| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Sunday, March 26, 2006,11:13 PM

Dunia Perempuan yang Tidak Hitam-Putih

Ninuk Mardiana Pambudy

Ketika persoalan yang kerap dibincangkan di masyarakat diangkat ke layar lebar, muncul pertanyaan pesan apakah yang disampaikan film tersebut kepada penonton.

Berbagi Suami arahan sutradara Nia Dinata yang mulai tayang di bioskop- bioskop berbagai kota di Indonesia sejak Kamis (23/3) lalu mengangkat persoalan yang sangat aktual: dilema keluarga yang suaminya berpoligami.

Melalui cerita tiga perempuan: Salma, Siti, dan Ming, kita dibawa mengikuti kehidupan tiga keluarga lintas etnis, dari tiga generasi, dan tiga kelas sosial berbeda.

Salma (diperankan Jajang C Noer), berusia 50-an tahun, mewakili etnis Betawi, seorang dokter kandungan bersuamikan Pak Haji (El Manik) yang pengusaha sukses dan kaya. Siti (Shanty), berusia hampir 30 tahun, dari desa di Jawa datang ke Jakarta diajak pak lik (paman)- nya (Lukman Sardi) karena ingin melanjutkan pendidikan. Sedangkan Ming (Dominique A Diyose) baru berusia 19 tahun dan bekerja sebagai pelayan di warung bebek panggang Koh Abun (Tio Pakusadewo).

Cerita dimulai dari kisah Salma yang beranak satu, Nadim (Winky Wiryawan, saat Nadim dewasa). Kejutan pertama dia terima ketika Pak Haji mengajaknya meluncurkan perusahaan real estat bernama Salma Lestari. Di tengah acara, lampu padam dan terdengar suara anak perempuan mencari ayahnya. Ketika menyala kembali, Pak Haji sudah menggendong anak perempuan yang datang ke acara itu bersama ibunya, Indri (Nungki Kusumastuti).

Potret kedua adalah keluarga Pak Lik, sopir perusahaan rumah produksi yang punya dua istri, Mbak Sri (Ria Irawan) dan Mbak Dwi (Rieke Dyah Pitaloka), serta lima anak. Pak Lik ternyata membawa Siti ke rumah Sri untuk memperkenalkan Siti kepada dua istrinya, sebab dia ingin beristri lagi.

Kisah Ming diawali ketika dia menjadi kembang di warung Koh Abun dan istrinya, Cik Linda (Ira Maya Sopha). Ming yang muda dan cantik menarik banyak pelanggan laki-laki muda usia, termasuk calon sutradara, Firman (Reuben Elishama). Koh Abun yang kaku rupanya juga tertarik pada Ming dan memintanya menjadi istrinya, walaupun agamanya sebetulnya melarang poligami.

Aktual

Kekuatan film ini adalah pada tema ceritanya yang aktual serta kefasihan Nia sebagai sutradara dan penulis skenario menangkap konflik yang terjadi di dalam tiap individu yang terlibat dan memadukan cerita tiga perempuan itu dalam berbagai perjalanan kehidupan. Nia juga mampu mengarahkan pemain ”baru”, seperti Shanty dan Dominique, untuk tidak canggung memerankan tokoh mereka. Meskipun digambarkan secara satire, kegetiran muncul dari kalimat dan pilihan adegan.

Istri ketiga Pak Haji, Ima (Atiqah Hasiholan), bertemu dengan Salma dan Indri justru di rumah sakit ketika Pak Haji terserang stroke. ”Cita-cita Abah semua istrinya berkumpul akhirnya terkabul,” kata Nadim kepada Salma saat menunggui Pak Haji di rumah sakit. Atau pertanyaan Salma ketika suaminya menemui dia di tempat berlatih berkuda dengan membawa Icha, anak dari Indri. ”Hai Icha,” sapa Salma pada Icha. ”Ibunya tidak diajak sekalian?” tanya Salma menyindir Pak Haji.

