| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Tuesday, February 28, 2006,9:54 AM

China Serobot Jaringan Tekstil

Industri Hulu dan Produsen Garmen Sudah Tergusur

Jakarta, Kompas - Produk asal China mengancam jaringan perdagangan tekstil nasional yang telah dibangun sejak puluhan tahun lalu. Intervensi produk China menyebabkan industri tekstil dan produsen garmen nasional mati satu per satu setelah kehilangan pasar di dalam negeri.

Demikian kesimpulan Kompas setelah menelusuri perdagangan tekstil di Pasar Tanah Abang, Jakarta, Senin (27/2). Khusus di Gedung Blok A Pasar Tanah Abang, sebagian besar barang yang dijual secara grosir berasal dari China.

Keberadaan produk garmen asal China telah menggusur produk tekstil dan garmen nasional yang sebenarnya sudah memiliki jaringan kuat hingga ke pelosok Tanah Air. Peran tekstil dan garmen nasional memudar karena pasar di dalam negeri direbut oleh produk China.

Ketua Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) DKI Jakarta Hasan Basri menyayangkan jika jaringan tekstil nasional rusak akibat produk impor China. Mata rantai produk garmen nasional dibangun dengan sistem konsinyasi mulai dari hulu dan terikat berdasarkan asas kepercayaan sejak puluhan tahun.

”Jaringan tekstil nasional sangat istimewa karena pedagang bisa melakukan bisnis tanpa modal, cukup dengan kepercayaan. Semua perdagangan tekstil di hilir dibiayai oleh industri tekstil dengan memberikan konsinyasi selama empat bulan,” ujar Hasan.

Ia menambahkan, dahulu pengusaha tekstil memberikan bahan kepada produsen garmen dengan waktu pembayaran empat bulan. Kemudian, pengusaha garmen menyerahkan barang ke Pasar Tanah Abang dengan jangka waktu pembayaran dua bulan. Barang mengalir ke pasar di daerah dengan pembayaran dalam jangka waktu satu bulan.

Jadi, jaringan industri tekstil di Indonesia sangat kuat tanpa memerlukan dana segar. Akan tetapi, begitu tekstil China masuk, mulai berlaku hukum rimba sehingga hanya pedagang bermodal kuat yang bisa bertahan.

Pembayaran tunai

Jaringan bisnis impor dari China dilakukan dengan pola pembayaran tunai. Saat ini pedagang yang tetap bertahan di jalur garmen lokal lebih karena ketiadaan modal. Nilai bisnisnya pun dari tahun ke tahun terus menurun.

Sebagai gambaran, pada tahun 2002 Hasan Basri masih mampu meraup omzet Rp 30 juta-Rp 50 juta per hari. Sekarang ini omzetnya tinggal Rp 3 juta per hari.

Mayulis, pedagang garmen lokal lainnya yang berlokasi di Blok G, Pasar Tanah Abang, memperkuat fakta itu. Dulu sebelum produk China masuk ke Tanah Abang, omzetnya bisa mencapai Rp 6 juta-Rp 8 juta per hari. Kini Mayulis hanya meraup omzet Rp 700.000 per hari.

Contoh lainnya yang tumbang dilindas produk China adalah PT Sarasa Nugraha. Perusahaan ini dahulu adalah produsen garmen lokal. Kini dua pabriknya ditutup dan langsung banting setir ke bisnis agrokimia.

”Kami melihat bahwa prospek industri pakaian jadi di Indonesia semakin lesu. Maka, kami mencoba ke bisnis lain yang memang lebih menjanjikan, industri agrokimia yang produknya berupa etanol, asam asetat, serta etil asetat,” kata Presiden Direktur PT Sarasa Nugraha Budhi Moeljono.

Menurut dia, pada Februari 2004 perseroan menghentikan produksi pakaian jadi di pabrik Balaraja, Tangerang, dan sekitar 1.200 karyawannya diberhentikan. Selanjutnya, pada Februari 2005 PT Sarasa menghentikan produksi pabrik di Cibodas, Jawa Barat, dengan menghentikan sekitar 1.700 karyawan. Sejak 4 Oktober 2005 perusahaannya mengubah bisnis intinya setelah merger dengan PT Indo Acidatama Chemical Industry.

Pengusaha konfeksi pakaian anak, Chairuddin, mengatakan, selain murah, produk China juga unggul dalam desain. Setelan baju tidur (anak perempuan), misalnya, kalau produk China dijual seharga Rp 350.000 per kodi (20 pasang atau Rp 17.500 per pasang). Produk lokal yang sejenis harganya lebih dari Rp 400.000 per kodi atau Rp 20.000 per pasang. Setelan pakaian anak-anak yang terdiri dari celana, rompi, dan kaus diperdagangkan hanya Rp 40.000 per pasang. Sementara itu, (hanya) celana anak-anak produk dalam negeri dijual dengan harga Rp 30.000 per potong.

”Dari dulu desain mereka unggul, tetapi dulu hanya produk Hongkong yang masuk dan harganya relatif lebih mahal dari produk dalam negeri. Sekarang produk China yang non-Hongkong pun masuk, itu yang dijual sangat murah,” ujar pengusaha konfeksi di sentra garmen Buncit Raya Jakarta.

Murahnya harga produk garmen dari China, lanjut Chairuddin, karena harga bahan bakunya relatif lebih murah daripada tekstil dan perlengkapan konfeksi produk Indonesia. ”Kalau upah tukang jahit, kita sudah sangat murah. Baju tidur, setelan celana dan baju, ongkos jahitnya cuma Rp 400 per potong. Bahan baku yang mahal, apalagi setelah kenaikan harga BBM (bahan bakar minyak),” katanya.

Ia menjelaskan, harga kain semikatun sebelum kenaikan harga BBM Rp 8.250 per yard (90 sentimeter), dengan lebar standar, kini Rp 9.500 per yard. ”Kalau yang lebar 44 inci, per yard dulu Rp 6.600 kini Rp 7.250. Itu pun ada yang pabriknya sudah tutup sehingga kalau kita cari bahan yang sama sudah tidak ada lagi. Mereka tutup karena kenaikan harga BBM, ketentuan upah minimum provinsi. Situasi akan semakin sulit kalau tarif dasar listrik naik,” kata Chairuddin menambahkan. (TAV/DAY/BOY/ELY)

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home