| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Saturday, March 04, 2006,12:33 PM

Masih Relevankah Pancasila?

Sulastomo

Pancasila kini sudah jarang disebut dalam wacana politik, begitu keluhan berbagai kalangan. Meski Pembukaan UUD 1945 di mana rumusan Pancasila tetap dipertahankan, realitas politik dan ekonomi Indonesia kini sudah menyimpang dari Pancasila/UUD 1945.

Sistem politik kita, sistem demokrasi kita, sistem ekonomi kita, sudah tidak lagi berdasar cita- cita buat apa negara ini didirikan. Benarkah sinyalemen ini?

Sistem berbangsa dan bernegara kita telah mengalami perubahan mendasar. Secara filosofis, memang mengesankan ada pergeseran. Hal ini tampak dari realitas kehidupan/sistem politik, demokrasi, dan ekonomi yang berjalan. Setidaknya ada pergeseran ke arah sistem demokrasi langsung, ekonomi pasar dengan falsafah individualismenya. Hal ini terlepas dari kenyataan, semua itu masih dalam tahapan transisi. Transisi demokrasi ke arah bentuknya yang mantap.

Pertanyaannya, apakah perubahan itu masih mengacu pada Pancasila? Bahwa transisi demokrasi yang sedang kita jalani adalah dalam rangka memantapkan Pancasila atau sebaliknya? Di era globalisasi, masih relevankah Pancasila bagi masa depan bangsa? Tidak berlebih, sekaranglah saat yang tepat untuk mengangkat wacana itu ketika kita sedang berada di masa transisi.

Mimpi masa depan

Ada buku, The European Dream, yang mungkin dapat digunakan sebagai acuan. Buku itu melukiskan mimpi ”Uni Eropa” di masa depan, ditulis Jeremy Rifkin, ilmuwan Amerika, yang menggambarkan dua buah mimpi besar, yaitu The American Dream dan The European Dream. Menarik, setelah ia membandingkan dua mimpi besar itu, meski ia orang Amerika, ia menyimpulkan, mimpi Eropa akan mengatasi (eclipsing) mimpi Amerika. Mengapa?

Sebagai seorang Amerika, sejak kecil, ia telah mendapat pendidikan, prinsip dasar berkebangsaan Amerika ”The right to life, liberty and the pursuit of happiness”. ”Life, liberty, and happiness” itulah tujuan buat apa Amerika didirikan. Dalam bahasa agama, negara hanya mengurusi masalah-masalah duniawi (hablum minannaas). Masalah hubungan dengan Tuhan (hablum min-Allah) diserahkan kepada masing-masing warga negara.

Inilah prinsip sekularisme yang dianut Amerika. Demikian juga dengan sekularisme di Eropa. Namun, dalam memaknai hubungan antarmanusia, ada perbedaan di antara keduanya.

Untuk mencapai mimpi itu, seorang Amerika harus memiliki ”otonomi” (individual autonomy), kebebasan individual yang besar sehingga ia mampu bersaing di masyarakat. Dengan cara begitu, ia akan merasa aman dalam mengarungi kehidupan.

Sebaliknya, bagi orang Eropa, ia akan merasa aman jika dapat menyatu dengan masyarakat. Mereka lebih menekankan community-relationship dibandingkan individual autonomy.

Dalam berbangsa dan bernegara, perbedaan itu digambarkan, Eropa lebih menekankan global cooperation dibandingkan unilateral exercise of power, quality of life dibandingkan accumulation of wealth, sustainable development dibandingkan unlimited of material growth, dan sebagainya.

Singkatnya, The American Dream lebih menekankan individu (individualisme), sementara The European Dream lebih menekankan perlunya hubungan antarmanusia (community relationship), kebersamaan (atau gotong royong)?

Mimpi Eropa itu, menurut Jeremy Rifkin, akan mengatasi mimpi Amerika. Timbul pertanyaan, itukah mimpi/masa depan umat manusia? Bahwa dunia atau sebuah negara harus semakin lebih menekankan kebersamaan, kerja sama, solidaritas, kehidupan masyarakat yang harmoni, dibandingkan kompetisi sesama manusia dan antarbangsa, yang ujungnya akan melahirkan kesenjangan antara kaya dan miskin? Jawabnya, ”ya”. Perkembangan dunia yang kian penuh risiko harus lebih meyakinkan kita bahwa community relationship akan lebih penting dibandingkan individual autonomy dengan segala perangkatnya.

Relevansi prediksi itu juga ditunjang kenyataan bahwa negara-negara demokrasi yang masih menghormati kebersamaan, secara ekonomis, juga lebih efisien. Hal ini tampak dari berbagai negara Eropa, di mana mereka mampu menikmati tingkat kesejahteraan yang lebih baik daripada Amerika. Atau Jepang, sebagaimana digambarkan Ichiro Kawasaki, mantan diplomat Jepang, dalam buku Japan Unmasked, orang Jepang secara individual tidak efisien. Namun, 20 orang Jepang yang bekerja sama akan jauh lebih efisien dibandingkan bangsa mana pun di dunia”.

Jika semua itu didalami melalui pendekatan ideologi, dapat dikatakan, ”kapitalisme” dengan perangkatnya adalah mimpi masa lalu. Dan mimpi masa depan adalah sosialisme-demokrasi.

Pancasila

Pancasila/UUD 1945 adalah sebuah falsafah/konstitusi yang sarat dengan kebersamaan/kegotongroyongan. Jika kita sepakat bahwa Pancasila/UUD 1945 mendekati prinsip-prinsip yang dirumuskan sebagai The European Dream, alangkah jauhnya pandangan the founding fathers kita merumuskan falsafah dan dasar negara itu sehingga (sebenarnya) masih amat relevan di era globalisasi. Sudah tentu, kemiripan itu hanya sebagai komplemen ”duniawi” terhadap cita-cita buat apa negara ini didirikan. Sebab, di dalam Pancasila, ada aspek uchrowi yang hendak dicapai, sebagaimana terkandung dalam Sila Pertama Pancasila. Karena itu, ada yang menamakan, ideologi Pancasila itu adalah ”sosialisme religius”.

”Kekeliruan” kita selama ini, kita belum mampu mengimplementasikan kaidah-kaidah kebersamaan, khususnya dalam bidang kesejahteraan dan perekonomian, sebagaimana termaktub dalam Pasal 33 dan 34 UUD 1945. Bahkan, yang tampak adalah kaidah-kaidah individualisme.

Di sinilah perlunya kita melakukan ”revitalisasi” dan menerjemahkan Pancasila sesuai kebersamaan, termasuk Pasal 33 dan 34 UUD 1945, dalam mewujudkan kesejahteraan dan perekonomian rakyat dan melaksanakannya dengan konsisten.

Sulastomo Koordinator Gerakan Jalan Lurus

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home