| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Thursday, March 02, 2006,11:16 AM

China dan Kita

Ivan A Hadar

Selama dua hari, koran ini (Kompas, 27-28/2/2006) menurunkan berita ”ancaman China”. Kecemasan serupa pernah disuarakan koran ini beberapa tahun lalu.

Sejak 25 tahun terakhir, China tumbuh pesat, membuat negeri itu sebagai salah satu aktor penting perekonomian global abad ke-21. Kini China menduduki peringkat empat perdagangan dunia dengan porsi meningkat dari satu persen (1980) menjadi hampir tujuh persen (2005). Hal ini mengingatkan kita pada Jepang dan beberapa ”Naga Asia”. Ditilik besarannya, pengaruh China terhadap perekonomian global di masa datang akan lebih signifikan.

Pisau bermata dua

Kini, berbagai proteksi atas serbuan garmen murah China mulai dicanangkan, terutama setelah kesepakatan tekstil global berakhir (Multi-Fibre Agreement). AS mulai membatasi impor beberapa produk China dan sedang menggodok regulasi guna mengontrol tren pasar. Begitu pula UE. Akibatnya, jutaan garmen China tertimbun di beberapa pelabuhan Eropa.

Pertumbuhan ekonomi China yang spektakuler bisa menjadi pisau bermata dua (peluang dan bahaya) bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia.

Sebagai pengekspor sumber daya alam, kita bisa menarik banyak keuntungan. Namun, pada saat yang sama, industrialisasi akan kian sulit akibat persaingan.

Dengan volume impor 500 miliar dollar AS per tahun, hal itu menjadikan China pasar ekspor terbesar ketiga di dunia. Guna memacu pertumbuhan industrinya, China yang miskin sumber daya alam membutuhkan (bahan) energi dan hasil tambang. ”Serbuan perusahaan migas China” ke Indonesia bisa dilihat dari kondisi itu.

Bagi eksportir negara berkembang, persaingan dengan China sering berdampak ”sudah jatuh, tertimpa tangga”, berupa penyusutan jumlah kuota dan berkurangnya keuntungan karena harus menurunkan harga jual. Para eksportir dari Indonesia dan Banglades, yang pada tahun 1970-an pernah meraih keuntungan besar, kini terpuruk. Sebuah organisasi internasional (Christian Aid, 2005) dalam laporannya menyebutkan pengusaha garmen di Banglades sebagai rags to riches to rags (melarat, menjadi kaya, kembali melarat). Kondisi sejenis juga terjadi di Indonesia.

Produk murah

Banjir produk murah China memiliki dua konsekuensi, menguntungkan konsumen, tetapi bagi produsen—dalam negeri—yang tidak mampu bersaing, harus membatasi produksi atau gulung tikar. Di negara-negara yang perkembangan industrinya masih pada tahap awal, produk China akan bersaing dengan barang impor dari negara lain sehingga keuntungan konsumen tidak disertai kerugian produsen lokal. Dalam jangka panjang, dominasi barang murah China yang diproduksi padat karya akan menghambat industrialisasi negara bersangkutan.

Investasi asing di China patut dicermati. Pertama, ada kecemasan, peningkatan investasi asing di China (akan) menyedot investasi asing di negara lain. Tahun lalu, investasi asing di China mencapai 10 persen. Kedua, China juga mulai investasi di luar negeri meski masih relatif kecil sekitar tiga miliar dollar AS per tahun.

Di China, pertumbuhan ekonomi dua digit selama beberapa tahun terakhir menghasilkan kelompok wiraswasta dan pengusaha yang terus membesar. Pendapatan per kapita meningkat. Devisa negara melambung. Para pengamat melihat China bakal menjadi pesaing terberat AS.

Orang miskin

Pada saat yang sama, jumlah orang miskin meningkat. Sejak dua dekade, di pedesaan, 10 juta usaha kecil-menengah dilaporkan bangkrut. Di perkotaan, jutaan perusahaan swasta yang bergerak di bidang transportasi, industri, dan jasa gulung tikar. Mayoritas petani China belum menikmati ”berkah” reformasi. Begitu pula jutaan buruh industri dan pengemis mulai meramaikan kota-kota besar China. Buruh dan pegawai rendahan terpaksa hidup pas-pasan akibat gajinya digerogoti inflasi. Kelompok yang paling diuntungkan reformasi ekonomi China adalah petani kaya, terutama yang tinggal dekat perkotaan, pengusaha muda (yuppies), dan pialang modal asing.

Peneliti kondang Norwegia, Johan Galtung, dalam China: Black not Red, bertanya, ”Apakah China itu Sosialistis?” Bila sosialisme, kata Galtung, diartikan sebagai ”persyaratan bagi pemenuhan kebutuhan pokok manusia, atau hilangnya perbedaan kelas dan perbedaan desa-kota, maka semua itu bukan ciri dominan China saat ini”. Juga kesan kita atas ekspansi perdagangannya, perusahaan China menghancurkan jaringan perdagangan lokal yang telah dibangun puluhan tahun. Apakah China itu kapitalistis?

Kompleksitas persoalan yang mengiringi perjalanan reformasi China, berikut ekspansi ekonominya, mengajarkan kita, tatanan sosial-ekonomi adalah cita-cita yang ingin digapai dan masih di tingkat konsepsi. Untuk mewujudkannya, China mencoba ”Jalan Ketiga” antara sosialisme dan kapitalisme dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Yang kasatmata, cita-cita itu dibuat operasional dan didukung seperangkat institusi dan mekanisme penunjang. Tanpa itu, konsepsi itu hanya akan berhenti pada imbauan moral atau etis. Sepertinya, ini yang sedang terjadi di Tanah Air. Akibatnya, sejak beberapa tahun terakhir, dibanding negara-negara tetangga sekawasan, dalam hampir segala bidang, kita kian ketinggalan. Apalagi dibanding China. Bagi kita, kasus Freeport, Blok Cepu, dan ancaman China di sektor tekstil bisa menjadi momentum untuk bangkit.

Ivan A Hadar Direktur Eksekutif Indonesian IDE (Institute for Democracy Education)

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home