| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Sunday, March 05, 2006,10:50 PM

Perubahan Sosial dalam Pentas Ludruk

Paring Waluyo Utomo

Seni pertunjukan di Asia Tenggara pada era 1960-an sangat berbeda genrenya dengan seni pertunjukan yang berkembang di daratan Eropa maupun Amerika. Di Asia Tenggara, khususnya Jawa, misalnya, terdapat seni pertunjukan ludruk yang berfungsi sebagai pendidikan moral yang bersifat kultural. Seni pertunjukan di kawasan ini dianggap bagian dari proses sosial yang bersifat ideologis dan artikulatif.

Melalui buku yang dituliskannya dengan gaya etnografis, James Peacock sangat detail menggambarkan ludruk sebagai mosaik kebudayaan Jawa. Semangat Peacock yang gigih untuk menelusuri dan bergaul secara intensif dengan seniman-seniman ludruk di Surabaya pada tahun 1960-an membuatnya mampu mengilustrasikan posisi ludruk dan setting sosial Indonesia waktu itu.

Karya Peacock ini sendiri awalnya sudah dipublikasikan pada tahun 1968 oleh University of Chicago Press, dengan judul Rites of Modernization, Symbolic and Social Aspects of Indonesian Proletarian Drama. Baru pada tahun 2005 karyanya diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia. Dasar pijakan dari penelitian Peacock ini paralel dengan hasil kajian yang dibangun Arnold van Gennep tentang ritus peralihan, sebagaimana yang tertuang dalam buku The Rites of Passage (1960). Dalam hal ini, Arnold van Gennep memandang bahwa manusia Jawa dalam setiap fase menetapkan peralihan identitas. Misalnya melalui ritus kelahiran, khitan, pernikahan, dan pemakaman dianggap sebagai peralihan manusia Jawa. Khitan, misalnya, dipandang sebagai peralihan identitas dari anak-anak menjadi remaja.

Berangkat dari konsepsi semacam ini, Peacock membawa dalam konteks perubahan sosial di Indonesia melalui teks pertunjukan ludruk di era 1960-an. Ludruk mampu digambarkan sebagai ritus yang menawarkan peralihan sosial dari tradisional ke modern. Pendekatan yang dipakai oleh antropolog Amerika itu kian jitu ketika dijadikan alat analisis dalam melihat perkembangan sosial Surabaya. Ia begitu jeli menggambarkan kontur sosial kota pahlawan ini pada era itu, serta kontestasi terbuka dari kelompok-kelompok politiknya.

Ludruk politik

Melalui risetnya yang berdasar dari 82 pertunjukan ludruk, sarjana Universitas Nort Carolina ini membuat skema penting. Pertama, ludruk sebagai klasifikasi secara simbolik tindakan-tindakan sosial. Artinya, Peacock membuat kategori sosial secara diamatris antara kaya dan miskin, alus-kasar, pemakaian bahasa Indonesia-Jawa, rumah gedongan-gubuk, juragan-buruh. Potret klasifikasi sosial itu mampu terekam secara utuh dalam teks-teks pertunjukan ludruk. Dengan demikian, orang diajak untuk mengidentifikasikan diri dengan karakter tokoh yang dibangun lewat ludruk. Selalu saja ”tokoh” idola (protagonis) adalah orang kebanyakan. Hal ini mencerminkan representasi kelas sosial tertentu, bukan elite tetapi massa, tepatnya Jawa kelas bawah abangan. Walaupun sesekali tokoh protagonis itu agak ”konyol” dalam menangkap modernitas.

Kedua, sebagai sebuah pertunjukan, ludruk menawarkan partisipan atau penonton untuk ”terlibat” secara emosional. Melalui desain panggung, penokohan, dan alur cerita membuat ludruk memiliki cita rasa sendiri. Alur cerita oleh seniman dibuat terpatah-patah sehingga memunculkan dua model klimaks, yakni klimaks sebagai sebuah ”akhir” pertunjukan dan mikroklimaks yang tersaji lewat guyonan. Model ini pula yang agaknya ditiru oleh sinetron komedi Bajaj Bajuri saat ini.

