| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Thursday, March 22, 2007,8:53 PM

Keilmuan Akademis v Ilmu Hidup

Oleh Agus Nur Cahyo

Munculnya usul capres dan cawapres 2009 yang mensyaratkan minimal bergelar strata satu (S-1), menurut saya, disebabkan adanya krisis kepemimpinan. Wacana tersebut lahir karena ada akumulasi krisis yang telah lama melanda bangsa ini. Dari krisis kepercayaan, nilai dan budaya, sampai krisis akhlak. Krisis politik dan kepemimpinan merupakan produk krisis-krisis tersebut.

Badai krisis kepemimpinan dan melorotnya kepercayaan rakyat kepada sosok pemimpin menjadikan format ideal seorang pemimpin menjadi kabur. Presiden yang merupakan sosok pemimpin yang memegang peran sentral dalam negara menjadi sasaran utama "perdebatan" politik. Dengan demikian, memunculkan seorang pemimpin (presiden) yang ideal haruslah dengan menentukan gelar akademisnya, yaitu minimal S-1.

Wacana tersebut merupakan keputusan yang perlu dipertanggungjawabkan secara empiris. Siapa yang dapat menjamin kepemimpinan calon presiden yang bergelar minimal S-1 lebih berkualitas daripada yang sebelum-sebelumnya.

Secara politik, penyebutan kriteria calon presiden itu mengundang polemik antara pemimpin yang berpengalaman akademis lebih tinggi dan yang di bawahnya. Akhirnya, format ideal seorang pemimpin yang berkualitas pun bisa jadi hanya dimiliki mereka yang bergelar akademis tinggi.

Yang menjadi persoalan utama adalah apakah gelar S-1 menjadi patokan utama untuk menentukan dan menemukan kualitas seorang pemimpin bangsa. Memang, dalam wilayah akademis, tingkat pendidikan formal seseorang sangat mungkin menentukan kualitas atau kapabilitas di lingkungan akademisnya.

Namun, presiden bukanlah wilayah akademis yang lebih mengutamakan kacakapan intelektual melalui pengembangan keilmuannya, melainkan wilayah praktis yang lebih membutuhkan kerja konkret daripada teoretis.

Presiden ialah seorang yang telah memiliki kecakapan memimpin dan kemampuan menjalankan amanat penuh dari yang dipimpin. Kriteria "kecakapan memimpin" mesti seseorang yang benar-benar memiliki jiwa kepemimpinan yang tinggi. Artinya, seorang pemimpin benar-benar memperhatikan, merasakan, dan berusaha maksimal mewujudkan keinginan bersama seluruh rakyatnya. Yakni, terwujudnya keadilan, kesejahteraan, dan kemakmuran bagi seluruh rakyatnya.

Praktis, seorang pemimpin bangsa di samping memiliki kecakapan intelektual, terdapat aspek yang jauh lebih penting lagi. Yakni, mimiliki kecakapan ilmu kehidupan. Ilmu kehidupan ialah ilmu yang diperoleh seseorang yang secara hikmah memelajari dan menghayati berbagai fitrah kehidupan. Kemudian, dia dapat menjalankan fungsi hidup sebagaimana kehidupan menjalani kodratnya dari Tuhan untuk manusia.

Ilmu kehidupan memiliki banyak sekali hikmah dan aplikasi. Kecakapan khusus ini menuntut seseorang untuk lebih menghargai dan menghormati kehidupan sebagai karunia Tuhan untuk didayagunakan sebagaimana mestinya. Dalam hal ini, manusia menjalankan fungsinya sebagai khalifah Tuhan di muka bumi. Seberapa besar dia dapat menjadi rahmat bagi manusia yang lain melalui fungsinya tersebut.

Seorang presiden yang dapat menguasai ilmu kehidupan akan memaksimalkan fungsinya sebagaimana seorang pemimpin. Dia mengayomi, melindungi, dan menjadi pelayan rakyatnya. Bahkan, ketika melenceng, dia tak segan-segan minta dikritik. Sebab, seorang pemimpin yang baik pada dasarnya bukan hanya memimpin rakyat, melainkan juga dibimbing dan dipimpin oleh rakyatnya.

Secara aplikatif, seorang pemimpin yang memiliki ilmu kehidupan akan memosisikan fungsinya sebagai penegak keadilan, kesejahteraan, dan kemakmuran bagi rakyatnya. Memprioritaskan kepentingan rakyatnya daripada diri dan keluarganya, berlaku jujur, tidak korupsi, serta menjadi teladan bagi rakyatnya.

Sejarah membuktikan, banyak pemimpin besar dunia yang berangkat dari orang biasa secara pendidikan, tetapi sukses dalam menjalankan roda kepemimpinannya.

Salah satunya ialah Muhammad SAW, yang oleh Michael Hart ditempatkan pada posisi pertama dalam "Seratus Tokoh Paling Berpengaruh Dalam Sejarah" karena kesuksesan menjalankan fungsinya sebagai seorang pemimpin. Muhammad SAW ialah pemimpin yang menguasai dan mengamalkan ilmu kehidupan sebagai seorang pemimpin kepada rakyatnya.

Wacana tentang kriteria ideal seorang presiden haruslah minimal bergelar S-1 perlu ditelisik secara empiris dan pembuktian kebenaran historis. Siapa pun boleh menjadi presiden bangsa ini, asalkan memiliki kemampuan intelektual dan memiliki ilmu kehidupan secara matang.

Seorang guru SD pun bisa menjadi presiden, asalkan memiliki sikap kepemimpinan yang tinggi, jujur, piawai berorganisasi, mendengar suara rakyatnya, tidak korupsi, serta kriteria lain menurut kacamata ilmu kehidupan.


Agus Nur Cahyo, mahasiswa Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI), Fakultas Dakwah, UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, juga pemimpin redaksi Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Rhetor

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home