| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Thursday, March 29, 2007,8:51 PM

Ternyata, Kita Juga Standar Ganda

Oleh Djoko Susilo

RI dan Resolusi DK PBB
Sikap RI yang mendukung Resolusi DK PBB No 1747 tentang persoalan nuklir Iran menuai protes keras dari berbagai kalangan di Indonesia. Di DPR lebih dari seratus orang telah menandatangani interpelasi mempertanyakan keputusan tersebut. Mereka memprotes keputusan itu yang dianggap sebagai tidak solidaritas dengan dunia Islam dan lebih memihak dunia Barat. Indonesia dianggap telah melenceng dari politik bebas aktif.

Keputusan pemerintah RI yang memancing protes dari banyak pihak itu, rupanya, kurang disosialisasikan dengan baik. Itu yang menyebabkan terjadinya pendapat kurang pas dengan fakta dan realitas. Keberhasilan para diplomat RI di New York tidak mendapatkan apresiasi yang memadai. Sesungguhnya apa yang melatarbelakangi kemarahan sebagian kalangan terhadap sikap RI tersebut?

Dalam sebulan ini, RI dua kali mengambil sikap penting dalam voting di DK PBB. Pertama, Januari lalu yang menyatakan abstain terhadap resolusi tentang pelanggaran HAM di Burma.

Kedua, resolusi DK PBB tentang isu nuklir Iran. Jika resolusi pertama tentang Burma bisa dikatakan hanya adem ayem, atau bisa dikatakan tidak ada reaksi sama sekali, untuk resolusi Iran, banyak yang protes keras. Ada apa sebenarnya?

Sangat mengherankan kita menggunakan standar ganda. Jika soal Iran banyak yang protes dan Indonesia dianggap melanggar kebijaksanaan luar negeri, mengapa dalam isu yang lebih mendasar, pelanggaran HAM dan penindasan politik di Burma, hampir tidak ada protes sama sekali?

Apakah rezim Burma tidak layak dihukum dengan tindakan brutalnya terhadap rakyat sendiri, termasuk 5 juta Muslim Rohingya di Arakan? Apakah nasib jutaan warga muslim maupun non-Muslim yang sengsara di Burma tidak layak mendapatkan simpati kita?

Kebetulan, tanggal 21 sampai 26 Maret lalu saya selaku ketua AIPMC (ASEAN Inter Paliamentary on Myanmar Caucus) Indonesia mengunjungi kota Mae Sot di perbatasan Thai dan Burma.

Saya menyaksikan ratusan ribu pengungsi yang hidup sengsara di kamp pengungsian. Jutaan lain menjadi migran di Thailand. Mereka yang hidup dengan jatah beras 1 kg sebulan dan tidak bisa melakukan kegiatan apa pun adalah pengungsi Muslim, Buddha, Kristen, maupun yang beragama lain. Ada yang sudah berada di kamp pengungsi sejak 20 tahun lalu.

Keberutalan rezim Burma sudah tercatat dengan baik. Serdadunya membunuh secara membabi buta, bahkan mereka memerkosa dan bertindak brutal lain terhadap rakyat sendiri. Bukan itu saja, rezim militer Burma merekrut anak-anak untuk dijadikan serdadu. Bayangkan, anak umur sembilan atau sepuluh tahun dilatih untuk menjadi pembunuh.

Saya berjumpa sendiri serdadu anak-anak yang melarikan diri dan mereka menyatakan melihat dengan mata kepala sendiri perkosaan yang dilakukan tentara Burma terhadap bangsa sendiri.

Anehnya, ketika Indonesia, menyatakan bersikap abstain dalam siding DK PBB, para tokoh agama, dan pemuka politik kita satu pun tidak ada yang keberatan. Bahkan, di DPR hanya anggota kaukus AIPMC saja yang menyuarakan penolakan.

***

Jadi, kalau selama ini kita menuduh Amerika mempunyai standar ganda, apakah bangsa kita juga tidak demikian. Melihat kebiadaban di rumah tetangga sendiri tidak ada empati dan rasa prihatin, dengan apa yang terjadi di nun jauh di Iran, mereka meributkan.

