| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Tuesday, March 21, 2006,10:51 AM

Alter Ego Jaksa Agung

Antonius Sujata

Institusi kejaksaan di mana pun memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan lembaga negara lain.

Keunikan itu tetap ada meski suatu negara memberlakukan sistem hukum berbeda-beda, baik negara yang menganut hukum Kontinental (civil law system) maupun sistem hukum Anglo Saxon (common law system), karakteristik tersebut tetap tampak, demikian pula di Indonesia.

Sejak awal kemerdekaan, saat Kejaksaan Indonesia masih menjadi bagian dari Kementerian Kehakiman, hingga 1961 saat kejaksaan menjadi lembaga tersendiri, keunikan tidak berubah, bahkan diperkuat dengan memasukkannya sebagai norma dalam Undang-Undang (UU) Pokok Kejaksaan dan terakhir menjadi UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Pasal 2 Ayat (3) menyatakan ”Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan”. Pasal 8 Ayat (2), ”dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Jaksa bertindak untuk dan atas nama negara serta bertanggung jawab menurut hierarki”.

Ketentuan yang menyatakan jaksa adalah satu dan tak terpisahkan serta bertanggung jawab menurut hierarki merupakan salah satu ciri serta asas kejaksaan yang dalam sistem Kontinental maupun Anglo Saxon disebut The principle of Indivisibility atau indivisible whole.

Di Belgia, sebagai penganut sistem Kontinental, toga yang dipakai penuntut umum sama dengan toga yang digunakan ketua majelis. Semua jaksa yang bersidang menggunakan toga yang sama dengan ketua majelis, sementara hakim anggota majelis memakai toga yang sedikit berbeda. Keseragaman toga yang dipakai oleh jaksa itu merupakan wujud dari prinsip tersebut. Di Singapura yang menggunakan sistem Anglo Saxon, pemimpin tertinggi institusi kejaksaan disebut public prosecutor yang merangkap sebagai jaksa agung.

Semua jaksa yang duduk sebagai penuntut umum di sidang pengadilan, baik junior maupun senior, namanya adalah deputy public prosecutor. Dengan kata lain, semua jaksa, apa pun pangkatnya, apa pun jabatan strukturalnya ketika menjalankan penuntutan, dia adalah alter ego jaksa agung. Dia adalah personifikasi dari pribadi jaksa agung.

Antara jaksa agung dan alter ego merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan dalam mengemban tanggung jawab penuntutan atas nama negara. Menurut penjelasan UU No 16/2004, tujuan prinsip kejaksaan satu dan tidak terpisahkan adalah untuk memelihara kesatuan di bidang penuntutan sehingga dapat menampilkan ciri khas yang menyatu dalam tata pikir, tata laku, dan tata kerja kejaksaan.

Berdasarkan pemahaman tentang makna serta prinsip alter ego tersebut, harus dipahami bahwa seorang penuntut umum yang duduk bersidang di pengadilan pada saat itu dia tengah mengemban tugas mengganti jaksa agung. Penuntut umum adalah living image, other half, perfect substitute, shadow, twin, second self dari jaksa agung.

Sebaliknya sungguh berat beban seorang jaksa agung dalam mengawasi dan mengendalikan penuntutan karena secara hierarkis bertanggung jawab atas seluruh proses yang dilakukan oleh semua alter egonya. Dalam kedudukan yang demikian, sangat wajar jika seorang jaksa agung Republik Indonesia harus melakukan kontrol yang ketat ke bawah, sementara seluruh jajarannya secara struktural, mulai dari jaksa agung, para jaksa agung muda, dan kemudian turun ke kepala kejaksaan tinggi dan kepala kejaksaan negeri, secara berjenjang menyampaikan pertimbangan pendapat, saran kepada jaksa agung.

Sesuai peraturan perundang-undangan, Jaksa Agung Indonesia dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan kekuasaan negara lainnya. Dengan kata lain, Jaksa Agung adalah independen, sementara alter ego Jaksa Agung sepenuhnya dalam satu kendali oleh Jaksa Agung.

