| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Wednesday, March 29, 2006,8:16 AM

Negara dan Keberagaman Budaya

Siswono Yudo Husodo

Satu lagi kontroversi muncul di masyarakat. Pemicunya, rencana DPR mengesahkan Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi menjadi Undang-Undang.

Setelah mendapat tantangan keras dari berbagai kalangan masyarakat, termasuk masyarakat Bali dan Papua, juga sikap tegas menolak dari Fraksi PDI-P DPR, Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi (RUU APP) memutuskan untuk mengadakan revisi draf. Proses pembahasan RUU APP akan dilanjutkan setelah reses.

Para penggagas dan pendukung RUU APP berargumen, diperlukan instrumen hukum untuk menyelamatkan bangsa dari demoralisasi. Penulis amat menghargai keinginan positif itu sebagai wujud tanggung jawab warga negara. Sebagai orang yang amat mencintai bangsa ini, saya juga ingin melihat bangsa kita menjadi lebih beradab, lebih berbudaya. Pusat kritik terhadap RUU APP memang berada dalam dimensi budaya. Dalam konteks negara bangsa yang plural, siapakah yang memiliki hak untuk menentukan parameter keberadaban budaya?

Mengingat budaya bangsa kita amat heterogen, dari Aceh hingga Papua, adopsi atas parameter budaya partikular suatu kelompok masyarakat untuk mengatur seluruh elemen bangsa tidak mungkin dilakukan.

Di dunia ini, ukuran setiap bangsa tentang kesantunan beragam. Salah satu ukuran ketinggian peradaban suatu masyarakat adalah kesantunannya dalam bertingkah laku, bertutur kata, dan berpakaian.

Di tengah ketertinggalan dari bangsa-bangsa lain, upaya memaksakan RUU APP menjadi UU adalah salah satu wujud nyata ketertinggalan kita; sebuah RUU inisiatif yang dibuat oleh DPR kurang memahami keberagaman budaya yang ada pada bangsa kita.

Saat ini diperlukan rasa kebersamaan dan saling pengertian antarwarga bangsa agar tercipta rasa aman. Dengan rasa aman itu, kita akan dapat mewujudkan tata pergaulan yang baik, kokoh, sinergis, alamiah, dan manusiawi. Dengan nilai-nilai itu, kita mencapai aktualisasi kreatif nilai-nilai budaya bangsa dan membuat setiap orang dapat berprestasi maksimal untuk membangun kemakmuran, kesejahteraan, dan kebahagiaan bagi dirinya sendiri, masyarakatnya, dan untuk seluruh bangsanya.

Keberagaman bangsa ini adalah berkah dari Tuhan Yang Mahakuasa. Oleh sebab itu, semangat Bhinneka Tunggal Ika harus terus dikembangkan karena bangsa ini perlu hidup dalam keberagaman, kesetaraan, dan harmoni.

Kegiatan sementara pihak yang berupaya mendominasi pemahaman budaya melalui RUU APP tidaklah dapat diterima sebagai upaya tulus untuk memajukan dan menyelamatkan bangsa.

Tanpa maksud berprasangka, dalam RUU APP, bias pemikiran yang menginginkan hegemoni mayoritas yang melindungi minoritas amatlah terasa karena banyak tafsiran budaya dalam RUU APP dilihat dari sudut pandang tertentu dengan mengakomodasi pengecualian. Konsep itu patut ditolak karena tak sesuai dengan konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang karakter utamanya terletak pada pengakuan pluralitas dan kesetaraan antarwarga bangsa. Hal tersebut merupakan kesepakatan bangsa kita yang bersifat final.

Menurut hemat saya, demi keutuhan dan keselamatan bangsa, sebaiknya dalam membahas hal-hal yang bersifat mendasar, mekanisme politik yang digunakan adalah semangat bangsa kita dalam menyelesaikan perbedaan, yaitu musyawarah untuk mufakat bulat.

Artinya, pengambilan keputusan untuk membahas hal seperti RUU yang menyangkut pemahaman konsep dan praktik budaya yang akan mengatur perikehidupan masyarakat harusnya dilakukan secara aklamasi. Bila hal itu tidak dapat dicapai secara aklamasi, memang RUU itu harus didrop. Sebagai konsekuensi negara kesatuan (unitarian) yang menempatkan seluruh wilayah negara sebagai kesatuan tunggal ruang hidup bangsa, sebuah RUU juga harus didrop bila ada satu saja daerah yang menyatakan menolaknya karena tidak cocok dengan adat istiadat dan budaya setempat. RUU APP sudah ditolak di Bali dan Papua.