Karena masa riset Peacock memasuki fase ”proses revolusi” Indonesia, tentu saja ia dihadapkan pada fakta adanya teks pertunjukan ludruk yang begitu bergairah. Ada ludruk Marhaen yang sangat berhaluan kiri dan mengusung panji-panji politik kiri yang begitu dominan waktu itu. Sebab, komunis saat itu memiliki jejaring hingga pada level RKKS (Rukun Kampung Kampung Surabaya). Tema lain yang begitu banyak dipertunjukkan adalah Nasakom dan Manipol-Usdek, yakni sebuah gagasan pemersatu ala Soekarno untuk mewujudkan Demokrasi Terpimpin.

Di samping Marhaen sebagai kelompok ludruk besar di Surabaya, juga terdapat kelompok ludruk lainnya, seperti Tresno Enggal. Tresno Enggal sendiri bernaung di dalam (dinaungi oleh) Kodam Brawijaya. Walau di bawah payung militer, beberapa kali Tresno Enggal juga mengusung tema-tema ”revolusi”, seperti rebut kembali Irian Barat. Ada juga tema seperti ”Laksanakan revolusi multilevel Soekarno” atau ”Lawan Kolonialisme dan Imperialisme”. Lewat teks pertunjukan itu, kita bisa melihat bagaimana ”politik-militer” saat itu yang bersatu padu dengan gagasan Soekarno, sebelum akhirnya mereka berbeda pandangan dengan Soekarno.

Puncak hiruk-pikuk tema- tema politik dalam pertunjukan ludruk terlihat dalam setiap perayaan hari-hari besar nasional. Misalnya, dalam peringatan 17 Agustusan terlihat seluruh kebijakan politik nasional di bawah kepemimpinan Soekarno disuarakan dari semua kelompok ludruk yang berjumlah ratusan.

Rakyat kebanyakan

Dalam model penulisannya, Peacock masih sangat dibumbui dari mazhab antropologi ”lama”, yakni masih berkutat pada analisa terhadap bentuk, struktur, dan fungsi. Hal ini tampak betul dalam penulisannya di Bab 8 dan Bab 9. Dengan gaya penulisan semacam ini, jelaslah Peacock akan disibukkan untuk mengulas content analisys, tanpa bersusah-susah melihat relasi dan pencarian historis antara makna cerita yang dibangun dan tafsiran publik. Sebab, bagaimanapun juga, maksud cerita yang disuguhkan belum tentu memiliki hubungan paralel dengan makna yang terdapat dalam penonton ludruk.

Kritik yang lain yang dapat kita alamatkan kepada Peacock adalah teramat terbatasnya ia memberikan sajian dan kajian tentang seksualitas dalam ludruk. Peacock memandang kajian seksualitas tampaknya sesuatu yang ”remeh-temeh”. Pada beberapa bab, seperti Subbab 14, Peacock memang mengulas tentang waria. Waria diletakkannya sebagai sosok yang memiliki peran penting, seperti pengusung nilai-nilai kemajuan. Hal ini terlihat dalam lirik kidungan para waria yang mengusung kesetaraan jender lewat pesan-pesan Kartini. Akan tetapi, ulasan Peacock di atas belumlah menggambarkan bagaimana waria sebagai sebuah kajian tentang jender itu diangkat secara utuh, misalnya saja tentang bagaimana resistensi waria menawar nilai-nilai seksualitas yang dominan.

Terlepas kekurangan yang menyertainya, karya James Peacock ini merupakan mahakarya penting. Lewat karya ini mampu disuguhkan sebuah cerita mengenai rakyat kebanyakan yang mewartakan dan memaknai tentang modernisasi Indonesia. Yang lebih penting lagi adalah, melalui karya ini kita mampu divisualisasikan tentang situasi Indonesia, khususnya di Surabaya pada masa itu. Kita bisa melihat geliat kehidupan masyarakat Surabaya di era tahun-tahun pergerakan politik. Tentu saja ini sebuah sumber sejarah yang teramat penting bagi anak bangsa ini.


