| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Sunday, March 05, 2006,10:48 PM

Setelah 20 Tahun Revolusi Kekuatan Rakyat

Rakaryan Sukarjaputra

Pemberlakuan hukum darurat militer menjadi salah satu isu yang menandai 20 tahun peringatan Revolusi Kekuatan Rakyat (People’s Power) di Filipina. Sungguh sebuah pertanda buruk bagi negara yang tadinya berharap bisa hidup dalam iklim demokrasi yang sehat. Karena itu, wajar jika mantan Presiden Corazon Aquino, presiden pertama Filipina pascatumbangnya Ferdinand Marcos, menegaskan, ”Revolusi belum selesai!”

Apa yang terjadi di Filipina sekarang menjadi satu lagi bukti bahwa menegakkan dan mempertahankan demokrasi memang tidak mudah. Banyak godaan dan tarikan kuat untuk menafikan demokrasi dan menyuburkan kembali otokrasi.

Filipina mendobrak kebuntuan demokrasi di Asia Tenggara pada 1986 dengan menggulingkan rezim otoriter Ferdinand Marcos. Namun, negara itu kini kembali dihadapkan pada situasi sulit karena Presiden Gloria Macapagal-Arroyo bersikeras mempertahankan kekuasaan dengan tangan besi meski tuntutan rakyat memintanya mundur makin keras.

Pemberlakuan keadaan darurat melalui Dekrit Presiden (PP) 1017 membalikkan tatanan demokrasi yang coba dipertahankan di Filipina sejak rakyat negara itu berhasil menggulingkan Marcos.

Mantan Presiden Fidel Ramos, yang membantu penggulingan Marcos, mengatakan PP 1017 itu sama saja dengan pemberlakuan hukum militer oleh Marcos pada 1972. ”Saya sangat terkejut dengan keluarnya PP itu. Mungkin cukup memadai jika PP itu ditujukan di Metro Manila saja. Saya cemas! Itu sebuah tindakan berlebihan, suatu pembunuhan besar-besaran… Itu sangat Marcos, baik penangkapan-penangkapan maupun PP itu sendiri,” ungkapnya sebagaimana dikutip The Daily Tribune, yang diserbu kepolisian Manila setelah PP 1017 keluar.

Ramos juga mengatakan PP 1017 itu keluar tanpa aturan pelaksanaan. Ada sesuatu yang masih tersamar. Masyarakat awam kesulitan memahami bahasa PP itu. Lebih dari itu, Ramos menganggap tidak ada alasan untuk mengeluarkan PP itu. Tindakan Arroyo itu hanya akan membuat investor lari, padahal kehadiran mereka diperlukan untuk menggairahkan ekonomi Filipina yang makin parah.

”Keadaan darurat hanya akan menyebabkan lebih banyak kerusakan dan memberi sebuah sinyal yang sangat buruk, khususnya kepada warga asing,” kata Ramos tegas.

Terus menurun

Filipina tampaknya tidak mudah menemukan pemimpin yang sanggup memenuhi harapan. Tiga presiden Filipina pasca-Marcos berhenti dalam posisi yang dianggap kurang layak lagi memimpin. Gejala serupa juga terjadi untuk Arroyo.

Penelitian yang dilakukan survei pendapat Public Ateneo dan Social Weather Stations pada 2005 menyebutkan, jika pada awalnya kepuasan masyarakat terhadap presiden mereka tinggi, secara bertahap tingkat kepuasan itu terus menurun drastis (lihat Grafik).

Aquino mendapat nilai tingkat kepuasan rakyat sebesar 7 persen ketika turun pada April 1992. Ramos ketika turun dari jabatannya pada April 1998 mendapatkan 19 persen dukungan rakyat yang menyatakan puas kepadanya meski sempat turun sampai ke angka 1 persen pada bulan Oktober 1995. Sementara Joseph Estrada ketika digantikan pada Desember 2000 masih mengantongi 9 persen dukungan rakyat.

Bagaimana dengan Arroyo? Sejak 2004, dukungan rakyat sudah di bawah nol persen, bahkan sekarang mencapai minus 35 persen. Artinya, persentase responden yang menyatakan ketidakpuasan lebih besar daripada yang tidak puas.

