| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Wednesday, March 22, 2006,9:13 AM

Mencari Solusi untuk Freeport

Hayyan ul Haq

Kerusuhan Abepura kembali menelan korban jiwa (Kompas, 17/3/2006). Peristiwa memprihatinkan ini sebenarnya menjadi contoh tentang kekeliruan kita dalam menyelesaikan masalah selama ini.

Pada tanggal 1 Maret 2006, Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan, persoalan yang dianggap paling besar dalam kasus Freeport McMoran (FMM) telah dapat diselesaikan melalui negosiasi (Tempointeraktif, 1/3/ 2006).

Esok harinya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan menteri teknis (lingkungan serta energi dan sumber daya mineral), gubernur, dan kepolisian menyelesaikan kasus kerusuhan FMM yang kian meluas dan berujung menguatnya tuntutan menutup kegiatan pertambangan itu (Kompas, 2/3/2006).

Tampak, kerusuhan diselesaikan melalui mekanisme ekonomi dan politik, terlihat dari cara-cara pemerintah dalam menyelesaikan berbagai kasus kerusuhan, tidak hanya FMM. Hampir semuanya diselesaikan dengan janji, kompensasi, dan perluasan lapangan pekerjaan sekadar untuk menghentikan kerusuhan atau menghilangkan gejala (symptom), bukan penyebab kerusuhan (akar masalah).

Bahkan, yang lebih memprihatinkan, penyelesaian sering hanya memenuhi tuntutan kelompok lingkar kekuasaan (elite centrum) di kalangan konglomerat, birokrat, militer, bukan rakyat. Sungguh ironis jika Papua yang dikenal provinsi ketiga terbesar kontribusinya bagi devisa negara, justru orang miskin banyak di sana. Selain itu, kontribusi FMM kepada APBN kita hanya 0,5 persen atau sekitar Rp 2,1 triliun (wawancara Amien Rais, Liputan 6, 28/2/2006), padahal penghasilan (revenue) FMM tahun 2005 mencapai 4,2 miliar dollar AS (The Australian, 1/3/2006).

Fakta dan data itu menggambarkan ketidakadilan yang merupakan akar masalah kerusuhan itu. Ada dua catatan terkait ketidakadilan yang perlu dievaluasi: (i) cara mengidentifikasi masalah dan (ii) mekanisme penyelesaian masalah.

Pemetaan masalah

Ketidakadilan ini sebenarnya bisa dicermati melalui beberapa tahapan: (i) prakontrak (negosiasi); (ii) kontrak; dan (iii) pascakontrak. Pada tahapan prakontrak dapat dilihat, apakah pelaku perundingan yang mewakili kepentingan rakyat memiliki iktikad baik (good faith), memahami kehendak (will) dan kepentingan rakyat? Iktikad baik ini ditandai adanya keadilan dan kepatutan. Di Indonesia, ukuran keadilan dan kepatutan harus koheren dengan: (i) prinsip keadilan sosial dan (ii) sebesar-besar kemakmuran rakyat (Kompas, 8/3/2006).

Sebenarnya unsur iktikad baik inilah yang menjadi elemen fundamental dalam memastikan keabsahan suatu kontrak. Meski iktikad baik itu sulit dibuktikan saat perundingan atau negosiasi, namun secara akal sehat, ia dapat dibuktikan saat kontrak ditandatangani dan pascakontrak. Hal ini dapat dilakukan dengan mencermati akibat berlangsungnya kontrak. Perlu dicatat, akibat dari kontrak itu sebenarnya merupakan produk (emergent) yang merefleksikan ada/tidaknya iktikad baik dalam proses pembuatan kontrak.

Karena itu, dapat dipastikan, jika para pihak memiliki iktikad baik dalam pembentukan dan pelaksanaan kontrak, akibatnya akan koheren dan simetrik dengan iktikad baik yang terartikulasi dalam kontrak. Sebaliknya, jika muncul guncangan (demonstrasi dan kerusuhan) yang menuntut keadilan, patut diduga, kontrak itu mengandung unsur atau substansi abnormal dan bertentangan dengan iktikad baik. Hal ini dapat ditelusuri dengan mencermati: (i) eksistensi, kewenangan, bahkan kredibilitas pihak yang mewakili kepentingan rakyat; (ii) riwayat perumusan substansi; dan (iii) isi kontrak itu. Melalui pemeriksaan itu, dapat diketahui apakah ada kolusi, tekanan, atau intervensi yang bisa merugikan kepentingan rakyat atau tidak.

