| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Saturday, March 25, 2006,10:46 AM

Awas, Krisis Masyarakat Komunikatif

Garin Nugroho

Dalam esai-esainya, Habermas menyatakan, maraknya berbagai bentuk unjuk rasa dewasa ini (feminis, fundamentalis, kelompok hijau, dan lainnya) mengisyaratkan terjadinya krisis sosiokultural yang menuju krisis solidaritas sosial.

Karena itu, filsuf Jerman ini menekankan perlunya dibangun kembali etika komunikasi, yakni suatu kondisi komunikasi yang menjamin sifat umum norma-norma yang dapat diterima dan menjamin otonomi warga melalui kemampuan emansipatoris, sehingga menghasilkan proses pembentukan kehendak bersama lewat perbincangan.

Salah satu perhatian Habermas adalah etika komunikasi dalam media televisi. Televisi adalah medium teknokapitalis paling populer yang membawa urbanisasi nilai-nilai secara besar-besaran, termasuk gaya hidup, bahasa, pola konsumsi, hingga penyebaran cara bertindak, bereaksi, dan berpikir terhadap dunia sekitarnya.

Riset Polling Centre pasca- 1998 di 27 provinsi menunjukkan, lebih dari 60 persen masyarakat Indonesia mengartikan demokrasi dari kata demonstrasi karena melihat arak-arakan demonstrasi di jalanan lewat televisi.

Karena itu, televisi sebagai medium urbanisasi senantiasa berwajah dua. Seperti kecenderungan dewasa ini, menjadi salah satu medium yang melahirkan berbagai keterasingan sosial yang dipenuhi kegoncangan adaptif terhadap dunia sekitarnya. Masyarakat semacam ini dipenuhi cara komunikasi yang penuh kekerasan, vulgar, instan, serba massal, dan penuh konsumerisme. Yang melahirkan masyarakat yang tidak toleran, kehilangan sifat respek, rendahnya tingkat kompetisi dan produksi, berpuncak pada rentan dan terasingnya kepribadian warga serta goncangnya integrasi sosial berbangsa.

Di sisi lain, televisi menjadi medium yang melahirkan masyarakat komunikatif yang kritis dan produktif. Masyarakat komunikatif yang dihidupi etika komunikasi, yakni cara berkomunikasi yang mempertimbangkan berbagai perspektif kesahihan norma. Yaitu kesahihan kebenaran dan kejujuran, kesahihan ketepatan ruang dan waktu, kesahihan norma dalam perspektif komprehensif. Sebutlah kesahihan etika komunikasi multikultur, etika jurnalistik, dan lainnya.

Pengaruh televisi

Contoh etika komunikasi multikultur yang nyata adalah berita televisi tentang kekerasan demonstran terhadap polisi di Abepura, Papua. Meski memenuhi asas kejujuran, berita itu kurang memerhatikan asas etika komunikasi multikultur dan etika jurnalistik penayangan kekerasan. Bisa jadi, penayangan visual kekerasan itu justru menimbulkan stereotip barbarian terhadap karakter manusia Papua mengingat minimnya ruang komunikasi timbal balik masyarakat Papua dengan wilayah kebudayaan lain. Belum lagi pola komunikasi serba stereotip tentang Papua yang berkembang selama ini.

Perlu dicatat, dalam masyarakat Eropa-Amerika, penayangan visual yang berhubungan dengan aspek multikultur menuntut etika komunikasi dengan pertimbangan luas dalam hubungan dengan proses komunikasi berbangsa. Hal ini tentu tidak mengurangi ketegasan proses hukum terhadap masalah itu. Bahkan, guna menjaga aspek kekerasan rasial massal serta pandangan yang tidak produktif terhadap suatu wilayah budaya tertentu, televisi sering hanya menayangkan gambar kekerasan dari jauh dan selintas tanpa menyebut warna kulit pelaku.

Di sisi lain, berita mengenai kemenangan Tiger Woods dalam golf disertai penyebutan warna kulit. Ini merupakan dukungan terhadap prestasi yang meruntuhkan stereotip warga kulit hitam, yang selama ini dianggap tidak mampu berprestasi di kompetisi golf dunia.