Padahal, jika mau dikaji lebih jauh, resolusi yang didukung RI cukup berimbang dan adil. Bahkan, negara-negara Arab ikut mendukung, termasuk Qatar yang menjadi anggota DK PBB. Mengapa mereka senang? Sebab, atas tekanan RI, dalam resolusi tadi berhasil dimasukkan klausul yang menyerukan dibentuknya wilayah Timur Tengah yang bebas senjata pemusnah masal berikut alat pengirimnya.

Konon, Amerika sempat meminta klausul tersebut dihapuskan dan memang sempat hilang sehari sebelum disahkan. Hanya, berkat kerja keras para diplomat RI di PBB, klausul itu masuk lagi. Jelas itu merupakan kemenangan diplomatik yang sangat gemilang.

Memang, seharusnya kita tidak berhenti hanya dengan menerima Resolusi DK PBB no 1747, tetapi lebih jauh menindaklanjuti dengan mengajukan resolusi Timur Tengah yang Bebas Senjata Pemusnah Masal. Dengan adanya resolusi ini, akan bisa dilucuti senjata nuklir yang dimiliki Israel atau negara-negara lain di Timur Tengah. Itu merupakan kredit poin yang sangat penting bagi postur Indonesia di fora internasional.

Seharusnya kita memberikan apresiasi kepada para diplomat RI yang telah bekerja keras dan berhasil memasukkan klausul yang sangat penting tersebut. Keputusan Indonesia pun sesungguhnya sudah diambil dengan pertimbangan matang. Masalah pokok di sini ialah di mana meletakkan kepentingan nasional dalam mengambil keputuisan penting itu. Apakah kita sejalan dengan mendukung Iran dalam isu nuklir? Ataukah memang dengan mendukung resolusi itu merupakan upaya terbaik?

Prinsip dasar dalam soal nuklir bagi RI ialah mendukung pengembangan nuklir untuk tujuan damai, tetapi menolak pengembangan nuklir untuk tujuan militer. Indonesia akan mendukung penuh posisi Iran yang ingin menguasai teknologi nuklir untuk tujuan damai. Namun, nyatanya, Iran tidak transparan terhadap IAEA, yakni Badan Pengawas Atom Internasional yang memonitor perkembangan nuklir.

Iran adalah salah satu negara yang meneken perjanjian NPT (Non Proliferation Tretaty) atau negara yang berjanji tidak akan menyebarkan senjata nuklir.

Fakta bahwa Iran tidak nurut dengan inspeksi yang dilakukan IAEA memaksa RI tidak punya alternatif lain kecuali mendukung Resolusi 1747. Selain itu, sesungguhnya wakil wakil Iran di PBB lebih senang berunding dengan Amerika dan Barat daripada mengikutkan wakil wakil Indonesia. Dengan kata lain, mereka umumnya tidak memberikan apresiasi terhadap dukungan RI. Mereka lebih bangga berunding dengan Uni Eropa dan Amerika Serikat, dibanding bertemu dengan wakil-wakil Indonesia.

Banyak yang tidak tahu bahwa para perunding nuklir Iran umumnya arogan dan tidak mau banyak menyapa wakil-wakil Negara Islam termasuk Indonesia. Tentu kondisi psikologis para diplomat ini sangat tidak menguntungkan.

Jadi ketika dubes Iran di Jakarta sibuk melobi tokoh Islam dan politik atas nama solidaritas umat, wakil-wakil perunding Iran yang dipimpin Dr Ali Lariyani menganggap sepi peranan Indonesia, baik di New York maupun Jenewa.

Atas dasar itu, kita pantas bertanya, siapa sesungguhnya yang tidak bersimpati dan mempunyai solidaritas atas dunia Islam?

Karena itu, saya menyarankan semua pihak sebelum melancarkan protes sebaiknya menatap dengan teliti soal Resolusi DK PBB no 1747. Dalam politik luar negeri, kepentingan nasional harus menjadi pertimbangan yang lebih diprioritaskan dibandingkan dengan membela kepentingan nasional negara lain.

Djoko Susilo, anggota Komisi I DPR RI

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home