| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Monday, March 20, 2006,10:19 AM

Indonesia Kita

Yudi Latif

Di ujung pengembaraannya sebagai pemikir Islam, almarhum Nurcholish Madjid memungkasi persembahan karyanya dengan risalah tentang kebangsaan-kenegaraan, Indonesia Kita.

Tidak berarti, idealisasi kesemestaan umat ditinggalkan. Tetapi, pergulatannya dengan ayat- ayat kesejarahan memberinya pemahaman, betapa konsepsi keumatan tidak kebal hukum sejarah: bahwa pada suatu orde formasi sejarah tertentu, negara-bangsa (nation-state) tampil sebagai bentuk pelembagaan kekuasaan paling dominan di dunia. Dan ketidakrelaan sekelompok orang untuk menerimanya, tidak dengan mudah bisa berpindah ke bentuk pelembagaan kekuasaan lain (semisal kekhalifahan) semaunya sendiri. Karena hal itu merupakan resultan jalinan relasi-relasi kuasa dan perekonomian pada tingkat global.

Jika masanya tiba, formasi sejarah negara-bangsa mungkin saja mencapai kematangannya dan meniscayakan hadirnya bentuk pelembagaan kekuasaan yang lain. Tetapi tak perlu terlampau dihiraukan. Apa pun bentuk pelembagaan yang ada, tak peduli imperium ataupun negara, bakti manusia pertama-tama harus diarahkan pada lingkungan geopolitik terdekat. Di mana bumi di pijak di sana langit dijunjung. Seperti kata Edmund Burke, ”dedikasi terhadap unit kekuasaan terkecil dan terdekat merupakan prioritas utama dari prinsip moralitas publik dan pengabdian kepada kemanusiaan”.

Mencintai Indonesia sebagai negara-bangsa menghadirkan adonan rasa bangga dan kecut. Ditilik dari sudut kebangsaan, ”Indonesia”, dalam pandangan Cak Nur, ”adalah bangsa yang sukses”. Bayangkan, ada suatu bangsa yang mampu mempertautkan solidaritas kultural yang merangkum tak kurang dari 250 kelompok etnis dan bahasa, yang tersebar di sekitar 17.500 pulau di sepanjang 81.000 kilometer garis pantai, dengan kemampuan menghadirkan suatu lingua franca bersama yang mampu mengatasi isolasi pergaulan antarsuku.

Kebangsaan kerakyatan

Terima kasih kepada sejarah. Terutama konsekuensi ikutan dari penjajahan Jepang yang telah memberi kesempatan dalam pembentukan bangsa ini untuk bertransformasi dari cetakan Adelsnation (kebangsaan kaum ningrat)—warisan kerajaan—menuju formasi volksnation (kebangsaan kerakyatan). Inilah yang membuat kebanyakan rakyat negeri ini, betapapun terus- menerus dikhianati dan dikorbankan para pemimpinnya, tetap saja mencintai bangsanya.

Patut disyukuri pula adanya kejembaran umat Islam. Kerelaan (pendukung) budaya mayoritas untuk tidak menerjemahkan diri menjadi budaya politik dominan, seperti kesediaan untuk menerima perlucutan Piagam Jakarta, memberi berkah tersembunyi bagi bangsa ini. Teori-teori terkini tentang kewargaan multikultural, seperti dari Will Kymnlicka, menganjurkan pencegahan fusi dari budaya mayoritas ke dalam budaya politik dominan sebagai prasyarat bagi multikulturalisme yang kuat. Inilah yang membuat Indonesia dalam hal ini jauh lebih maju ketimbang Amerika Serikat.

Di negeri terakhir ini sulit dibayangkan ada hari libur nasional bagi hari raya (penganut) agama-agama minoritas karena Anglo-Protestan sebagai budaya mayoritas mendominasi budaya politik nasional. Tetapi, di Indonesia, hatta hari raya Konghucu sekalipun (yang penganutnya kecil) menjadi hari libur nasional.

