| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Monday, February 27, 2006,1:39 PM

Politik Perundang-undangan DPR

Syamsuddin Haris

Keberhasilan Pemilu 2004 secara prosedural belum diikuti dengan peningkatan kualitas keterwakilan dan kinerja anggota legislatif di tingkat nasional (DPR) maupun provinsi dan kabupaten/kota (DPRD).

Kecenderungan hampir sama tampak pada kualitas kinerja partai politik pasca- Pemilu 2004 yang tidak lebih baik dibandingkan dengan produk Pemilu 1999.

Kualitas kinerja para wakil rakyat tak hanya terkait komitmen individual tiap anggota legislatif, tetapi juga berhubungan dengan pola dan sistem kerja sehingga berdampak pada produktivitas DPR secara institusi. Dari segi komitmen individual, tiap anggota Dewan hampir pasti mengklaim, mereka bekerja untuk rakyat. Namun ketika para anggota bekerja secara institusi, kerap kali DPR terperangkap dalam politik kepentingan kelompok. Tak heran jika mantan calon presiden Amien Rais menyinyalir, DPR masih berlaku sebagai ”tukang stempel” bagi pemerintah yang berkuasa. Mengapa demikian?

Politik perundang-undangan

Diakui atau tidak, DPR dewasa ini terjebak rutinitas politik tanpa kerangka kerja yang jelas. Padahal, titik tekan fungsi legislasi sesuai hasil amandemen UUD 1945 ada di tangan DPR. Sebagai konsekuensi logis perubahan konstitusi, DPR harus memiliki semacam ”politik perundang-undangan”. Artinya, DPR sebagai lembaga legislatif harus menyusun cetak biru perundang-undangan yang menjadi acuan pelaksanaan fungsi legislasi yang diembannya. Desain besar itu tak hanya mencakup rencana kerja legislasi DPR selama lima tahun, tetapi juga target yang hendak dicapai sehingga secara internal DPR bisa mengevaluasi kinerja mereka setiap tahun. Melalui cetak biru yang sama DPR dapat menentukan RUU yang menjadi prioritas, yang bisa ditunda, dan jika perlu cukup diintegrasikan ke UU yang telah ada.

Dalam konteks UU bidang politik misalnya, bagaimanapun diperlukan agenda terencana dari DPR yang mencakup, misalnya, UU apa saja yang menjadi prioritas untuk meningkatkan kualitas Pemilu 2009, UU apa saja yang perlu direvisi, kapan harus direvisi, apa saja cakupan revisi, mengapa, dan seterusnya.

Mengingat tidak ada desain besar, DPR membahas RUU Penyelenggara Pemilu tanpa lebih dahulu merevisi UU No 12 Tahun 2003 tentang Pemilu yang menjadi ”induknya”. Ironisnya, pemerintah selaku mitra kerja DPR dalam legislasi tidak memiliki desain besar serupa.

Urgensi politik perundang-undangan DPR bukan saja dalam upaya menghindari munculnya produk legislasi yang bersifat tambal-sulam, tetapi juga dalam rangka reformasi institusional yang lebih terarah, koheren, konsisten, dan konsepsional. Dengan politik perundang-undangan yang jelas, maka sinyalemen publik bahwa DPR hanya memprioritaskan pembahasan RUU yang ”basah” dapat dihindari. Selain itu, dengan politik perundang-undangan yang dimiliki, DPR tidak berlaku sekadar ”pabrik UU” seperti tampak dewasa ini.

Betapa tidak, dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR 2006 terdaftar 43 rancangan undang-undang (RUU) yang harus diselesaikan. Padahal, masih tersisa 34 RUU yang belum diselesaikan DPR pada 2005 lalu sehingga total beban DPR tahun ini 77 buah UU. Ini belum termasuk RUU ”dadakan” yang belum diagendakan Badan Legislasi DPR tetapi harus selesai dengan target waktu tertentu, seperti RUU Pemerintahan Aceh dan 18 buah RUU pemekaran wilayah yang tidak tertangani DPR periode 1999-2004.

Saat ini, misalnya, ada 20 panitia khusus (pansus)–tiap pansus beranggotakan 50 orang—untuk membahas berbagai RUU mulai badan penasihat presiden hingga soal pornografi dan pornoaksi. Tidak heran jika sejumlah anggota DPR yang dianggap ”berpengalaman” merangkap menjadi anggota dari dua atau tiga Pansus.

Mungkinkah DPR menghasilkan produk legislasi berkualitas jika Dewan memaksa diri memproduksi sebanyak mungkin UU yang akhirnya berpeluang tambal-sulam, akibat tidak adanya politik perundang-undangan yang jelas.

Sejauh mana RUU-RUU ini diperlukan bangsa kita yang masih dibelenggu kemiskinan, korupsi, pengangguran, bencana alam, dan virus flu burung?

Reformasi pola kerja DPR

Akibat tidak adanya kejelasan politik perundang-undangan, pembahasan tiap RUU cenderung kering, bertele-tele, bahkan terjebak debat kusir tentang bunyi pasal dan ayat. Jarang terjadi perdebatan substansi karena disinyalir sebagian besar RUU yang dibahas tidak memiliki naskah akademik memadai.

Tidak heran jika UU hasil DPR hampir selalu berpotensi tambal-sulam. Pengaturan hukum simpang-siur, tumpang-tindih, bahkan bertentangan dengan UU yang masih berlaku. Padahal, naskah akademik sebagai kerangka pikir yang mendasari penyusunan RUU mutlak diperlukan, tidak hanya sebagai acuan bagi materi pasal dan ayat, tetapi juga dalam rangka menghindari pengaturan yang tambal-sulam.

Karena itu, menjadi penting mereformasi pola dan sistem kerja DPR. Diakui atau tidak, dewasa ini mekanisme kerja DPR masih mewarisi pola era Orde Baru. Meski secara formal DPR bekerja melalui komisi, badan, dan panitia, kenyataannya semua alat kelengkapan Dewan masih dalam kendali dan subordinasi fraksi-fraksi. Padahal, peran fraksi—yang notabene bukan alat kelengkapan DPR—mestinya hanya sebatas koordinasi dan fasilitasi. Ironisnya, para politisi DPR justru ”menikmati” kondisi kehilangan kedaulatan ini dalam rangka menghindari tanggung sebagai wakil rakyat.

Terkait sistem kerja, DPR masih mengabaikan urgensi keberadaan staf atau tim ahli permanen yang bisa menjadi think thank Dewan dalam mendesain kerangka kerja, RUU, bahkan mendesain politik perundang-undangan yang diperlukan DPR.

Saat ini beredar ”staf ahli” di fraksi dan komisi, tetapi bekerja secara ad hoc, ”sambilan” sehingga tidak jelas kontribusinya bagi DPR. Badan Legislasi yang menjadi ”dapur” pembuatan RUU bagi DPR tidak mungkin diharapkan menghasilkan RUU berkualitas tanpa dukungan ahli yang kompeten dan bekerja penuh waktu.

Karena itu, kritik Amien Rais ada benarnya jika dihubungkan dengan kualitas kinerja dan produktivitas DPR. Setelah gagal menggulirkan penggunaan hak interpelasi saat kenaikan harga BBM, DPR gagal memanfaatkan hak angket kebijakan impor beras. Faktor penting di balik kegagalan itu bukan karena kedaulatan anggota telah diambil-alih fraksi masing-masing, tetapi karena minimnya kebijakan alternatif yang ditawarkan Dewan di luar yang diusulkan pemerintah.

Syamsuddin Haris Ahli Peneliti Utama Ilmu Politik LIPI

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home