| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Sunday, March 19, 2006,3:56 PM

Dengan Rasio Mencari Tuhan

K Bertens

Filsafat ketuhanan tidak merupakan topik yang populer dalam cakrawala pemikiran filsafat dewasa ini. Dalam literatur filosofis, tidak ada banyak kontribusi baru lagi kepada cabang filsafat yang khusus ini. Tidak dalam arti positif dan tidak dalam arti negatif (maksudnya: filsuf-filsuf yang memperjuangkan ateisme).

Sekitar pertengahan abad ke-20, tema-tema filsafat ketuhanan masih mendapat relatif banyak perhatian. Aliran filsafat yang sedang naik daun waktu itu adalah fenomenologi dan eksistensialisme. Beberapa nama besar adalah Jean-Paul Sartre, Maurice Merleau-Ponty, Gabriel Marcel, dan Karl Jaspers. Sartre, misalnya, dapat dianggap sebagai salah seorang ateis paling radikal saat itu dan dalam seluruh periode modern. Merleau-Ponty secara tidak langsung menyinggung masalah ketuhanan, antara lain dengan menolak dimensi absolut. Marcel dan Jaspers menyediakan pendekatan lebih positif.

Dalam perspektif filsafat dewasa ini suara-suara seperti itu tidak didengar lagi. Jika postmodernisme dapat disebut sebagai aliran pemikiran filsafat yang paling menonjol selama 25 tahun terakhir ini, di situ tema-tema filsafat ketuhanan tidak disinggung lagi. Seolah-olah tidak dianggap relevan. Seolah-olah mereka semua mengikuti nasihat Ludwig Wittgenstein yang terkenal: Whereof one cannot speak, thereof one must be silent (Tentang yang tidak dapat dibicarakan, orang harus diam saja). Dan tentu gejala ini berkaitan erat dengan suasana sekularisasi yang sekarang menandai sebagian besar dunia Barat, justru di kawasan yang dulu menghasilkan filsuf-filsuf yang paling besar.

Sistematika

Walau begitu, di mana filsafat dipelajari secara serius dan sistematis, filsafat ketuhanan pasti mendapat perhatian juga. Filsafat ketuhanan merupakan tema klasik dalam sistematika filsafat dan untuk seterusnya tetap akan tinggal begitu. Buku Menalar Tuhan merupakan hasil pengajaran mata kuliah filsafat ketuhanan oleh Prof Franz Magnis-Suseno di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.

Corak sistematisnya pasti berkaitan dengan asal-usul ini. Bahan disajikan dalam delapan bab. Sebagai pendahuluan, dalam Bab 1 dijelaskan mengapa filsafat berusaha berpikir tentang ketuhanan dan bagaimana dengan cara demikian kepercayaan manusia akan Tuhan memperoleh suatu dasar rasional.

Bab 2 melukiskan konteks di mana masalah ketuhanan timbul, yaitu penghayatan keagamaan. Secara singkat ditelusuri sejarah agama: dari agama asli sampai dengan ketiga agama Abrahamistik (Yahudi, Kristiani, Islam). Bab 3 menggambarkan perubahan drastis yang dialami pemikiran manusia di era modernitas dan dampaknya atas pengertian tentang ketuhanan.

Bab 4 membahas secara kritis lima tokoh ateisme modern yang paling berpengaruh: Feuerbach, Marx, Freud, Nietzsche, dan Sartre. Bab 5 menguraikan agnostisisme, artinya, anggapan yang mengatakan bahwa tidak mungkin kita mempunyai pengetahuan rasional tentang Tuhan sehingga yang dipikirkan orang beragama tentang ketuhanan terancam menjadi ilusi saja. Sesudah menyoroti perspektif negatif dalam dua bab terakhir ini, dalam dua bab berikut dikembangkan suatu perspektif positif.

Bab 6 membicarakan tiga bukti klasik adanya Tuhan dengan bertolak dari ciri-ciri dunia; hanya saja, tidak dipakai istilah ”bukti”, melainkan ”jalan ke Tuhan” (istilah bagus yang dipinjam dari Thomas Aquinas). Bab 7 memperkenalkan beberapa jalan lain menuju Tuhan dengan bertolak dari pengalaman manusia, seperti hati nurani, kebebasan, pencarian makna terakhir, dan kemutlakan tuntutan moral.

Akhirnya, Bab 8 mempelajari hubungan Tuhan dengan dunia. Dalam tujuh pasal dibahas tentang tema seperti transendensi dan imanensi Tuhan, penciptaan, dan masalah kejahatan serta penderitaan—yang menjadi masalah besar, bila kita mengakui Tuhan sebagai Maha Baik dan Maha Kuasa.

Jika kita memandang sistematika buku ini, yang mencolok mata adalah banyaknya unsur sejarah filsafat yang dibicarakan di dalamnya. Hampir semua pendapat yang diuraikan dapat dikaitkan dengan aliran atau tokoh tertentu dari sejarah filsafat. Namun, itu tidak berarti bahwa semua aliran yang relevan dibicarakan juga.

Yang saya sesalkan, tidak diberi perhatian kepada process philosophy. Nama seperti AN Whitehead, Charles Hartshorne, John Cobb, dan Schubert Ogden tidak ditemukan. Padahal, mereka mempunyai pendekatan yang baru dan menarik untuk memikirkan hubungan dunia dengan Tuhan.

