| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Saturday, February 25, 2006,11:34 PM

Meratapi Raju di Balik Jeruji

Satjipto Rahardjo

Benar-benar amat mengharukan. Amat mengharukan. Bagaimana mungkin, seorang anak ingusan sudah harus berurusan dengan polisi, tahanan, dan pengadilan. Saya bukan seorang psikolog anak, tetapi apa yang dikisahkan dalam harian Kompas (22/2/2006) adalah benar.

Dalam imajinasi bocah delapan tahun, alangkah mengerikan sosok polisi, hakim, tahanan, dan lain-lain. Pengalaman traumatis ini akan tertanam amat dalam pada dirinya dan (mudah-mudahan tidak) menghantui hidup Raju selanjutnya.

Lebih mengenyakkan lagi, hari Sabtu (18/2) di Universitas Diponegoro, Semarang, berlangsung pengukuhan Prof Dr Paulus Hadisoeprapto SH sebagai guru besar kriminologi. Pidato yang dikemukakan adalah Peradilan Restoratif: Model Peradilan Anak Indonesia Masa Datang.

Dalam pidatonya, Prof Dr Paulus Hadisoeprapto menggugat sistem peradilan anak karena menurut pengamatannya, pendekatan yudisial konvensional cenderung merugikan masa depan anak dan menimbulkan stigmatisasi terhadap anak.

Faktor yang hilang

Apa yang terjadi terhadap Muhammad Azwar alias Raju adalah persis seperti yang dikemukakan dalam kitab hukum tentang penanganan terhadap pelaku kejahatan. Ada laporan, polisi segera bertindak, ada visum dokter, dan berikutnya Raju pun masuk tahanan.

Namun, di sini ada yang hilang. Raju bukan koruptor, juga bukan penjahat sungguhan. Ia seorang bocah umur delapan tahun. Bocah yang diejek oleh temannya yang berumur 14 tahun. Karena tidak menerima perlakuan itu, Raju dan temannya pun berkelahi.

Faktor bocah ingusan itulah yang hilang! Dari kacamata hukum (Paulus: ”yudisial-konvensional”) semuanya tampak seperti baik-baik saja, persis seperti dalam buku. Namun, hal-hal yang tampaknya seperti biasa itu menjadi ”luar biasa” bagi bocah ingusan itu. Bagi bocah itu, dampaknya amat fatal.

Yang lebih menyedihkan lagi, kejadian itu bisa dihindari andai kata polisi, jaksa, dan hakim mengetahui the state of the arts dari penanganan terhadap delinkuensi anak di dunia. Ini yang membuat peristiwa itu terasa amat memilukan.

Resolusi PBB 40/33 mewanti-wanti agar dilakukan diversi (penyimpangan) terhadap penanganan anak secara formal-konvensional demi menyelamatkan masa depan anak. Praktik penyimpangan ini adalah untuk menghindari efek-efek negatif berupa stigmatisasi yang disebabkan oleh penghukuman terhadap anak. Malah PBB menganjurkan agar hukum tidak mencampuri (non-intervensi) terhadap urusan anak.

Hukum bukan mesin

Mari kita menjadikan kasus Raju untuk memulai lembaran baru yang lebih baik, cerdas, dan manusiawi dalam menangani kasus-kasus anak di masa depan. Cukup satu Raju! Masyarakat memang memerlukan hukum, tetapi hukum yang bagaimana? Hukum yang bukan mesin!

Apabila hukum itu dijalankan seperti mesin, maka unsur-unsur hukum, termasuk polisi, jaksa, hakim dan lain-lain juga hanya akan menjadi sekrup-sekrup dari mesin yang namanya hukum itu.

Kalau hukum itu bukan mesin, maka ia harus bisa melihat dengan mata hati nuraninya. Rasionalitas saja sama sekali tidak cukup. Hanya hukum yang melihat dan membaca pasal-pasal dengan hati nurani yang dibutuhkan oleh bangsa ini. Bukan hukum yang seperti mesin. Karena itu, berkali-kali diingatkan, menjalankan hukum itu membutuhkan empati, komitmen, dan dedikasi.

Kita sungguh menyesali dan meratapi nasib Raju. Alih-alih menjadikan bangsa ini sejahtera, hukum tanpa hati nurani malah bisa menuai petaka. Kasus Raju adalah contoh nyata dan mudah dilihat. Tidak memerlukan Resolusi PBB untuk bisa melihat kesalahan dalam penanganan bocah ingusan itu. Cukup dengan resep nurani saja. Menteri, polisi, jaksa, dan hakim harus tergugah nuraninya dan segera bergerak mengambil langkah-langkah agar kejadian tidak terulang lagi.

Kita mendoakan mudah-mudahan nasib Raju tidak cocok dengan prognosis yang meramalkan, akan terjadi stigma dan masa depan bocah itu sudah hancur. Kalau perlu, kita buat patung Raju yang digendong ibunya, seperti dalam foto, dan ditempatkan di lembaga-lembaga hukum di seantero Indonesia.

Satjipto Rahardjo
Guru Besar Emeritus Sosiologi Hukum Universitas Diponegoro, Semarang

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home