Ketika berada dalam sidang pengadilan, seorang penuntut umum memang memiliki kebebasan, tetapi pada saat yang sama ia wajib taat kepada atasannya. Prinsip ini berasal dari adagium dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Perancis yang mengatakan ”La plume est serve, mais la parole est libre” (pena itu untuk melayani, tetapi ungkapan kata adalah bebas).

Makna prinsip alter ego

Makna dari prinsip alter ego ini di lingkungan Kejaksaan Republik Indonesia selalu diimplementasikan melalui berbagai laporan, ekspose perkara penting, serta rencana tuntutan. Dalam melaksanakan penyidikan dan tindakan prapenuntutan perkara tertentu tim jaksa yang menangani dan penuntut umum senantiasa diwajibkan untuk gelar perkara atau ekspose, sementara jaksa yang bersidang sebelum melaksanakan tuntutan perkara (requisitoir) wajib menyampaikan rencana tuntutan secara berjenjang kepada Jaksa Agung.

Makna asas indivisible whole dan ataupun alter ego pada akhir-akhir ini menjadi sangat relevan berkenaan dengan kasus Bank Mandiri dan kasus sabu 20 kilogram.

Ketika mantan Direktur Utama Bank Mandiri dan kawan-kawan dituntut hukuman 20 tahun penjara dan para debitor PT Cipta Graha Nusantara dituntut hukuman 17 tahun penjara, tentunya telah melewati segala proses yang bersifat hierarkis yang dibatasi secara ketat oleh tenggang waktu tetapi harus dilakukan secara cepat, tepat, dan cermat. Ketika ternyata para terdakwa dibebaskan oleh pengadilan, tidak aneh jika hal tersebut dirasakan berat bagi institusional. Oleh karena itu, jaksa penuntut umum sebagai alter ego Jaksa Agung melakukan kasasi kepada Mahkamah Agung. Begitu pula dalam kasus sabu 20 kilogram yang kemudian hanya dituntut tindak pidana penjara tiga tahun oleh tim jaksa penuntut umum.

Dalam kasus ini secara internal tim jaksa beserta seluruh jajaran hierarkisnya sebagai alter ego tentunya wajib menjalani seluruh mekanisme yang telah diamanatkan. Apabila dalam proses ternyata jaksa atau tim jaksa tidak melaksanakan petunjuk, maka berdasarkan UU Kejaksaan Republik Indonesia serta asas ”satu dan tidak terpisah-pisahkan” dengan serta-merta pimpinan struktural kejaksaan wajib mengganti serta memperbaiki penyimpangan yang telah dilakukan. Dalam kasus ini Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Barat atau Kepala Kejaksaan Tinggi atau Jaksa Agung Muda Pidana Umum, bahkan Jaksa Agung, menugaskan tim yang baru untuk melakukan banding dengan harapan agar hukuman yang amat ringan tersebut dapat diubah oleh pengadilan tinggi.

Berdasarkan prinsip alter ego dalam kasus sabu 20 kilogram ini, setidaknya terdapat tiga kelompok yang memikul beban tanggung jawab.

Pertama, tim jaksa yang menuntut ringan dan tidak mematuhi perintah atasan untuk menuntut hukuman pidana 15 tahun penjara. Kedua, kejaksaan tinggi yang tidak meneruskan rencana tuntutan ke kejaksaan agung. Ketiga, Kejaksaan Negeri Jakarta Barat, Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, dan Kejaksaan Agung yang tidak mengambil langkah-langkah dengan mengganti tim jaksa penuntut umum serta memohon upaya hukum banding.

Prinsip dan norma hukum jaksa adalah satu dan tidak terpisahkan, atau indivisible whole ataupun alter ego Jaksa Agung semestinya dipahami serta diimplementasikan secara profesional dalam melaksanakan tugas yang diemban.

Antonius Sujata Ketua Komisi Ombudsman Nasional

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home