Meski begitu, ditilik dari sudut kenegaraan, Indonesia bisa dikatakan sebagai negara yang gagal. Menjadi negara setidaknya harus memiliki kedaulatan ke dalam dan ke luar. Kedaulatan ke dalam ditunjukkan oleh kemampuan negara memelihara hukum dan ketertiban. Sedangkan ke luar ditandai kemampuan untuk melindungi kepentingan warga dan wilayah negeri dari ancaman luar serta terlibat dalam pergaulan antarbangsa dalam posisi terhormat. Nyatanya, kedua hal itu tak terpenuhi oleh negara ini.

Dalam negara yang memiliki kedaulatan ke dalam, pertautan individu terhadap komunitas-komunitas tribus prapolitik ditransformasikan ke dalam warga negara sebagai legal person. Dalam pada itu, pergeseran dari kedaulatan kebangsawanan menuju kedaulatan rakyat mentransformasikan hak-hak subyek menjadi hak-hak asasi (hak-hak sipil dan politik, hak ekonomi, sosial, dan budaya) yang menjamin otonomi dan kesetaraan setiap warga negara. Ketika negara gagal menjamin kepastian hak-hak dasar ini, warga negara secara alamiah akan kembali mencari perlindungan dari sumber-sumber prapolitik (tribalisme, premanisme, komunalisme, dan sejenisnya). Situasi inilah yang terjadi di Indonesia saat ini.

Transformasi ke arah demokrasi tanpa jaminan hukum dan ketertiban membawa penguatan kembali kebangsaan ”ningrat”, komunalisme, dan barbarisme yang mengancam otoritas sipil dan hak-hak asasi manusia.

Lemahnya kedaulatan ke dalam ini berkelindan dengan lumpuhnya otosentrisitas negara menghadapi penetrasi kekuatan asing dalam menentukan kebijakan-kebijakan fundamental bagi kelangsungan bangsa dan negara. Padahal, demokrasi tanpa otosentrisitas selalu menggali kuburnya sendiri ketika pilihan-pilihan asing menyelusup lewat prosedur demokrasi dan menikam kepentingan-kepentingan sang demos yang sesungguhnya tatkala tidur.

Tiba-tiba saja, rakyat kecil harus menanggung beban atas pengangguran dan melambungnya harga-harga demi skema utang luar negeri yang uangnya tidak pernah sungguh-sungguh menjadi working capital yang menggerakkan sektor riil. Konsolidasi demokrasi, kata Robert Dahl, kerap kali terpental oleh intervensi kekuatan asing yang pada hakikatnya berseteru terhadap aspirasi-aspirasi demokratis. Maka, di sinilah kedaulatan negara menjadi pertaruhan.

Negara lemah

Negara tanpa kedaulatan adalah negara yang lemah. Negara seperti ini cenderung bersosok tambun; berpretensi untuk mengatur hal-hal tetek bengek bahkan urusan busana warga negara, namun tak memiliki otoritas yang efektif untuk mengatur hal-hal esensial yang menentukan hajat hidup orang banyak.

Dengan sosok seperti itu, Indonesia tak kunjung terbebas dari jeratan state manque; suatu negara yang tak kunjung menemukan bentuk politik yang cocok bagi watak rakyatnya. Sebab pokoknya, tidaklah terletak pada keterbelakangan dan pluralitas bangsa seperti yang sering dituduhkan, melainkan pada mismanajemen kenegaraan sebagai konsekuensi dari kepemimpinan yang lemah dan korup.

Masalah-masalah mendasar kenegaraan yang perlu penanganan segera dibentangkan Cak Nur dalam buku pamungkasnya ini. Sebuah buku penting yang akan jadi referensi utama bagi kursus kenegaraan bagi kalangan masyarakat politik dan sipil, yang akan diselenggarakan Yayasan Paramadina mulai akhir Maret ini. Semoga terusik oleh panggilan sejarah!

Yudi Latif Deputi Rektor Universitas Paramadina

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home