Meskipun tak senang dipoligami, Salma, yang digambarkan mandiri dalam karier, menerima kehadiran istri-istri suaminya yang berpoligami dengan alasan menghindari zina.

Siti yang lugu, bingung ketika Sri dan Dwi justru mendesaknya menerima pinangan dari Pak Lik. Siti yang malu dan jijik pada Pak Lik tak berdaya saat Pak Lik meminta dilayani hasratnya setelah dengan berurai air mata Siti menjalani pernikahannya. Meskipun tidak dikatakan terbuka dan tidak memprotes, Siti menyadari dirinya kemungkinan tertular penyakit akibat hubungan seksual dari Pak Lik setelah dokter mengatakan Sri mengalami infeksi di alat reproduksinya.

Begitu juga Ming, yang meskipun tidak ingin mengikatkan diri pada orang lain, tetap merasa sulit membagi Koh Abun yang perlahan dia sayangi dengan Cik Linda. Ming yang berambisi menjadi pemain film itu bersedia menerima pinangan Koh Abun menjadi istri simpanan asal diberi rumah dan mobil.

Cara penuturan di mana tiap sosok yang memiliki kisah hidupnya sendiri tetapi bertemu melalui perjalanan hidup masing-masing bukan hal baru. Crash misalnya, menggunakan cara ini. Berbagi Suami tidak kalah piawai menggambarkan pertemuan itu.

Salma dan Pak Haji ternyata pelanggan bebek panggang Koh Abun, dan Salma pula yang membantu mengobati infeksi di organ reproduksi Mbak Sri yang datang ke klinik diantar Siti. Ming yang tengah menuju rumah kontrakan setelah diusir anak-anak Koh Abun berpapasan di gang dengan Dwi dan Siti yang kabur dari Pak Lik.

Untuk menggambarkan waktu kejadian, Nia memanfaatkan peristiwa tsunami yang menimpa Aceh pada 26 Desember 2004 sebagai salah satu latar cerita. Nia juga dengan fasih berpindah dari satu latar belakang sosial ke latar yang lain. Dari rumah mewah dan klasik Pak Haji, ke rumah sempit di gang milik Sri, lalu ke warung bebek dan apartemen Ming yang bergaya kontemporer.

Tidak satu

Lepas dari kekurangan kecil, seperti sedikitnya tamu pada acara peluncuran perusahaan Salma Lestari, Ming yang menggunakan kawat gigi, atau Salma yang tas dokternya terus terlihat baru, film ini berhasil menggambarkan bahwa perempuan tidak satu dan dunia mereka tidak hitam-putih. Ini menunjukkan Nia secara serius meriset tema film ini.

Ada Salma yang terus berusaha menerima kehadiran istri-istri Pak Haji dan membenarkan pilihan hidupnya dengan alasan agama, meskipun akhirnya dia berontak dengan menolak menemani Pak Haji mengirim bantuan ke Aceh. Bahkan Ima yang lebih cocok jadi anak Pak Haji itu ternyata seorang aktivis.

Lalu Sri yang begitu bersemangat membagi suaminya dengan Dwi dan Siti dan mereka bertiga saling menyayangi, meskipun ternyata di antara Siti dan Dwi tumbuh kasih sayang satu sama lain. Motivasi Santi, istri keempat Pak Lik, menikah adalah supaya bisa diajak ke Jakarta, sedangkan Ming meskipun mau menjadi istri gelap Koh Abun berambisi mengejar cita-citanya bermain film dan sehebat aktris pujaannya, Gong Li dan Zhang Ziyi.

Meskipun demikian, akhir film ini tidak tegas mengambil sikap mengenai tema film ini sendiri. Tetapi, ini adalah pilihan Nia. ”Melalui film ini, aku ingin membuka wacana mengenai poligami dengan menggambarkan kehidupan tiga perempuan itu. Selebihnya, aku serahkan penonton untuk membuat penilaian.”

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home