Mekanisme penyelesaian

Kasus kerusuhan di FMM adalah akibat (symptom) yang muncul dari ketidakseimbangan dalam pendistribusian hasil-hasil alam yang dirumuskan dalam kontrak karya dengan FMM. Penyelesaian kasus kerusuhan yang disebabkan ketidakadilan di ranah hukum tidak bisa dicampuradukkan dengan mekanisme penyelesaian secara ekonomis maupun politis.

Dalam konsep berpikir hukum, keadilan ditempatkan sebagai norma utama dan tertinggi. Ia menjadi tujuan hukum. Semua subyek hukum wajib mewujudkannya. Konsekuensinya, seluruh produk hukum, legislatif, eksekutif, maupun yudikatif, termasuk kontrak-kontrak yang dibuat pemerintah dan masyarakat, tidak boleh bertentangan dengan keadilan. Dengan demikian, kerusuhan yang merefleksikan keguncangan karena ketidakseimbangan itu hanya bisa dikembalikan dengan memulihkan keseimbangan (keadilan) pula.

Sepintas, gagasan dan tindakan pemerintah dalam menyelesaikan kerusuhan melalui mekanisme ekonomi dan politik ini tampaknya strategis. Namun, sebenarnya, cara penyelesaian demikian tidak lebih dari sekadar bereaksi atas symptom. Sifatnya penyelesaiannya sesaat. Tidak permanen.

Penyelesaian kasus kerusuhan dengan cara demikian hanya sekadar menghilangkan rasa sakit, bukan menghilangkan penyakit. Bahkan cenderung melanggengkan masalah. Akibatnya, persoalan itu berpotensi muncul lagi dengan bentuk lain yang bahkan lebih kompleks. Hal ini terbukti dengan terjadinya kerusuhan Abepura yang meletus setelah dua minggu pernyataan Wapres Jusuf Kalla yang cenderung menyederhanakan masalah.

Solusi hukum

Kerusuhan yang disebabkan ketidakadilan yang dirumuskan dalam kontrak karya pemerintah dan FMM tidak bisa diselesaikan hanya dengan meredam demonstrasi dengan mekanisme ekonomi, politik, sosial, dan sebagainya. Ia harus diselesaikan melalui mekanisme hukum. Dalam hal ini, penyelesaiannya harus mengacu meta-teori tertinggi landasan praktik hukum, yaitu keadilan.

Guna memvisualisasikannya, pemerintah dapat menggunakan pendekatan multidisipliner untuk menganalisisnya, bukan untuk menyelesaikan kasus hukum, apalagi hanya dengan mengumbar janji dan kata-kata penghibur. Jangan-jangan sinyalemen Chomsky benar, ”Semua elite memiliki karakter sama. Mereka hanya peduli dengan kepentingan diri sehingga apa pun yang dikatakan tidak dapat dipercaya karena hanya berfungsi untuk menghibur rakyat” (wawancara Chomsky di Amsterdam Forum).

Karena itu, jika pemerintah ingin dipercaya, ia harus menunjukkan iktikad baiknya dalam menyelesaikan masalah secara permanen. Hal ini dapat dilakukan dengan memeriksa proses perundingan dan dasar pertimbangan (iktikad baik) para pelaku saat merumuskan kontrak. Apakah mereka benar-benar mewakili kepentingan rakyat untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat atau tidak. Selanjutnya, menegosiasikan kembali kontrak karya secara lebih adil. Mengapa hanya untuk merenegosiasi kontrak karya dengan FMM, dan kontrak-kontrak karya lain, menjadi terlalu sakral?

Hayyan ul Haq Pengajar FH Unram, Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Utrecht

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home