Contoh lain aspek krisis etika komunikasi, simak berita pemerkosaan terhadap anak perempuan di televisi Indonesia. Tak tanggung-tanggung, visual celana dalam anak kecil dipertontonkan, sementara wajah berdarah pemerkosa diperlihatkan dengan jelas. Atau simak cara menuturkan kesurupan massal di sekolah, yang tidak mempertimbangkan aspek kultur bias penyebaran serta peniruan tayangan televisi sebagai medium adaptasi dan urbanisasi perilaku dan nilai.

Simak pula stasiun penyiaran Eropa-Amerika, Jepang hingga Malasyia, maka berbagai bentuk penayangan kekerasan, dari berita hingga sinetron, diletakkan dalam kode etik penayangan waktu tengah malam saat anak-anak tidak lagi menonton. Kalaupun pada waktu tayang produktif keluarga, penayangan kekerasan dilakukan dengan menjaga aspek bias kekerasan yang lahir dari karakter televisi serta berbagai aspek kesahihan norma lainnya. Maka, ketika ada kasus pembantaian di sebuah sekolah, yang ditayangkan lebih pada berbagai aspek kemanusiaan, yakni anak- anak yang berdoa terhadap korban, dan tidak mengeksploitasi korban yang penuh darah.

Ironisnya, industri penyiaran Indonesia selalu membela diri dengan dalih kehendak pasar yang diukur sistem rating sebagai pegas utama bisnis televisi dunia. Padahal, menjadi kenyataan, sistem rating dunia ditumbuhkan atas penghormatan terhadap etika komunikasi sebagai syarat utama perhitungan pasar yang dikelola dalam sistem rating. Artinya, sistem rating televisi Indonesia adalah pasar yang banal, jauh dari pasar demokrasi, hanya membela hak ekonomi tanpa melindungi konsumen.

Perspektif lain etika komunikasi adalah kesahihan norma kebenaran, di dalamnya mengandung perspektif penegakan nilai-nilai keutamaan berbangsa. Dalam contoh sederhana, jika menonton film-film barat, penulis skenario di akhir cerita selalu menjadikan nasib uang yang dihasilkan dari kerja haram (merampok atau korupsi) akan terbakar api atau terbuang di laut.

Atau simak film-film barat yang menceritakan anak- anak sekolah, senantiasa memegang aspek kesahihan norma transformasi nilai keutamaan. Maka, jika awalnya menceritakan kisah anak yang kurang pergaulan dan tidak percaya diri, selalu diolok-olok, dalam perkembangan cerita selalu ada ruang penuh drama yang menghibur. Di akhir cerita, anak itu pasti menjadi pahlawan pemandu nilai yang penuh percaya diri bagi teman-temannya. Sebaliknya, simak sinetron tentang anak- anak sekolah di televisi Indonesia, sebagian tak lebih dari olok-olok dan gaya hidup, dari ujung rambut hingga sepatu. Sementara akting tidak lebih dari wajah penuh gosip, melotot, memaki, menangis, dan menampar.

Bukan membuat UU

Ilustrasi itu mengisyaratkan, pemecahan krisis sosial kultural yang mencemaskan keluarga Indonesia bukan dengan menambah undang-undang baru, tetapi selayaknya dipecahkan dengan strategi kebudayaan yang mampu melahirkan pendidikan etika komunikasi sejak dini, di berbagai bidang profesi dan kehidupan, guna melahirkan masyarakat komunikatif, masyarakat dengan interaksi sosial yang penuh etika.

Dengan kata lain, sekiranya industri televisi bertumbuh tanpa keterampilan etika komunikasi, bisa terjadi, sekiranya ibu-ibu di rumah berharap anaknya yang menonton sinetron hantu akan menjadi lebih religius, berani, dan mandiri. Yang terjadi sebaliknya, anak-anak tidak mandiri, kehilangan rasionalitas dan ruang hidup menjadi mencemaskan, bahkan agama menjadi sesuatu yang menakutkan.

Pada gilirannya, jangan heran, televisi sebagai medium urbanisasi nilai melahirkan gelombang migrasi kecemasan luar biasa di ruang-ruang keluarga Indonesia, tempat televisi diletakkan.

Garin Nugroho Pemerhati Komunikasi dan Budaya

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home