| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Tuesday, March 28, 2006,9:59 AM

Sekolah dan Kejahatan Kerah Putih

Reza Indragiri Amriel

Universitas Gadjah Mada sejak Februari lalu berinisiatif menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi. Tidak hanya soal substansi, tindak-tanduk peserta selama kegiatan juga ditegakkan lewat disiplin secara tegas. Jadi, tidak hanya pengayaan teori, budi pekerti peserta juga diasah.

Kegiatan di UGM itu seakan merespons keinginan masyarakat dan pemerintah yang menanti bentuk nyata pemberantasan korupsi di semua lini. Tidak sebatas melalui mekanisme legalistik, tetapi juga lewat pendekatan edukatif.

Praktisi perfilman, Shin Mi-shun, yang terlibat program pendidikan antikorupsi di sekolah-sekolah Korea Selatan menemukan data mengejutkan. Begitu banyak perilaku melanggar aturan yang melibatkan siswa dan guru, meruntuhkan dugaan bahwa sebagian besar korupsi dan tingkah laku tak semenggah lainnya, hanya dilakukan para politisi dan pelaku bisnis.

Mencontek

Alih-alih menjadi sentra budi pekerti, sekolah mengalami dekadensi karena membiarkan munculnya bentuk-bentuk tingkah laku koruptif. Menurut Mi-shun, pembiaran itu terjadi karena sekolah menganggap abnormalitas sebagai hal umum, sepele, dan tidak serius.

Mencontek, misalnya. Kendati sekolah tidak membenarkan perilaku ini, sanksi tegas atas plagiarisme sering hanya berupa teguran lisan atau tulisan. Padahal, merujuk riset Franklyn-Stokes dan Newstead (1995) serta Genereux dan McLeod (1995), banyak aksi mencontek yang didahului perencanaan matang dan dilakukan secara terorganisasi. Faktualnya, modus seperti itu juga dipraktikkan para kriminal kejahatan kerah putih. Pantaskah menganggap contek-mencontek sebagai aktivitas remeh-temeh?

Ketidakdisplinan dalam menerapkan hukuman terhadap pelaku ketidakjujuran di lingkungan akademik mungkin disebabkan dua faktor. Pertama, kekhawatiran tereksposnya kabar academic dishonesty tidak hanya dapat merusak citra pelaku bahkan reputasi sekolah. Berbagai diskresi dikenakan termasuk keringanan sangsi pada pelaku guna menutupi amoralitas di sekolah maupun perguruan tinggi.

Kontras, pada banyak lembaga pendidikan yang bereputasi internasional, plagiarisme sudah diperlakukan sebagai ketidaketisan akademik tak terampunkan. Terbukti, seorang doktor di sebuah universitas di Australia dipecat secara tidak hormat karena melakukan plagiarisme.

Kedua, mencontek dianggap tidak berbahaya karena tidak mengandung unsur kekerasan (violence). Pada saat sama, tidak banyak yang paham, kebiasaan mencontek dan ragam pelanggaran lain di sekolah merupakan kunci untuk mendeteksi kelainan psikologis yang serius, yaitu gangguan kepribadian antisosial.

Menurut Kernberg (1998), gangguan kepribadian antisosial merupakan bentuk terparah karakter narsistis patologis. Uraian klinis untuk karakter itu adalah gangguan kepribadian narsistis yang ditandai absennya secara ekstrem fungsi superego (elemen psikis yang mengatur boleh dan tidak boleh). Pada individu pengidap kepribadian antisosial yang termasuk tipe pasif parasitik, tanda-tandanya sudah timbul sejak usia belia. Gangguan perilakunya tampak dalam wujud mencontek, berbohong, dan mengeksploitasi orang lain.

Apabila hal-hal itu tumbuh dan berkembang sejak usia dini dalam lingkungan sosial yang menganggap wajar berbagai kelainan, benih kepribadian antisosial akan diserap sebagai unsur yang ditoleransi budaya. Dinamika psikologis seperti itu memberi penjelasan atas kajian Nonis dan Swift (1998), Harding, Passow, dan Finelli (2003), serta Lawson (2004). Penelitian mereka mengindikasikan, pelajar yang melakukan ketidakjujuran akademik cenderung akan melakukan ketidakjujuran di lingkungan kerja.

Sekolah, legal, motif

Riset psikologi menemukan sejumlah implikasi, hasil kaitan abnormalitas di sekolah dan dalam setting kerja.

Pertama, kemantapan hukum dalam memidana pelaku kejahatan kerah putih tampaknya sebanding dengan ketegasan pendidik dalam menindak siswa yang melakukan kebohongan akademik. Selama lembaga-lembaga pendidikan belum segera dan konsisten menekan tindak plagiarisme dan ketidakdisiplinan, anak didik akan kehilangan masa keemasan untuk mempelajari dan menyerap budi pekerti luhur. Ketidakadekuasian ini menjadi basis bagi mereka untuk kelak buta-tuli terhadap tindak-tanduk yang berasosiasi dengan kriminalitas kerah putih.

Kedua, meski perlakuan punitif perlu dijadikan opsi hukuman, namun sekolah, keluarga, dan pihak-pihak berkepentingan sepatutnya memerhatikan pelajar yang menyimpang dengan tilikan lebih komprehensif. Intervensi psikologi klinis dapat diterapkan guna menanggulangi problem contek-mencontek, berbohong, dan problem-problem berwarna antisosial sejenis yang berlangsung di sekolah.

Bahkan, tanpa harus mendiagnosis perilaku mencontek sebagai bentuk patologis parah, penanganan terapeutik tetap dibutuhkan. Sebab, tidak mustahil ada masalah inferioritas, tekanan teman, metode pengajaran, dan pola asuh yang melatarbelakangi kebiasaan mencontek. Pada gilirannya, pemahaman akan kepribadian dan perilaku siswa menyimpang bisa menjadi pintu masuk guna memahami dimensi psikologis penjahat kerah putih.

Ketiga, ini berlaku di sekolah dan tempat kerja. Betapapun Indonesia masih dilanda krisis, namun pengembangan motif berprestasi sepatutnya dirumuskan ulang sebagai harmonisasi antara proses dan pencapaian. Pencapaian optimal adalah sesuatu yang diharapkan dapat memperbaiki kondisi negeri ini.

Reza Indragiri Amriel Alumnus Psikologi Forensik The University of Melbourne; Konsultan SDM PMK Consulting

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home