Paring Waluyo Utomo Peneliti budaya di Pusat Studi dan Pengembangan Kebudayaan AVERROES, Malang


***

Buku ini dapat disebut sebagai analisis kinerja Tony Blair mengendalikan Inggris sepanjang pemerintahannya di periode kedua dan awal periode ketiga. Penelitian dilakukan dengan memerhatikan kajian para akademisi dan tema-tema yang diangkat oleh media dalam kurun waktu 2001-2005, terlebih saat terjadi perang Irak dengan menampilkan seluruh peristiwa serta pencapaian di antara dua kali pemilihan umum itu.

Publikasi yang terbagi dalam tiga bagian—politik dan pemerintahan, kebijakan ekonomi dan sosial, serta hubungan Inggris dengan dunia luar—ini diawali dengan bahasan terjadinya perubahan serta implikasi karakter Tony Blair terhadap penentuan kebijakan. Misalnya, bagaimana Blair belajar dari pengalaman Margaret Thatcher, strategi mendominasi partai, cara menjaga hubungan dengan Amerika Serikat, bagaimana menjaga supremasi ekonomi, serta keputusan melibatkan diri dalam perang. Kepemimpinan Blair yang spektakuler di awal periode ketiga dengan memenangkan penyelenggaraan Olympic Games 2012 bagi Inggris, keberhasilan mengendalikan masyarakat Inggris pascapeledakan bom 7 Juli 2005 di London, maupun janjinya bagi Afrika ikut mewarnai kesuksesannya. (SHS/Litbang Kompas)

Dilandasi oleh semangat pengembangan demokrasi di Indonesia, sejak tahun 2003 Demos, lembaga pengkaji masalah demokrasi dan hak asasi manusia, melakukan riset yang dibagi dalam dua tahap, tahun 2003-2004 dan mini survei pada pertengahan tahun 2005. Pandangan bahwa saat ini terjadi krisis demokratisasi terungkap dalam enam hasil pokok riset. Di antaranya adalah meningkatnya peran masyarakat sipil, kecuali di wilayah konflik. Di lain pihak, banyak instrumen utama demokrasi, seperti supremasi hukum, pemerintahan yang responsif, dan keterwakilan tidak berfungsi dengan baik. Kurangnya keterwakilan terlihat dari partai politik peserta pemilu yang didominasi politik uang dan kurang berpihak pada kepentingan rakyat.

Survei yang akan kembali diselenggarakan akhir tahun 2007 untuk menelusuri perubahan seiring dengan berjalannya waktu ini memberikan pilihan gagasan untuk memajukan proses demokrasi. Misalnya, perlunya membangun platform politik demokratik. Idenya, perlu dibangun politik kerakyatan yang efektif. Sebagai langkah awal, keterlibatan politik di tingkat lokal, yaitu desa, kabupaten, atau provinsi perlu diperkuat. Mempererat hubungan gerakan politik dan gerakan sosial serta reformasi perangkat hukum dan institusi demokrasi juga ditawarkan untuk mengatasi hambatan tersebut. (THA/Litbang Kompas)

Transformasi Pesantren

Diangkat dari tesis penulis, buku ini berupaya menelaah dan memberikan gambaran yang utuh tentang pesantren. Salah satu temuan yang diungkapkan adalah munculnya dinamika pada institusi pesantren, yang selama ini dinilai sebagai lembaga tradisional yang statis. Juga dikemukakan faktor penyebab transformasi dan implikasinya. Terbagi dalam enam bab, paparan diawali dengan eksistensi pesantren yang membahas sejarah pesantren, terminologi, kategorisasi, fungsi, dan peranan pesantren.

Lima transformasi di pesantren yang dikaji dituliskan mulai bab dua. Pertama, dibahas transformasi kepemimpinan pesantren, seperti kepemimpinan individual kiai, pengembangan orientasi, serta uji coba demokratisasi pesantren. Transformasi kedua menyinggung sistem pendidikan di pesantren. Di antaranya dijelaskan sistem pendidikan yang independen dan adaptif. Bab empat menguraikan transformasi institusi di pesantren. Dua bab terakhir membahas transformasi kurikulum dan metode pendidikan di pesantren. Antara lain dikemukakan materi dasar serta ilmu keislaman, penggunaan kitab-kitab referensi, metode pendidikan, serta respons pesantren terhadap kritik. (YOG/Litbang Kompas)

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home