| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Wednesday, March 01, 2006,8:46 AM

Tidak Ada Jalan Pintas Membangun Bisnis

Jakarta, Kompas - Membangun industri nasional, termasuk di dalamnya industri tekstil, untuk menghasilkan satu kekuatan ekonomi yang benar-benar berdaya harus dilakukan secara bertahap serta dengan langkah nyata dalam satu visi kebijakan nasional yang panjang dan jelas. Tak ada jalan pintas untuk itu.

Demikian dikemukakan pengusaha, yang juga mantan Presiden Direktur Astra International Theodore P Rachmat, dan sosiolog dari Universitas Airlangga, Hotman M Siahaan, secara terpisah, Selasa (28/2).

Hal tersebut dikemukakan mereka ketika keduanya dimintai tanggapan soal bergugurannya industri tekstil lokal akibat maraknya produk asal China di negeri ini.

Theodore P Rachmat mengatakan, akar dari kegagalan pembangunan industri nasional adalah lemahnya etos kerja dan etika. Dua hal mendasar itu mengakibatkan ketidakefisienan terjadi di mana-mana. Pungutan liar hingga korupsi birokrasi dan aparat keamanan sudah jalin-menjalin sedemikian rupa dengan lemahnya etos kerja dan etika bisnis.

”Secara makro sebenarnya sudah baik, hanya di sektor riil belum ada langkah nyata. Mesti dianalisis satu demi satu sektor. Tetapkan dan lakukan satu langkah demi satu langkah perbaikan, entah itu sektor tekstil ataupun infrastruktur. Bukan dipukuli terus, bukan pula ditolong, tetapi diberi suasana yang kondusif,” kata Rachmat mengingatkan.

Dalam pandangan dia, pada situasi seperti sekarang ini dunia usaha Indonesia belum kuat untuk berkompetisi dengan luar negeri akibat besarnya biaya-biaya tak perlu yang harus ditanggung pengusaha.

Pemerintah perlu bertindak cepat dalam memperbaiki semua ini. Paling tidak, kata Rachmat lagi, ada tiga hal yang menjadi keprihatinan utama investor, yaitu Rancangan Undang-Undang (RUU) Pajak, RUU Tenaga Kerja, dan RUU Otonomi Daerah. ”Tiga hal ini mesti cepat selesai,” katanya.

Sejak zaman VOC

Hotman mengatakan, pengalaman serbuan globalisasi perdagangan sebenarnya sudah dialami Indonesia sejak zaman VOC dan menghasilkan perubahan-perubahan dalam tatanan sosial, ekonomi, dan politik. Persoalannya, perubahan di Indonesia selalu menghasilkan keterkejutan besar karena dorongan perubahan mendasar hampir selalu didominasi faktor tekanan dari luar, termasuk katanya, reformasi yang merupakan imbas dari tekanan kekuatan ekonomi global.

Idealnya, menurut Hotman, perubahan lebih didominasi oleh dorongan internal bangsa sendiri. ”Akibat hal itu, semua proses perubahan berlangsung tanpa dukungan kekuatan kultural. Apalagi dalam kultur kita yang heterogen. Hasilnya adalah perpecahan. Energi habis untuk hal-hal yang tidak perlu,” katanya.

Jepang dan China mengalami masa isolasi panjang sebelum membuka diri. Akan tetapi, mereka tidak terus-menerus disibukkan oleh tarik-menarik masalah internal yang tidak perlu. Hotman mengingatkan, problem kebangsaan Indonesia belumlah selesai dan hal ini tidak dialami bangsa lain saat ini.

”Setelah merdeka kita masih ada problem keindonesiaan, tarik-menarik antara pusat dan daerah, Jawa dan luar Jawa,” ujarnya.

Lalu, kata Hotman lagi, tiba-tiba menghasilkan negara begitu kuat di masa Orde Baru, yang mengendalikan seluruh civil society. ”Ingat, Orde Baru itu juga ditekan kekuatan eksternal, masuk melalui bantuan asing, korporasi dunia dengan istilah revolusi hijau, yang akhirnya ternyata membelenggu desa pada perusahaan multinasional, ketergantungan benih, pupuk, dan obat pertanian,” kata Hotman menambahkan.