Perlu disadari oleh semua pihak bahwa proses demokratisasi yang sedang berlangsung ini memiliki koridor, yaitu untuk menjaga dan melindungi keberlangsungan NKRI, membina keberagaman, dan memantapkan kesetaraan.

Dapat maju atau tidaknya suatu negara bangsa memang tergantung pada bagaimana masyarakat itu sendiri mengelola dorongan perubahan yang ada. Perlu diperhatikan bahwa setiap sistem memiliki entropi.

Entropi di dalam tubuh kita bisa berupa sel-sel tubuh yang membentuk tubuh kita, yang bisa berubah menjadi sel kanker yang dapat membinasakan diri kita sendiri.

Dalam suatu sistem kenegaraan, entropi dapat berupa unsur-unsur bangsa yang oleh dinamika internalnya menjadi destruktif, yang dapat menghancurkan negara kebangsaan itu. Di dalam suatu negara yang heterogen, peluang munculnya entropi semakin besar. Dengan prihatin saya melihat kelemahan sistem negara ditambah perilaku menyimpang unsur-unsurnya merupakan entropi yang dapat menyeret sistem dan unsur-unsurnya ke arah ketidakteraturan dan kekacauan (chaos). Seluruh warga bangsa perlu bekerja keras untuk mewujudkan proses perubahan dan kemajuan yang damai. Alternatifnya adalah kemunduran dan chaotic.

Kita perlu menyadari bahwa energi kita amat terbatas dan masih banyak hal-hal substantif lain, seperti penyediaan lapangan kerja, pelunasan utang luar negeri, membangun kemandirian bangsa, dan sebagainya yang harus kita selesaikan. Dalam keberagaman kita, tidaklah perlu untuk menghabiskan waktu dan energi untuk penyeragaman pemahaman tentang praktik budaya.

Tantangan terwujudnya sistem sosial budaya yang beradab adalah terpelihara dan teraktualisasinya nilai-nilai universal yang diajarkan setiap agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa sehingga terwujud kebebasan untuk berekspresi dalam rangka pencerahan, penghayatan, dan pengamalan agama serta keragaman budayanya.

Dalam pluralitas keagamaan itu, setiap warga negara dapat menjalankan hak-hak keagamaan pribadinya secara penuh.

Sistem sosial yang beradab mengutamakan terwujudnya masyarakat yang mempunyai rasa saling percaya, saling menghormati, dan saling menyayangi terhadap sesama elemen bangsa. Tidak perlu semua aspek hubungan kemasyarakatan diatur dengan UU karena akan merendahkan peradaban itu sendiri. Selain UU, kita dapat mengandalkan perangkat nilai, budaya, norma, etika, syariah, aturan, dan norma-norma agama yang harus diikuti oleh penganutnya masing-masing dan sopan santun yang memberi fleksibilitas untuk berlomba memberikan manfaat bagi masyarakat luas sekaligus membentengi masyarakat dari demoralisasi.

Mengingat berbagai perubahan yang sedang terjadi dalam masyarakat kita, dan juga berkembangnya nilai-nilai baru yang sedang mendunia, masyarakat kita memang perlu mengembangkan suatu "neo-traditional norm" yang khas Indonesia; yaitu nilai-nilai tradisional yang cocok dengan perkembangan zaman modern, Indonesia modern dalam era globalisasi.

Harus lindungi wanita

Perlindungan pada kaum wanita kita dari eksploitasi pornografi tidak memerlukan UU baru karena sudah dapat dilakukan melalui KUHP.

Esensi keselamatan bangsa ada pada perwujudan kehidupan masyarakat yang makin sejahtera lahir dan batin secara adil dan merata, rukun dan damai dengan toleransi yang tinggi, terselenggaranya pendidikan nasional dan pelayanan kesehatan yang makin bermutu dan merata, yang mampu mewujudkan manusia yang agamais, berbudi pekerti luhur, tangguh, cerdas, sehat, patriotik, toleran, berdisiplin, kreatif, produktif, dan profesional; yang akan mencerminkan meningkatnya budaya dan peradaban, harkat, derajat dan martabat manusia Indonesia, dan memperkuat jati diri dan kepribadian bangsa.

Siswono Yudo Husodo Ketua Yayasan Pendidikan Universitas Pancasila

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home