 2005).

Apakah strategi AS itu berhasil, waktulah yang akan membuktikan. Yang jelas, dalam menghadapi dinamika Asia-Pasifik selama ini, semua negara punya strategi dan perhitungannya sendiri-sendiri, yang tidak begitu saja mengikuti irama strategi AS. Indonesia, misalnya, telah menggalang kemitraan strategis dengan China (April 2005). ASEAN menjalin kemitraan strategis dengan China (Desember 2005). China, Korea Selatan, dan Jepang, serta India dan Australia (dalam KTT Asia Timur) juga menjalin ikatan kerja sama dengan ASEAN dalam KTT Asia Timur (Desember 2005). Sebelumnya, China, Korsel, dan Jepang telah tergabung dalam ASEAN+3. Bahkan, India dan China pun menjalin kemitraan strategis.

Justru pelbagai kemitraan strategis itu menjadikan permainan menarik karena tidak ada satu pun yang mau hanya menjadi bagian strategi negara lain. Justru adanya pelbagai kemitraan strategis yang tampak tumpang tindih itu bisa mencegah konfrontasi satu lawan satu. Bagaimanapun, strategi adalah seni yang memerlukan keterampilan dan kecerdikan untuk mengelola dan menggunakan pelbagai sumber daya demi melayani kepentingan dan mencapai tujuan nasional masing-masing. Yang jelas, Indonesia tidak boleh serta-merta mengikuti strategi AS itu.

I BASIS SUSILO
Dosen Ilmu Hubungan Internasional FISIP Unair

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home