| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Tuesday, March 28, 2006,10:20 AM

Proteksi Politik Australia, Papua, dan Kita

PLE Priatna

Australia memberikan temporary protection visa, izin tinggal sementara, bagi 42 warga Indonesia asal Provinsi Papua.

Menteri Luar Negeri RI memanggil Duta Besar Australia untuk Indonesia Bill Farmer dan menyampaikan nota protes. Lalu, Duta Besar RI untuk Australia Hamzah Thayeb ditarik pulang dari Canberra sebagai refleksi ketidaksenangan sekaligus menurunkan tingkat hubungan diplomatik atas keputusan yang tidak bersahabat itu.

Bola panas kasus Papua menggelinding cepat, membakar banyak pihak. Perilaku Australia, Menteri Imigrasi Australia Amanda Vanstone memberi visa secara fast track bagi WNI asal Papua, bukan sebagai turis, tetapi lebih dari itu, izin menetap di daratan Australia, membangkitkan kegeraman kita. Apalagi Menlu Alexander Downer menegaskan, keputusan Department of Imigration and Multicultural Australia (DIMA) tidak bisa dibatalkan karena secara hukum tidak dibenarkan.

Indonesia bereaksi keras. Presiden RI menilai tepat pemanggilan Dubes RI untuk Australia secepatnya kembali ke Tanah Air. Sementara Yuddy Chrisnandi dan Effendi Simbolon, anggota Komisi I DPR; serta berbagai unsur masyarakat ikut mengecam keputusan Australia yang melecehkan integritas NKRI.

Komoditas politik

Di tengah kemelut PT Freeport dan insiden Abepura, pemberian izin menetap bagi WNI asal Papuameski hanya untuk tiga tahunmenjadi momentum yang meningkatkan sensitivitasnya. Bagaimana tidak. Ketika publik meyakini adanya pihak-pihak/ elemen asing yang menginginkan Papua merdeka dari wilayah NKRI, justru Australia yang berulang menyatakan mendukung Papua bagian dari NKRI memberi pukulan keras dengan mengabulkan keinginan sepihak itu. Kebijakan keimigrasian Australia memberi angin pada bangkitnya gerakan separatisme.

Belum lama ini kita mengetahui, sekelompok anggota Kongres AS (Patrick Kennedy, Eni Faleomaevega, Payne, dan lainnya) menulis surat kepada PM John Howard agar mereka diberi suaka demi perjuangan kemerdekaan Papua. Belum lagi kabar soal Senator Kerry Nettle dari partai gurem, Partai Hijau Australia, yang mencari popularitas dengan simpati murahan untuk berkunjung ke provinsi ini.

Sederet fakta intimidatif, yang melibatkan dukungan dan jaringan asing yang berpengaruh seperti itu, tentu menggelitik nurani perlawanan publik yang sifatnya nasionalistik. Papua menjadi komoditas politik yang dijual banyak pihak untuk merebut dukungan konstituen dan para pemilih. Karena itu, bagi Australia, pemberian visa dengan dalih dan alasan politik adalah ekspresi dari sebuah komoditas politik yang diperdagangkan.

Mata rantai komoditas politik berstandar ganda kembali dimainkan Australia. Ketika sekelompok orang melintas batas sebuah negarauntuk motif ekonomi karena muak ditimpa kemiskinanmemasuki secara paksa wilayah negara lain, tanpa ada persetujuan terlebih dahulu dari negara tujuan, tetapi kemudian justru diberi perlindungan hak tinggal (bekerja dan menggunakan fasilitas kesehatan) dengan alasan politik tertentu, adalah bukti sikap Australia yang mendua.

Tidak hanya sikap Depatment of Foreign Affairs and Trade (DFAT) dan DIMA di Canberra yang saling memaknai elemen kemanusiaan dengan kepentingan politik yang berbeda.

Kasus Chen Yonglin

Karena itu, tidak mengherankan jika Pemerintah Australia menganggap sepanjang sejarahnya hanya pernah dua kali memberi status suaka (political asylum), yaitu kepada Vladimir Petrov dan Evdokia Petrova pada April 1954. Petrov adalah Sekretaris Ketiga Kedubes Rusia di Canberra yang minta suaka di Australia. Namun, pengakuan itu dibantah sejarawan Australia, Prof Klaus Newmann. Pada tahun 1961, Australia juga memberi suaka kepada Dr Ryszard Stanislaw Zielienski dan keluarganya, Konsul Jenderal Polandia di Sydney, untuk bisa hidup di Australia. Suaka diberikan sebagai komoditas politik dan ekonomi untuk memperoleh informasi intelijen dalam konteks Perang Dingin.

Namun, rupanya sejarah bergulir lain. Ketika Chen Yonglin, diplomat China yang bertugas di Konjen China di Sydney; Prof Yuan Hongbing dan Zhou Jing, pembangkang China yang mengajar di Australia; baru-baru ini meminta suaka dan ditolak dengan segala dalih, tampak Pemerintah Australia memiliki perhitungan lain untuk tidak mempertaruhkan hubungan ekonomi Australia-China. Hal itu diyakini pihak oposisi, Lauri Ferguson, yang mengingatkan, hubungan dagang Australia-China jangan menjadi hambatan untuk memberi izin tinggal bagi Chen Yonglin. Begitu juga Bill Shorten, Sekretaris Jenderal Serikat Pekerja Nasional Australia, menuding pemerintahan John Howard tidak bisa mengabulkan permohonan karena takut rusaknya hubungan dagang Australia-China.

Lauri Ferguson dan Bill Shorten mungkin benar saat melihat Australia menghindar untuk memberi izin tinggal berupa suaka politik kepada Chen Yonglin selanjutnya karena takut dampak retaliasi Pemerintah China jika permohonan ketiga orang itu dikabulkan. Meski mereka awalnya hanya akan diberi izin tinggal sementara berupa temporary protection visa (TPV).

TPV adalah bentuk perlindungan politik berupa izin menetap sementara yang diberikan berdasarkan pertimbangan politik, termasuk hak untuk bekerja dan memperoleh fasilitas Medicare serta menjadi konstituen sebuah distrik. Status TPV tidak bisa masuk kembali ke Australia jika telah keluar/meninggalkan wilayah ini meski untuk alasan membawa keluarga. Pemegang visa ini setelah 30 bulan berhak mengajukan status permanent protection, yang bisa untuk membawa keluarga (family reunification) atau melamar menjadi penduduk tetap (permanent resident visa) atau bahkan menjadi warga negara Australia.

Sebagai ekspresi proteksi politik, Australia tidak bisa tidak, TPV berpihak. Ketika sekelompok warga dari Afganistan, Palestina, Kurdi, Irak, dan Papua berebut mengadu nasib di Australia untuk mendapat izin tinggal seperti itu, mungkin kita sudah bisa menebak siapa yang bisa mendapatkannya.

PLE Priatna Alumnus FISIP UI dan Monash University; Bekerja di Jakarta

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home