| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Tuesday, February 28, 2006,9:58 AM

Politik "Ngemong" Praja

Sukardi Rinakit

Ini memang mimpi. Saya membantu ibunda Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencuci piring di dapur. Beliau duduk memerhatikan. Tiba-tiba beliau berkata, ”Kalau nanti kamu bekerja, kamu harus bisa ngemong prajane pimpinan.”

Tiba-tiba saya terenyak bangun oleh tangis putri saya yang sulit bernapas karena pilek. Mimpi terpotong. Dalam mimpi itu, ada hal yang sebenarnya ingin saya diskusikan dengan ibunda presiden. Utamanya menyangkut ide melakukan terobosan radikal guna mengatasi masalah bangsa. Tanpa langkah seperti itu, hampir tidak ada cahaya optimisme bagi rakyat untuk lepas dari belenggu kemiskinan.

Padahal, menjadi presiden ibarat juru kunci sejarah. Dia bukan saja bisa membuka semua pintu kesejarahan, tetapi juga menorehkannya. Karena itu, seorang presiden sebenarnya tinggal bertanya kepada diri sendiri. Dia ingin tercatat sebagai apa jika sudah lengser dari jabatan politik dan dunia fana. Jika ingin tercatat sebagai pahlawan, gempur terus kemiskinan rakyat dan ketidakadilan. Pendeknya, harus menjadi pembela rakyat yang terdepan.

”Ngemong” praja

Salah satu syarat terpenting seorang pemimpin bisa menjadi pembela terdepan rakyat adalah para pembantunya. Para pembantu presiden—saya lebih suka menyebutnya para letnan—harus punya perilaku ngemong prajane presiden. Artinya, mereka harus selalu menjaga nama baik, kehormatan presiden, dan tak melakukan tindakan yang bisa merusak nama baik, termasuk tak menceritakan aneka kelemahan presiden dan keluarganya di luar.

Hampir semua ibu Jawa biasanya selalu mengajarkan politik ngemong praja (menjaga kehormatan pimpinan) kepada anaknya. Harapannya, jika sang anak bekerja nanti, sedapat mungkin ia tidak berbicara sembarangan dan melakukan tindakan yang bisa mencemarkan nama baik bosnya. Ajaran itu tampaknya juga harus dijalankan para letnan presiden (jika mereka tulus membantu presiden dalam mengatasi masalah bangsa).

Namun, melihat gejala yang mengedepan beberapa minggu terakhir, tampaknya ada problem tentang bekerjanya politik ngemong praja itu. Misalnya, tindakan Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi mengirim surat kepada Menlu Hasan Wirajuda agar menerima presentasi dari kontraktor yang berminat mengerjakan renovasi Gedung KBRI Seoul, Korea Selatan. Tindakan itu, apa pun alasannya, telah melabrak pagar etika dari prinsip ngemong praja.

Dalam kasus itu, mungkin Sudi Silalahi tulus membantu dan tak mempunyai kepentingan pribadi. Namun, publik tetap curiga dan mengaitkan hal itu dengan presiden. Ini terkait dengan janji presiden untuk membersihkan korupsi dari halaman rumahnya sendiri. Suka atau tidak, kasus ”Seoul” dapat menurunkan kredibilitas presiden karena dianggap tak serius memberantas korupsi.

Contoh lain dari langkah politik yang merusak prinsip ngemong praja adalah membawa tiga pengusaha bermasalah (terkait dengan kasus BLBI) ke istana. Siapa pun pembantu presiden yang punya ide itu mungkin bertujuan baik, ingin membantu presiden agar dapat segera mengatasi masalah ekonomi yang masih membelit republik. Namun, dia lupa langkah itu, seberapa pun kecilnya, bisa merobek kewibawaan presiden di mata rakyat.

Karena itu, menjadi letnan presiden harus tulus dan berpikir bening. Ada kepongahan bisa merusak kehormatan presiden. Kecuali jika niatnya menjadikan presiden hanya sebagai batu pijakan untuk mendapatkan kehormatan dan kekayaan pribadi. Presiden menjadi political tool para letnan untuk meraih ambisi pribadi.

17.000 pulau

Selain pentingnya punya letnan yang bisa ngemong praja, siapa pun yang menjadi presiden di republik ini dituntut mempunyai keberanian ekstra. Tanpa keberanian mencari terobosan radikal, sulit bagi rakyat Indonesia keluar dari jejaring kemiskinan. Dengan beban utang sekitar Rp 1.350 triliun, dana pemerintah yang seharusnya bisa dialokasikan untuk pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan rakyat lainnya tersedot untuk mencicil utang. Akibatnya, sampai kapan pun wong cilik akan sulit bangkit.

Karena itu, referendum nasional perlu dilakukan. Rakyat perlu ditanya, apakah mereka setuju jika 10 pulau, misalnya, disewakan kepada pihak lain dalam jangka waktu tertentu. Tentu itu bukan pulau-pulau besar, tetapi yang relatif masih kosong penghuni. Dengan persyaratan tertentu (seperti tidak boleh untuk pembuangan limbah), para penyewa diikat melunasi utang Indonesia kepada lembaga-lembaga keuangan internasional.

Hanya dengan menyewakan 10 pulau dari 17.000 pulau yang kita miliki, masalah utang teratasi. Dengan demikian, semua sumber daya yang ada bisa dipakai untuk mobilisasi peningkatan kesejahteraan rakyat melalui pendidikan, kesehatan, pengembangan usaha mikro, dan lain-lain. Dalam waktu satu-dua dasawarsa, bisa dipastikan Indonesia akan segera menggeliat menjadi salah satu naga Asia.

Para nasionalis garis keras menentang ide ini. Namun, daripada ngemplang utang, seperti Argentina, atau minta potongan, seperti Nigeria, tetap lebih terhormat jika kita bayar dari apa yang kita miliki. Menyewakan pulau tetap lebih terhormat, bahkan pulaunya terbuka potensi berkembang seperti Hongkong. Pendeknya, yang baik untuk rakyat, baik untuk semua.

Ide radikal itu yang ingin saya sampaikan pada ibunda presiden saat saya bermimpi membantu beliau mencuci piring di dapur. Sayang, saya keburu bangun.

Sukardi Rinakit Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicate

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home