| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Monday, March 06, 2006,12:35 PM

ANALISA EKONOMI

Faisal Basri

Pekan lalu pemerintah mengumumkan paket kebijakan yang bertujuan memperbaiki iklim investasi. Paket kebijakan yang tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2006 itu sudah lama ditunggu kalangan dunia usaha. Namun, baru untuk pertama kali inilah pemerintah mengeluarkan paket kebijakan yang agak konkret, yang mencakup serangkaian program dan tindakan beserta target penyelesaian dan penanggung jawabnya.

Walaupun demikian, jika dibandingkan dengan versi letter of intent dalam kerangka kesepakatan antara Pemerintah RI dan Dana Moneter Internasional serta White Paper yang disusun semasa pemerintahan sebelumnya, cakupan Inpres No 3/2006 sangatlah terbatas.

Sebagai langkah awal, paket ini diharapkan mampu mendongkrak kinerja investasi sehingga bisa menjadi ujung tombak peningkatan pertumbuhan serta kesinambungan pemulihan ekonomi. Kinerja investasi belakangan ini sungguh tidak menggembirakan. Selama tahun 2005 investasi yang diukur berdasarkan pembentukan modal tetap bruto hanya meningkat kurang dari dua persen. Bahkan pada triwulan terakhir tahun yang sama merosot sebesar 4,75 persen dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Padahal, paling tidak investasi harus meningkat ke sekitar 20 persen agar target pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 6,2 persen sesuai dengan asumsi APBN 2006.

Inpres No 3/2006 semata agaknya tak cukup untuk menghasilkan peningkatan investasi dan pertumbuhan ekonomi sebagaimana yang telah ditargetkan mengingat paket kebijakan ini setidaknya mengandung tiga keterbatasan.

Pertama, serangkaian langkah yang hendak ditempuh pemerintah sebagaimana tercantum dalam senarai kebijakan pada paket kebijakan sesungguhnya merupakan pending matters yang seharusnya sudah jauh-jauh hari diselesaikan. Akibatnya, Inpres No 3/2006 belum sempat menyentuh persoalan-persoalan mendasar yang harus disikapi dalam menghadapi tantangan-tantangan masa depan yang lebih berat. Dengan kata lain, paket kebijakan belum akan mampu mengejar ketertinggalan kita dibandingkan dengan negara-negara tetangga yang lebih sigap mengantisipasi persoalan masa depan.

Kedua, belum mencantumkan penetapan skala prioritas sektoral maupun spasial. Skala prioritas menjadi penting karena ada beberapa sektor di daerah tertentu yang membutuhkan penanganan segera karena peranannya yang sangat penting bagi perekonomian. Selain itu, setiap sektor dan atau daerah menghadapi karakteristik permasalahan yang berbeda sehingga sulit mengharapkan penyelesaian secara tuntas dengan pendekatan yang bersifat umum.

Ketiga, paket kebijakan tak menggunakan pendekatan yang mengacu pada masalah utama yang menghadang gerak maju perekonomian, kecuali persoalan investasi. Hal inilah yang mungkin membuat Inpres No 3/2006 agak rancu karena mencampuradukkan instrumen kebijakan dengan sasaran atau prioritas kebijakan.

Dari lima kelompok yang dikategorikan sebagai bidang, sebetulnya empat di antaranya adalah instrumen kebijakan (umum, kepabeanan dan cukai, perpajakan, serta ketenagakerjaan). Satu kelompok lainnya, yakni usaha kecil, menengah dan koperasi, bisa diperlakukan sebagai sasaran/target atau prioritas kebijakan. Bukankah yang terakhir ini bisa dikategorikan sebagai pelaku berdasarkan skala? Bagaimana dengan persoalan yang dihadapi usaha skala menengah dan skala besar?