Berfilsafat untuk sebagian besar memang adalah berdialog dengan filsuf-filsuf besar dari masa lampau. Demikian juga filsafat ketuhanan. Dari periode pertama dalam sejarah filsafat sampai sekarang selalu diusahakan untuk mencapai Tuhan melalui rasio insani, khususnya ”membuktikan” adanya Tuhan dan memahami (sedikit) ciri-ciri khas-Nya (transendensi dan imanensi, umpamanya). Dalam hal itu selalu disadari bahwa Tuhan adalah ”Yang Lain” terhadap dunia fana. Karena itu, pemikiran tentang ketuhanan menjadi tantangan khusus untuk filsafat.

Bagi saya, bukti untuk adanya Tuhan yang paling menarik adalah argumen teologis atau argumen yang mengatakan bahwa dalam kosmos ada keterarahan pada tujuan. Ilmu pengetahuan modern menyediakan beberapa unsur yang dapat memperkuat argumen ini. Bumi kita seolah-olah disiapkan supaya hidup dapat tumbuh (the anthropic principle). Seandainya bumi beberapa ribu kilometer lebih jauh atau lebih dekat dengan matahari, kehidupan di bumi sudah tidak mungkin lagi.

Apakah hal seperti itu kebetulan saja? Demikian juga evolusi kehidupan. Dari sekian banyak kemungkinan yang secara statistik ada, berulang kali dipilih kemungkinan tepat supaya kehidupan manusia dapat timbul. Tidak mungkin semuanya itu terjadi kebetulan saja. Mestinya ada perencanaan di belakangnya. Mestinya ada kuasa inteligen yang mengatur semuanya itu.

Di sini adanya Tuhan menjadi hipotesis yang masuk akal. Argumen dari hati nurani bagi saya justru menjadi lebih sulit untuk diterima. Kalau John Henry Newman menekankan bahwa hati nurani selalu menunjuk kepada persona (kepada seorang bapa atau ibu), hal itu tidak mengherankan bila hati nurani terbentuk berdasarkan gambaran orangtua, seperti dijelaskan dalam psikologi modern. Menyimpulkan adanya Tuhan yang personal dari kesaksian hati nurani, dengan demikian tidak melebihi tahap proyeksi saja.

Menantang orang beragama

Mengapa pemikiran filsafat ketuhanan tetap penting bagi kita sekarang ini? Karena melalui jalan ini kita dapat menunjukkan bahwa dalam konteks intelektual posisi orang beragama tidak sama dengan sikap irasional atau sikap yang membungkam akal budi.

Orang beragama bukan orang bodoh. Dia bukannya percaya akan Tuhan karena ia tidak tahu atau tidak mau dengar tentang kritik yang diajukan kepada kepercayaannya. Dia selalu terbuka untuk mendengarkan kritik semacam itu dan bersedia juga untuk menjawab. Hanya penganut fundamentalisme yang memilih menutup diri terhadap segala kritik. Mereka berpendapat bahwa percaya berarti memilih sikap buta dan tuli.

Suka atau tidak suka, perlu kita akui bahwa di antara ilmuwan terkemuka dewasa ini tidak ada banyak orang beragama. Jika kita memeriksa daftar pemegang hadiah Nobel bidang fisika, kimia, dan ilmu kedokteran selama 30 tahun terakhir ini, tidak terlalu gegabah untuk meramalkan bahwa di situ tidak akan ditemukan banyak orang beragama.

Ketika pada tahun 1990 dilontarkan The Human Genome Project, proyek penelitian raksasa yang bertujuan memetakan dan menentukan runtunan seluruh DNA genom manusia, proyek bergengsi ini dipimpin oleh Francis Collins. Pada waktu itu beberapa kali dapat didengar komentar bahwa hal itu suatu pengecualian yang jarang kelihatan lagi, karena Collins adalah orang Kristen aktif yang tidak pernah menyembunyikan keyakinan keagamaannya.

Tentu saja, tidak dapat diharapkan setiap orang beragama akan mampu untuk mempertanggungjawabkan kepercayaannya secara rasional. Umat beragama yang biasa tidak bisa dituntut memiliki kemampuan itu. Namun, orang beragama yang berpendidikan—dan khususnya yang berpendidikan tinggi—harus mampu.

Dalam hal ini buku seperti Menalar Tuhan sangat berguna, misalnya, sebagai bahan untuk kuliah agama di perguruan tinggi. Manfaat mata kuliah agama sering dipersoalkan karena mutunya dianggap terlalu rendah. Kontras besar dengan mata kuliah lain dalam program studi yang digeluti. Akibatnya, sarjana lulusan perguruan tinggi bisa unggul dalam ilmunya, sedangkan dalam refleksi tentang agamanya ia tidak melebihi taraf SD-SMP.

Buku Menalar Tuhan dapat membantu banyak untuk mengajak calon sarjana berpikir kritis tentang agamanya, khususnya tentang kepercayaan akan Tuhan. Antara lain ia akan mendengar apa yang dikatakan oleh ateisme dan agnostisisme (mungkin untuk pertama kali dalam hidupnya). Sekaligus ia akan mengakui bahwa agama dapat belajar dari mereka, sebab kerap kali ateisme dan agnostisisme mengandung unsur kebenaran yang tidak boleh disangkal.

Akan tetapi, ia akan mengerti juga di mana kelemahan ateisme dan agnostisisme sehingga pada akhirnya tidak dapat dipertahankan. Kepercayaan akan Tuhan tidak bakal tergoyang tapi justru menjadi lebih kokoh. Mudah-mudahan dosen mata kuliah agama cukup bermutu untuk membimbing mahasiswanya dalam hal ini.

K Bertens, Anggota Staf Pusat Pengembangan Etika; Dosen FE dan FK Universitas Atma Jaya, Jakarta

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home