| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Monday, February 27, 2006,1:37 PM

ANALISIS EKONOMI : Disorientasi Kebijakan Sektor Riil

Faisal Basri

Salah satu persoalan mendasar yang membuat dunia usaha kalang kabut dalam mempertahankan dan mengembangkan usahanya adalah faktor kegagalan pemerintah (government failures). Pengertian pemerintah di sini tidak hanya terbatas pada eksekutif, tetapi juga meliputi legislatif. Sebab, eksekutif dan legislatif bertanggung jawab untuk membangun kerangka kelembagaan (institusi), khususnya dalam bentuk undang-undang, yang memungkinkan seluruh potensi milik kita bisa didayagunakan secara efektif bagi sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas, misalnya, bisa dikatakan menjadi salah sumber penyebab terpenting yang membuat investor enggan menanamkan modalnya di sektor migas dan juga ”biang kerok” dari karut-marutnya usaha di industri migas. Akibatnya, produksi minyak mentah terus turun dalam delapan tahun terakhir ini. Lebih ironis lagi, sebagai produsen minyak dan sekaligus anggota OPEC, Indonesia sekarang menjadi negara pengimpor bahan bakar minyak (BBM) terbesar di Asia.

Contoh lain yang cukup menonjol adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 95/PMK.02/2005 dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 25/M-Dag/Per/12/2005. Kedua peraturan ini mengatur pungutan ekspor.

Dengan perangkat analisis yang sangat sederhana, kita bisa dengan mudah membuktikan bahwa pertimbangan maupun tujuan dari kedua peraturan tersebut sangat lemah. Sebagaimana umumnya peraturan pemerintah, kedua peraturan menteri itu bersifat reaktif, berwawasan jangka pendek, dan berlandaskan analisis statik.

Dalam hal pengenaan pungutan ekspor untuk minyak sawit, tak terkandung tujuan untuk mendorong produksi, sebaliknya lebih bersifat menghambat. Dana yang terkumpul dari pungutan ekspor tak dikembalikan sepeser pun untuk mendorong produksi minyak sawit maupun produk turunannya, ataupun memberdayakan petani kelapa sawit. Beda halnya dengan kebijakan Pemerintah Malaysia yang mengembalikan seluruh dana yang berasal dari pungutan ekspor untuk kepentingan pengembangan sawitnya.

Bentuk kegagalan pemerintah lainnya adalah dalam melindungi pelaku usaha dari praktik persaingan usaha tidak sehat, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Pemerintah wajib melindungi pelaku usaha di dalam negeri dari serbuan barang impor ilegal. Barang-barang selundupan seperti produk tekstil dan elektronik sangat mudah dijumpai bertaburan di pasar dalam negeri.

Daya tahan industri tertentu kian terperosok menghadapi barang selundupan karena kebijakan pengenaan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), misalnya terhadap produk elektronik. Sikap pemerintah yang seolah ”tuli” tecermin dari pernyataan Ketua Gabungan Elektronik Indonesia (Gabel): ”Negosiasi sudah seperti bicara dengan tembok. Jadi kita perlu membicarakan hal ini melalui Menteri Perindustrian.”

Keluhan Ketua Gabel sangat boleh jadi ditujukan kepada pejabat Departemen Keuangan. Karena itu, ia lalu mengadu dan menumpahkan harapan terakhirnya kepada Menteri Perindustrian. Yang membuat kita pantas bertambah gundah adalah tanggapan Menteri Perindustrian atas hal ini: ”Sekarang lebih mudah memprediksi kapan hujan turun daripada menegaskan kapan masalah ini selesai.” (Kompas, Sabtu, 25/2). Jadi, ke mana lagi pengusaha hendak mengadukan nasib mereka?

Ancaman telah pula menghadang ekspor udang Indonesia. Pemerintah Amerika Serikat mengancam akan menghentikan sementara impor udang dari Indonesia (Kompas, Sabtu, 25/2). Ancaman demikian bukan pertama kalinya dari negara-negara tujuan ekspor kita. Sumber masalahnya pun serupa, yakni kemungkinan besar Indonesia hanya dijadikan kamuflase, sebagai negara asal ekspor oleh negara-negara lain. Kenyataan ini menunjukkan lemahnya kemampuan pemerintah dalam memonitor lalu lintas perdagangan luar negeri, sekaligus mengamankan kedaulatan wilayah Republik Indonesia.

Bentuk lain kegagalan pemerintah adalah terjadinya praktik-praktik ekonomi biaya tinggi. Misalnya, bagaimana mungkin negeri kita yang memiliki kekayaan alam relatif sangat melimpah, tarif listriknya untuk konsumen bisnis dan industri secara rata-rata lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara tetangga, bahkan dibandingkan dengan Singapura sekalipun.

Mungkin kejadian yang menimpa Maspion minggu lalu sedikit banyak menggambarkan kian tak berdayanya sektor riil untuk memenuhi tuntutan kenaikan upah buruh. Jika kenaikan upah Rp 30.000 saja sudah membuat Maspion ”menyerah”, berarti memang sebagian pengusaha sudah kehabisan ”jurus” untuk mempertahankan usaha.

Apalagi namanya kalau bukan salah urus. Bukankah usaha kelistrikan sepenuhnya dikendalikan pemerintah? Bukankah segala jenis sumber energi yang digunakan untuk pembangkit listrik hampir seluruhnya di bawah kendali pemerintah? Bukankah gas dan BBM diproduksi BUMN? Bukankah sebagian produksi batu bara dihasilkan BUMN? Bukankah kekayaan tenaga panas bumi dan air sepenuhnya dikuasai negara?

Nyata-nyata pemerintah telah gagal menjalankan fungsinya untuk memberdayakan segala kekayaan alam bagi sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Pemerintah gagal membuat sinergi di antara BUMN terkait sehingga bisa bahu-membahu, bukan sebaliknya saling mematikan.

Jika berbagai bentuk kegagalan pemerintah terus berlanjut, tak banyak lagi yang bisa diharapkan untuk membuat sektor riil berkembang dan sehat. Makin banyak yang akan menutup pabriknya atau merelokasikan ke luar negeri, atau banting setir menjadi pedagang saja. Kita hanya akan menjadi the plantation of the west, menjadi kuli di negeri sendiri.

Dengan tekad kuat dan kerendahan hati untuk mengakui segala kesalahan selama ini, rasanya kita belum terlambat menguakkan harapan baru dan merajut masa depan. Kita bisa memulainya dengan menohok ke akar-akar masalah terlebih dulu.

Akar masalah itu adalah berbagai bentuk kegagalan pemerintah. Jika pemerintah kembali melaksanakan fungsinya dengan ”benar”, niscaya ”peredaran darah” dalam perekonomian akan lancar sehingga sektor rill kembali segar bugar. Saatnya kejujuran dan akal sehat yang memimpin negeri ini.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home