Dengan tiga kelemahan di atas, agaknya semakin sulit untuk memperoleh sekadar perkiraan kasar tentang besarnya dampak dari paket kebijakan itu terhadap peningkatan investasi dan pertumbuhan ekonomi. Jika memang demikian halnya, Inpres No 3/2006 lebih sebagai daftar keinginan (list of wants). Implikasi logis dari kenyataan ini adalah para penanggung jawab program akan cenderung hanya mengejar target penyelesaian pekerjaan rumah yang dibebankan kepadanya. Jadi mirip dengan sopir angkutan umum yang mengejar setoran. Mereka tak merasa bertanggung jawab apakah output dari kebijakan tersebut berdampak signifikan terhadap kinerja perekonomian.

Paket kebijakan yang berorientasi pada maksimalisasi jumlah tindakan yang harus ditempuh cenderung mengabaikan aspek-aspek lain yang menjadi persoalan utama perekonomian. Padahal, jika kita mengacu pada akar persoalan yang harus diatasi segera, kemungkinan besar kita bisa menemukenali beberapa instrumen kebijakan saja sudah cukup untuk menyehatkan perekonomian secara keseluruhan. Dengan begitu, kita bisa menitikberatkan pada beberapa upaya saja, tetapi dilakukan secara serius dan total sehingga bisa mengatasi masalah sampai ke akar-akarnya.

Belum terlambat

Ada baiknya di masa mendatang pemerintah mengacu saja pada tiga program utama yang secara resmi telah dicanangkan, yakni (1) revitalisasi sektor pertanian, usaha kecil dan menengah, penyerapan tenaga kerja dan pengurangan jumlah penduduk miskin; (2) peningkatan daya saing nasional; dan (3) perbaikan iklim investasi.

Jika ketiga program utama ini dilaksanakan secara konsisten, niscaya sektor riil (penghasil barang) akan sangat terbantu. Sektor pertanian akan semakin bergairah, industri manufaktur terkerek daya saingnya, dan sektor jasa akan berkembang mengikuti dinamika sektor riil.

Di sisi lain, ekspor akan bisa meningkat pesat sehingga betul-betul membantu penguatan cadangan devisa dengan fundamental yang kokoh. Bukan seperti sekarang, pemerintah lebih mengandalkan penambahan utang luar negeri baru lewat penerbitan obligasi internasional untuk memperkuat posisi cadangan devisanya.

Dalam pengembangan sektor riil, pemerintah pun bisa menitikberatkan pada usaha-usaha yang lebih berorientasi pada pemanfaatan sumber daya alam atau pada bidang-bidang di mana kita memiliki potensi keunggulan komparatif. Bertolak dari sini, pemerintah niscaya akan mampu menyusun berbagai instrumen kebijakan yang efektif. Misalnya, mengenakan pajak atau pungutan tambahan terhadap kegiatan-kegiatan yang menimbulkan eksternalitas negatif terhadap perekonomian atau masyarakat.

Sebaliknya, sangat beralasan pula bagi pemerintah untuk memberikan subsidi ataupun berbagai insentif dan fasilitas khusus bagi kegiatan yang nyata-nyata memberikan eksternalitas positif bagi perekonomian dan masyarakat. Dengan demikian, pemerintah tak lagi akan bertindak ad hoc seperti dalam kasus pengenaan pungutan ekspor atas berbagai komoditas ekspor untuk sekadar mencapai target jangka pendek, semisal menutup sebagian defisit APBN.

Rasanya belum terlambat untuk mempersiapkan paket-paket kebijakan yang lebih solid. Ada baiknya ke depan, paling tidak setiap tiga bulan, pemerintah mengeluarkan paket-paket kebijakan untuk mengisi bolong-bolong yang masih menganga. Dengan begitu, diharapkan sampai akhir tahun pemerintah memiliki kerangka kerja yang lebih lengkap dan komprehensif untuk menggerakkan perekonomian di segala lini, dengan prioritas yang lebih tajam dan hasil yang lebih terukur.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home