| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Tuesday, March 21, 2006,10:49 AM

Revitalisasi Republik

Franciscus Welirang

Perasaan gundah membuncah menyaksikan eksistensi Indonesia akhir-akhir ini. Secara umum, ia cenderung dipandang dalam perspektif sempit, yaitu sebatas kepingan ekonomi dan politik. Akibatnya, semangat untuk menegakkan Indonesia terbelenggu semata-mata pada upaya pemulihan ekonomi dan pendemokrasian institusi.

Padahal, merevitalisasi republik tidak bisa sekadar bersandar pada kedua kepingan itu (ekonomi dan politik). Ia harus menukik pada nilai-nilai budaya dan sejarah yang dimiliki bangsa ini. Karena tanpa bersumber pada nilai dan sejarah itu, Indonesia bisa kehilangan identitas.

Kalau hal itu sampai terjadi, secara hipotesis, bangsa Indonesia juga akan ’punah’. Pendeknya, merevitalisasi Indonesia berarti merevitalisasi jati diri. Jadi, bukan sekadar menyelesaikan krisis ekonomi dan demokrasi politik (apalagi kalau demokrasinya masih sebatas prosedural dan bukan substansial), tetapi juga membangun mimpi bersama dan memperkuat kembali komponen-komponen masyarakat yang strategis.

Mimpi bersama

Mungkin Bung Karno benar. Kalau kita keberatan dengan Pancasila dan Tigasila, kita cukup memakai Ekasila, yaitu Gotong Royong. Inilah nilai dasar yang kita miliki. Suatu konsensus yang lahir dari budaya dan sejarah bumi sendiri.

Jika nilai dasar gotong royong tersebut ditambah dengan nilai lain, misalnya kejujuran dan kerja keras, mimpi bangsa pun bisa dibangun di atas tiga landasan tersebut. Seluruh sumber daya dan komunikasi politik yang ada diarahkan untuk mewujudkan mimpi bersama tersebut, yaitu gotong royong, jujur, dan kerja keras.

Dengan rekayasa sosial seperti itu, konsensus bersama dan identitas bangsa bisa terbangun. Dalam bahasa Raymond Williams (Culture, 1981), situasi yang demikian akan mampu mengekspresikan totalitas hubungan sosial dan praktik-praktik manusia. Seluruh gerak dan napas rakyat selaras dengan kinerja penyelenggara negara.

Sebaliknya, tanpa membangun mimpi bersama tersebut, krisis identitas republik secara prediktif akan sulit diselesaikan. Secara umum, terjadinya krisis kepercayaan terhadap pemerintah dan sesama anggota masyarakat dalam dekade terakhir merupakan cermin bening dari diabaikannya nilai-nilai budaya dan sejarah bangsa sendiri.

Sulit dimungkiri bahwa pengalaman pahit yang saat ini melanda republik adalah terjadinya fenomena perubahan yang menjurus pada situasi ’kebablasan’. Pada era Orde Baru, banyak penyelenggara negara yang kebablasan dalam menjalankan kekuasaan yang diberikan rakyat. Mereka sering kali bertindak melebihi wewenangnya.

Sementara pada era Reformasi, semua pihak cenderung mempergunakan hak yang dimiliki secara bebas, sebebas-bebasnya. Akibatnya, lalu lintas pendapat publik menjadi simpang siur, bahkan kadang menjurus pada anarkisme. Tidak heran jika akhirnya muncul pendapat yang mengatakan bahwa praktik demokrasi di Indonesia adalah ’demokrasi kebablasan’.

Komponen masyarakat

Selain mimpi bersama, faktor lain yang perlu dilakukan untuk bangkitnya identitas Indonesia adalah merevitalisasi komponen masyarakat yang secara kesejarahan telah memberikan kontribusi signifikan bagi terbentuknya republik dan integrasi bangsa. Sejauh ini, dari beberapa komponen masyarakat yang termasuk kelompok strategis, pemimpin-pemimpin adat dan raja-raja (sultan) memang kurang mendapatkan perhatian semestinya.

Padahal, secara budaya dan kesejarahan, mereka pernah mempunyai peran yang luar biasa. Mereka bukan saja ikut mendukung gerakan kemerdekaan, tetapi juga menjadi pusat pelestarian budaya. Khusus untuk kerajaan, sampai sekarang masih ada 45 kerajaan yang masih beroperasional (dari sekitar 60 kerajaan yang pernah ada di Nusantara). Namun, dari jumlah tersebut, hanya 19 kerajaan yang mendapatkan bantuan pemerintah. Itu pun tidak merata.

Sejarah mencatat bahwa sekurangnya ada empat komponen masyarakat yang mempunyai kontribusi besar pada berdirinya republik. Mereka adalah intelektual, laskar (rakyat jelata dan TNI), tokoh spiritual, dan raja (termasuk pemimpin adat dan sultan). Dari unsur-unsur tersebut, komponen terakhir (raja, pemimpin adat, dan sultan) sejauh ini kurang mendapatkan tempat dalam dinamika kehidupan republik.

Padahal, karisma seorang raja dan pemimpin adat, misalnya, adalah aset pengembangan budaya. Mereka dapat tegak sebagai pengayom masyarakat, panutan yang santun, pemersatu lingkungan, dan perekat bangsa.

Ketika Indonesia dalam krisis multidimensi seperti sekarang, utamanya ketika sektarianisme menguat, peran-peran tradisional mereka tersebut perlu direvitalisasi. Ini bukan dimaksudkan untuk membangkitkan feodalisme baru, tetapi mencari sisi positif dari kontenstualitas budaya. Dengan demikian, mereka bukan saja dapat menyumbang terjadinya integrasi masyarakat, tetapi juga tegaknya identitas bangsa.

Membentuk identitas

Membangkitkan nilai-nilai budaya dan sejarah, kemudian mengintegrasikannya dengan kepingan-kepingan ekonomi-politik, dipastikan akan membentuk identitas dan kedaulatan bangsa yang kokoh. Di sini, mimpi bersama dapat menjadi perekat sekaligus energi bagi proses revitalisasi republik.

Tanpa kesatuan langkah seperti itu, keinginan untuk bangkitnya identitas Indonesia atau dalam bahasa Francis Fukuyama (2004) sebagai penguatan negara—dengan kehidupan rakyat yang sejahtera—akan lebih bersifat utopis daripada realistis.

Franciscus Welirang Pelaku Ekonomi dan Pengamat Kemasyarakatan

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home