Ada apa dengan Arroyo? Keluhan yang disampaikan banyak rakyat Filipina, termasuk para prajurit militer yang dituduh merencanakan kudeta militer, umumnya sama, yaitu kekesalan mereka melihat praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang semakin merajalela di kalangan pemerintah, lebih khusus lagi di kalangan rezim yang tengah berkuasa pada saat itu. Penyebab lain yang juga membuat banyak rakyat kesal adalah tidak adanya kemajuan ekonomi, bahkan semakin meningkatnya kemiskinan, serta utang negara kepada pihak lain.

Tak terkecuali untuk Arroyo, seluruh penyebab utama di atas memang ”menempel” pada pemerintahan yang dipimpinnya. Dalam soal KKN, Arroyo terpaksa ”mengusir” suaminya, Jose Miguel, ke luar negeri pada Juni 2005 sekadar untuk mengendurkan serangan terhadap Arroyo atas tuduhan perilaku suaminya yang memanfaatkan kedudukan istrinya untuk berbagai kepentingan pribadinya.

Dalam soal ekonomi, gambarannya lebih nyata lagi bisa dilihat dalam kehidupan rakyat Filipina. Utang negara berpenduduk 86,241 juta jiwa (2005) itu saat ini, menurut Wikipedia, sekitar 77 persen dari pendapatan produk domestik bruto (PDB)-nya. PDB-nya tercatat di urutan ke-118, yaitu 1.010 dollar AS, sedikit lebih rendah daripada Indonesia yang berada di urutan ke-111 dengan 1.191 dollar AS.

Arroyo juga dianggap terlalu sibuk ”mengamankan” posisi politiknya, terutama sejak terungkapnya ”skandal” telepon antara dirinya sebagai presiden dan panitia pemilihan umum saat hasil pemilu 2004 belum diumumkan.

Kemiskinan dan militer

Kehidupan perpolitikan Filipina sejak terlepas dari belenggu Marcos ditandai dengan dua hal yang menonjol, yaitu kuatnya faktor kemiskinan warga dalam penentuan calon pemimpin negara itu dan kecenderungan militer yang ingin terus berperan secara langsung dalam perpolitikan di negara itu.

Besarnya jumlah warga Filipina yang terbilang miskin, diyakini sejumlah pengamat, berperan besar dalam kemenangan mutlak Estrada yang memang sangat dikenal rakyat di pedesaan karena status keartisan ketimbang Alfredo Lim yang mendapat dukungan dari mantan Presiden Corazon Aquino.

Fenomena serupa terlihat kembali ketika Fernando Poe Jr tampil sebagai pesaing utama Gloria Arroyo pada pemilu 2004 yang kemudian memunculkan skandal yang membuat posisi Arroyo terus terpuruk hingga saat ini.

”Mereka yang memiliki sebuah pandangan tidak jelas mengenai dunia kemudian beralih ke karakter-karakter kartun. Filipina adalah satu dari negara dunia ketiga di mana kalaupun anda tidak mempunyai televisi dan radio, anda masih sanggup untuk pergi menonton film di bioskop,” ungkap Manuel Quezon, kolomnis politik Filipina, sebagaimana dikutip BBC News.

Adapun mengenai ”kegatalan” militer untuk terjun dalam politik bisa dilihat sejak Aquino menjadi presiden menggantikan Marcos yang mampu mengekang bukan saja masyarakat sipil, tetapi juga kalangan militer. Aquino ketika itu harus menghadapi beberapa kali ancaman kudeta militer yang dilakukan Kolonel Gregorio Honasan.

Fidel Ramos yang kemudian menggantikan Aquino relatif ”aman” dari ancaman kudeta militer karena latar belakang dia yang orang militer.

Ketika Estrada dan kemudian disusul Arroyo, rencana-rencana kudeta oleh sejumlah perwira tinggi kembali terdengar. Isu rencana kudeta militer itu pulalah yang kemudian digunakan Arroyo sebagai alasan untuk memberlakukan negara dalam keadaan darurat.

Ibarat sebuah film misteri, kita masih harus menunggu bagaimana akhir kisah perjalanan Arroyo sebagai presiden Filipina. Meski demikian, banyak pengamat meyakini Arroyo hanya tinggal menghitung hari karena kesalahan fatal telah dia lakukan, yaitu menangkapi mereka yang beroposisi terhadapnya. Itu jelas sebuah pengingkaran telanjang atas demokrasi, dan itu bisa membakar kembali Revolusi Kekuatan Rakyat kedua di Filipina.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home