| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Monday, March 27, 2006,11:02 AM

Konsistensi Berantas Korupsi

Saldi Isra

Melalui Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 15/KMK.01/2006, delapan pengutang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau BLBI akan dibebaskan dari tuntutan pidana. Syaratnya, mereka harus mampu membayar utang hingga akhir 2006.

Kehadiran surat keputusan (SK) itu merupakan buah "manis" kedatangan sebagian dari mereka ke Kantor Presiden di Kompleks Istana awal Februari lalu.

Dalam kaitan itu, Jaksa Agung mengakui, upaya pemerintah menyelesaikan kasus BLBI saat ini hanya melanjutkan kebijakan pemerintah yang lalu, dengan cara berbeda. Dalam kasus debitor BLBI yang tidak ada unsur pidana, setelah melunaskan kewajiban BLBI-nya, pemerintah langsung memberikan surat keterangan lunas. Sebaliknya, jika ada unsur pidana yang dilakukan debitor BLBI, Kejaksaan Agung akan mengabaikan perkara hukumnya atau mendeponir (Kompas, 21/3).

Dengan demikian, mereka yang selama ini menghindari membayar dan tidak mau bertanggung jawab atas utang BLBI dengan mangkir ke luar negeri akan dibebaskan dari kemungkinan ancaman melakukan tindak pidana. Artinya, demi menyelamatkan uang negara, mereka akan diberlakukan khusus di hadapan hukum.

Bagaimana menjelaskan perlakuan khusus terhadap delapan obligor BLBI itu di tengah upaya memerangi praktik korupsi? Apakah ini merupakan salah satu bukti pemerintah (mulai) kehilangan konsistensi dalam agenda pemberantasan korupsi?

Kepentingan uang

Dalam kasus delapan obligor BLBI itu, ada dua kepentingan yang dapat bertentangan, yaitu pelaksanaan proses pidana dan pengembalian uang negara. Dalam agenda pemberantasan korupsi, kedua kepentingan itu harus diteropong dari seberapa besar kepentingan umum di balik pembebasan kedelapan obligor BLBI itu.

Isu itu menjadi penting karena argumentasi yuridis yang dikemukakan Abdul Rahman Saleh untuk mengabaikan proses pidana (deponeering) terhadap obligor BLBI adalah alasan kepentingan umum. Dasarnya, Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan yang menyatakan, Jaksa Agung berwewenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.

Kemudian dalam Penjelasan Pasal 53 huruf c ditegaskan, yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas. Dijelaskan lebih lanjut, mengesampingkan perkara merupakan pelaksanaan asas oportunitas yang hanya dapat dilakukan Jaksa Agung setelah memerhatikan saran, pendapat, dan badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah itu.

Berdasarkan ketentuan itu, pengabaian proses pidana dapat dilakukan jika menyangkut kepentingan umum atau masyarakat luas. Dalam agenda pemberantasan korupsi, pemidanaan merupakan cara paling ampuh untuk mengurangi praktik korupsi. Kepentingan umumnya, memberi efek jera (deterrence effect) agar semua orang tidak melakukan tindak pidana yang dapat merugikan keuangan negara.

Dalam konteks itu, penerbitan SK Menkeu No 15/KMK.01/2006 jauh dari semangat dan nilai rohaniah agenda pemberantasan korupsi. Bahkan, secara jujur harus diakui, pengabaian proses pidana kian mengaburkan makna hakiki bahwa merugikan keuangan negara adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Semestinya, dalam sudut pandang pemberantasan korupsi, pengembalian uang negara tidak menegasikan proses pidana.

Dengan kehadiran SK Menkeu No 15/KMK.01/2006, pesan yang diterima masyarakat cukup jelas, pemerintah lebih mementingkan uang daripada mencegah meluasnya praktik korupsi. Saya yakin, kepentingan umum yang dimaksud pemerintah adalah uang. Masalah orang mau jera atau tidak melakukan korupsi, itu urusan kesekian. Bagi sebagian kalangan, kejadian ini menjadi bukti (baru), pemerintah tidak sepenuh hati dengan agenda pemberantasan korupsi.

Tidak konsisten

Selain argumentasi kepentingan umum yang sulit dimengerti dan dibuktikan, SK Menkeu No 15/KMK.01/2006 tidak konsisten dengan semangat Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Dalam poin kesebelas angka 9 huruf a, Presiden menginstruksikan Jaksa Agung mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi untuk menghukum pelaku dan menyelamatkan uang negara.

Jika Inpres No 5/2004 dibaca, pembebasan atau pengabaian proses hukum terhadap obligor BLBI yang memenuhi unsur pidana korupsi tidak perlu terjadi. Apalagi, secara eksplisit Presiden memerintahkan Jaksa Agung untuk menghukum pelaku dan menyelamatkan keuangan negara. Bahkan, jika angka 9 huruf a itu dibaca berurutan, menghukum pelaku semestinya lebih diprioritaskan ketimbang pengembalian keuangan negara.

Artinya, meski ada ruang untuk mengesampingkan proses pidana, semangatnya harus tetap dalam bingkai Inpres No 5/2004. Jika tidak, pendapat yang mengatakan pemerintah tidak konsisten sulit dimentahkan. Apalagi, bagi sebagian besar masyarakat, tindakan terhadap delapan obligor BLBI sekarang ini tidak jauh berbeda dengan pemberian pembebasan hukuman (release and discharge) pada masa pemerintahan Presiden Megawati.

Anehnya, mengapa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membiarkan para pembantunya bertindak di luar Inpres No 5/2004. Padahal, Inpres No 5/2004 adalah salah satu produk unggulan Yudhoyono dalam agenda pemberantasan korupsi. Atau, barangkali, pendulum sedang bergerak ke arah yang berbeda. Kalau tidak, mengesampingkan proses pidana bagi obligor BLBI pasti tidak sejalan (baca: tidak konsisten) dengan kalimat sakti: "Saya akan memimpin langsung agenda pemberantasan korupsi."

Saldi Isra Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang; Chevening Fellow di University of Birmingham, Inggris

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home