Hal yang memprihatinkan, menurut Hotman, saat ini tidak ada sosok politisi dan pemimpin negarawan. Semua dibelenggu oleh kepentingan partai dan golongan. Akibatnya, dari perubahan besar melalui reformasi ini tidak lahir pencerahan.

”Biasanya sebuah revolusi melahirkan pencerahan baru, mau ke mana bangsa ini. Namun, pemimpin dan politisi tidak punya pikiran panjang, bagaimana penataan industri dilaksanakan,” kata Hotman.

Akibatnya, infrastruktur politik mencampuri infrastruktur hukum. ”Coba, kalau pedagang Pasar Tanah Abang bisa tergusur oleh pedagang dari China, Hongkong, apa yang terjadi? Kita tidak punya proteksi terhadap kepentingan pengusaha pribumi. Ini harusnya merupakan kebijakan politik yang diambil pemerintah,” ucapnya.

Tergusur

Soal tergusurnya pengusaha tekstil lokal di Tanah Abang, menurut Hotman, itu hanyalah satu contoh kecil dari persoalan besar dunia usaha dan industri Indonesia. Selama model sosial yang ada tidak cukup baik, bagaimana bangsa Indonesia harus menghadapi kekuatan-kekuatan arus besar dunia?

”Enggak terbayangkan, pulau saja bisa dibeli,” kata Hotman.

Karena itu, menurut dia, perlu penataan ulang terhadap seluruh sistem kebijakan negara. ”Contoh hukum terhadap seluruh eksploitasi sumber daya alam itu problem besar. Harus berpihak kepada rakyat. Kedua, harus ada revitalisasi kultur agraris,” katanya.

Persoalan sekarang, penguasa sibuk mengumpulkan daya dan dana untuk lima tahun ke depan. Partai juga demikian, pertahankan kader di kabinet karena hal itu menjadi sumber pendanaan.

”Artinya, pada dasarnya kita masih sangat sektarian pada kelompok dan golongan masing- masing. Tidak ada visi negarawan,” kata Hotman.

Presiden yang dipilih rakyat, lanjutnya, punya kekuatan sangat besar sehingga seharusnya seluruh kebijakan Presiden ditetapkan untuk kepentingan rakyat. Namun, menurut Hotman, dari susunan kabinet saja jelas tercermin bahwa kebijakan yang ada dibuat untuk kepentingan partai politik.

Atasi penyelundupan

Menteri Perindustrian Fahmi Idris mengutarakan, salah satu langkah konkret yang akan ditempuh Departemen Perindustrian untuk melindungi industri tekstil nasional dari serbuan produk China adalah mengurangi penyelundupan. Apabila penyelundupan bisa diatasi, hal itu sama dengan memberikan perlindungan yang sangat besar bagi produk tekstil nasional.

Bahkan, Fahmi mengkritik mekanisme pencocokan dokumen untuk membayar bea masuk dengan sistem borongan. Sistem itu disebut sebagai mekanisme yang ”semipenyelundupan” karena tak mengetahui jumlah barang impor yang ada di dalam peti kemas.

”Jika pengenaan bea masuk impor tekstil secara borongan, hanya melihat ukuran peti kemas. Misalnya, jika peti kemas dengan ukuran 20 kaki dikenai bea masuk Rp 20 juta, maka 40 kaki bisa dikenai bea masuk Rp 30 juta. Jadi, ini semipenyelundupan karena tak menghitung secara pasti bea masuk dari barang yang ada di dalam peti kemas,” ujar Fahmi.

Sistem borongan tersebut sudah dapat digantikan dengan formula pengecekan yang lebih baik dalam tahun ini. Sebab, tanpa perbaikan bisa terjadi penyelundupan yang mengganggu pasar dari produk tekstil nasional.

Fahmi juga mengemukakan beberapa hal yang harus dilakukan pemerintah untuk menyelamatkan industri tekstil nasional, antara lain restrukturisasi mesin pabrik yang sudah tua. Selain itu, pengamanan bahan baku industri tekstil dan produk tekstil (TPT) yang terkait dengan peran industri petrokimia.

Departemen Perindustrian juga mendorong pelaku industri untuk memanfaatkan kelebihan industri TPT nasional dengan menggunakan serat alam, seperti sutra. Karena itu, pemerintah akan mendukung pengamanan produksi sutra dengan membuat master plan produksi sutra nasional bersama Menteri Kehutanan serta Menteri Negara Urusan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah. (BOY/anv)

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home