| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Wednesday, March 01, 2006,8:48 AM

Freeport dan Dilema "Benteng Pengaman"

Laode Ida

Pemblokiran kegiatan PT Freeport McMoran oleh massa di Timika (Papua) mengundang perhatian publik nasional dan internasional.

Dengan aksi ”brutal”, kecuali menimbulkan kerugian (Rp 20 miliar lebih) akibat terhentinya produksi, juga karena perusahaan internasional asal Amerika Serikat (AS) ini dianggap sebagai bisnis vital yang harus diamankan Pemerintah Indonesia.

Tidak heran jika Presiden Yudhoyono dan Wapres Jusuf Kalla menyatakan prihatin atas peristiwa di Timika seraya meminta Freeport mengaktifkan kembali bisnis atau produksinya. Bahkan, kedatangan senator AS Russel Feingold, yang sempat bertemu dengan Presiden Yudhoyono, diduga memiliki misi untuk mengetahui lebih jauh tentang persoalan di Freeport.

Peristiwa itu agak mengejutkan. Untuk pertama kali terjadi arus massa besar yang melumpuhkan aktivitas bisnis. Sebelumnya, meski ada demonstrasi massa yang bersikap kritis terhadap Freeport, tetapi tak sampai menghentikan kegiatan. Semua bisa dikendalikan aparat keamanan. Apalagi pada era Orde Baru, Freeport yang mendapat back up khusus aparat keamanan dengan pendekatan lebih represif.

Pemicu

Penyebab aksi massal itu sebenarnya sederhana, yaitu aparat keamanan melarang masyarakat sekitar melakukan penambangan liar di lokasi pembuangan limbah PT Freeport. ”Kebijakan” itu menimbulkan solidaritas dan kemarahan masyarakat Timika terhadap aparat keamanan, yang menimbulkan kesan seolah seluruh masyarakat Timika dan mungkin Papua melakukan perlawanan terhadap PT Freeport.

Namun, peristiwa itu dijadikan pemicu untuk mengekspresikan kemarahan dan kekecewaan. Setidaknya ada tiga pihak yang saling terkait yang dianggap sebagai penyebab kekecewaan masyarakat Papua, khususnya Timika, selama ini.

Kebijakan keliru PT Freeport adalah terus menggunakan pendekatan keamanan untuk membentengi diri dari berbagai tuntutan masyarakat lokal. Kebijakan seperti itu disorot tajam elite Papua yang memiliki kesadaran kritis. Dalam suatu pertemuan antara pimpinan PT Freeport dan anggota DPR serta DPD asal Papua di Hotel Mulia beberapa waktu lalu, muncul pertanyaan, adakah perusahaan di dunia yang menggunakan aparat keamanan (polisi dan tentara) untuk mengamankan usahanya? Pihak Freeport menjawab ”ya”, apalagi kegiatan Freeport dikategorikan pemerintah sebagai ”bisnis vital” yang perlu diamankan. Sang penanya menyambung, ”Apakah di perusahaan lain juga menembak penduduk asli?”

Pendekatan konservatif

Masyarakat Papua sebenarnya tak keberatan dengan keberadaan Freeport. Hanya saja Freeport masih menerapkan pendekatan konservatif dalam pengamanan usaha. Ini berlaku pada hampir seluruh usaha tambang di Indonesia di mana saya beberapa kali terlibat diskusi, terkait relasi bisnis dengan masyarakat lokal (external relation and community development affair), seperti di PT Inco (Soroako dan Pomalaa Kolaka dan PT Aneka Tambang di Pomalaa).

Asumsinya, dengan backing aparat keamanan, bukan saja bisa melakukan tindakan represif terhadap karyawan internal, tetapi juga bisa membendung arus protes masyarakat luar.

Maka, aparat keamanan benar- benar memanfaatkan keadaan itu karena ada imbalan yang diterima. Tepatnya, pebisnis tambang hanya berupaya membangun relasi baik dengan para pejabat penentu di tingkat lokal maupun nasional, termasuk dengan jajaran aparat keamanan.

Sementara masyarakat lokal di seputar penambangan cenderung dimarjinalkan, kepentingan atau kebutuhan mereka cenderung diabaikan, karena perusahaan merasa cukup dengan memberi imbal melalui elite atau pejabat pemerintah dan keamanan.

Tanggung jawab sosial

Mungkin pihak perusahaan beranggapan masyarakat alias penduduk asli Papua diposisikan sebagai obyek yang harus patuh dengan aneka kebijakan perusahaan bekerja sama dengan elite di pemerintahan atau diposisikan sebagai tak tahu masalah sehingga hanya perlu diarahkan untuk mengikuti saja.

Padahal, pendekatan seperti itu hanya bisa diterapkan dalam masyarakat negara yang otoriter. Relasi perusahaan dengan masyarakat dalam konteks ideal (inilah yang semestinya diterapkan di Indonesia, termasuk di Freeport) menjadikan masyarakat sekitar sebagai penyangga kegiatan usaha berkelanjutan, dengan memerhatikan kebutuhan mendasar masyarakat, seperti pendidikan, kesehatan, dan peningkatan pendapatan masyarakat lokal.

Ini merupakan bagian tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility), yang perwujudannya antara lain melalui program pengembangan masyarakat (community development/CD). Jika ini dilakukan, sesungguhnya pihak perusahaan tak perlu repot-repot memberikan ”tambahan gaji” terhadap aparat keamanan, justru masyarakatlah yang akan menanganinya karena mereka mendapat manfaat langsung dari keberadaan perusahaan itu.

Dalam laporannya, Freeport sudah melakukan program CD, dengan besaran dana tahun 1996-2005 mencapai Rp 1,7 triliun. Namun, barangkali program memerlukan semacam redesign dengan pendekatan lebih bisa memastikan partisipasi masyarakat dalam menentukan aneka pilihan program berikut pendekatannya seraya membangun kesadaran akan rasa memiliki (sense of belonging) atas Freeport di tanah Papua. Artinya, program- program yang dikelola melalui CD harus secara aktif memerankan fungsi komunikasi atau dialogis antara perusahaan dan masyarakat ke arah terciptanya rasa memiliki dalam arti yang sesungguhnya. Masyarakat penduduk asli Papua pun akan merasakan dirinya ”dihargai” oleh pihak perusahaan.

Pada saat yang sama, keberadaan aparat keamanan yang selama ini diposisikan sebagai benteng pengaman andal perusahaan harus perlahan-lahan dieliminasi sehingga mereka berkonsentrasi pada bidang tugas pokok masing- masing. Bila tidak, bukan mustahil perusahaan seperti Freeport akan terus menciptakan bumerang bagi diri sendiri.

Laode Ida Wakil Ketua DPD

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home